Ini bukan sesuatu yang disengaja. Tapi begitu
berdiskusi tentang usia pernikahan yang layak bagi seorang perempuan
perbincangan lantas melebar. Sampai di sini….
Hanya ilustrasi |
“Apa alasan
seseorang menikah?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang
teman.
“Aku karena
pertama disuruh orang tua, gak enak juga karna tetangga udah banyak yang
ngomongin…”
Itu jawaban
salah seorang kawan dalam diskusi tak sengaja itu. Jawaban itu diamini oleh
teman yang lain. Untuk diketahui, kedua orang yang memiliki jawaban sama itu
datang dari pulau berbeda di negeri ini. Yang pertama dari NTB dan satunya dari
DIY. Keduanya mengiyakan bahwa alasan keduanya menikah karena permintaan orang
tua.
Jawaban teman
itu adalah satu keping contoh di mana kita hidup di bawah bayang-bayang stigma.
Terutama untuk perempuan. Tidak peduli dia datang dari mana, selama ada di
negeri ini, stigma serupa kerap dialami orang tertentu atau jenis kelamin
tertentu. Seperti perempuan, usia, dan menikah. Kosa kata ini akan menjadi satu
stigma pada suatu masa. Aku sendiri mengalami stigma itu. Begitu menginjak usia
25, obrolan di rumah mulai berbeda. Kedua orang tua dan kakak mulai
mengutarakan pertanyaan yang sama tentang pernikahan, bahkan mengutarakannya
dalam kesempatan serius yang direncanakan.
Setelah diskusi
tadi, aku justru mulai serius bertanya pada diri sendiri “Untuk apa aku menikah”?.
Aku tidak yakin dengan jawabannya, bahkan sampai detik ini aku masih bertanya
dan mencari. Seharusnya tidak, sebagai seorang muslim seharusnya aku sudah tahu
bahwa menikah adalah bagian dari penyempurnaan agama. Tapi aku tidak hendak
menjadi orang munafik karena jujur saja, membulatkan niat menikah hanya karena penyempurnaan
agama tidak semudah seperti para bijak menasehatkan.
Sebagai contoh, ada hari di mana aku ingin sekali menikah.
Salah satu hari itu adalah ketika kawan dan handai taulan kerap bertanya “kapan
nieh bagi-bagi undangan?”. Setelah diskusi siang ini, aku baru sadar motivasiku
kala itu adalah “aku ingin orang-orang berhenti menanyaiku”, bukan menikah
untuk menyempurnakan agama. Dan lagi, ketika aku serius memperhatikan,
antusiasme orang-orang yang amat perhatian itu hadir karena teman-teman
sebayaku sudah melahirkan anak kedua mereka atau karena angka usiaku. Artinya,
aku sudah tidak muda lagi untuk menunda pernikahan. Lagi-lagi ini masalah
stigma. Sama saja ketika hari di mana keinginan sangatku untuk menikah datang saat
orang tua dan orang terdekatku mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan yang
senada. Ini juga masalah stigma. Stigma dan niat menyempurnakan agama sangat
tidak bisa dikawinkan.
Itu kasus yang
menimpaku. Sejauh ini keinginan menikah selalu hadir ketika kejadian-kejadian
seperti di atas terulang. Aku tidak tahu apa yang orang-orang lainnya inginkan
ketika mereka memutuskan menikah. Mungkin ada alasan ekonomi. Membutuhkan
dukungan finansial karna tidak bisa survive sendiri. Atau mungkin ada yang
menikah atas nama cinta. Cinta yang bisa saja sebatas nafsu di mana pernikahan
hanya dilakukan untuk melegalkan sepasang manusia saling bersentuhan semaunya.
Itu hanya asumsi pribadi.
Karena aku mengartikan
pernikahan dalam kemasan menyempurnakan diri sendiri yang sepertinya tidak
lengkap jika hanya “aku” bukan “kita” (issssh, males!!!), rasanya sangat salah
ketika aku memutuskan menikah karena ingin “membahagiakan” orang-orang di
sekitarku. Agar tidak ada perbincangan miring atau pendapat-pendapat negatif
yang menghampiri mereka. Karena menikah adalah untuk menyempurnakan agama,
seharusnya menikah hadir karena niat yang sempurna. Tapi bagiku ini masih
membutuhkan perjalanan lagi, perjalanan untuk memaknai arti “menyempurnakan
separuh agama” dan perjalanan memaknai “beribadah pada Allah”. Dan perjalanan
yang terburu-buru biasanya tidak menghasilkan kesimpulan yang bijak. Diskusi
siang ini, lalu masih menyisakkan jawaban yang harus dicari.
Apa tulisan ini
terbaca seperti “pembelaan diri sendiri”? :D :D
Aku rasa iya. Sebagian besar isi tulisan ini amatlah obyektif, terutama karena aku seorang perempuan yang cenderung jadi sasaran stigma. Dan Stigma itu hadir di situasi yang salah. Ketika aku benar-benar "aku" bukan "kita"... :P
*oh, aku rasa aku bukan satu-satunya yang mengalami ini.
Aku?
ReplyDeleteSemangat Teh, jangan galau. Orang yang besar adalah yang tetap tegar diatas berbagai masalah. Ikhlas bukan karena menyerah, tapi ikhlas dengan apa yang dihadapai, dan tersenyum untuk kembali hadapi satu persatu masalah tadi. (Aseeek)
ReplyDelete