Kisah Roanne Tentang Hidup di Tempat Terbaik di Dunia


Selamat datang 2019!

Membuka tahun dengan menyelesaikan buku ini adalah hal paling menyenangkan dan memuaskan. Roanne telah menyajikan lebih dari hasil penelitiannya selama setahun, tapi juga gejolak perasaannya pada kampung kumuh dan orang-orang di dalamnya yang menjadi tetangga sepanjang penelitian.

Sebagai seorang antropolog, Roanne telah memberikan perspektif baru tentang kondisi perkampungan Bantaran Kali, bahkan bagi penduduk Indonesia sendiri. Terutama saya pembacanya. Bahwa perkampungan kumuh dengan rumah-rumah dari kardus, listrik didapat secara ilegal karena terpaksa, dan tanpa ada jaminan masa depan apapun sungguh-sungguh ada. Bahwa cara-cara hidup paling ektrem dilakukan oleh warga di suatu tempat di negeri ini bukan kisah hidup melodrama yang hanya patut jadi tontonan. Kedua hal yang memang sudah lama saya sadari keadaannya tapi masih teramat jauh dari jangkauan menjadi semakin nyata dalam paparan Roanne. Apalagi dari sudut pandang orang yang langsung mengalaminya. Hidup bersama dan ikut merasakan apa yang dialami warga di kampung tersebut.

Buku ini sejatinya memang tugas kuliah untuk merampungkan studi S3 Roanne. Dia memilih perkampungan kumuh Jakarta untuk melihat bagaimana manusia-manusia di kampung itu beradaptasi pada banjir yang kian kemari kian parah. Walau begitu, narasi buku ini jauh dari bacaan membosankan dan serius khas karya ilmiah. Roanne menyajikannya dalam beberapa judul kisah berdasarkan tema, dimulai dari pertemuan Roanne dengan tikus di bus sesak Jakarta. Pengamen itulah yang kemudian mengenalkan Roanne pada kampung Bantaran Kali dan memulai penelitiannya dalam kegelisahan tapi kemudian penuh warna.

Kisah-kisahnya penuh ironi, menggelitik, tapi juga di beberapa hal terasa amat akrab. Kehidupan khas masyarakat Indonesia kelas tertentu dalam bertahan hidup, juga dilakukan oleh warga di perkampungan ini. Seperti arisan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan yang memakan biaya besar.

Pada satu titik, kisah kehidupan di kampung ini mengingatkan saya pada perkampungan di pantai utara Semarang. Kondisi serupa dihadapi warga di kampung itu. Mereka harus menabung uang di material untuk meninggikan rumah secara berkala, seiring dengan menurunnya muka tanah. Mereka mungkin sama dengan orang-orang di Bantaran Kali. Orang paling miskin di tengah gemerlap kota yang kian melesat jauh bersama orang-orang paling kaya di sana. Meninggalkan orang pinggiran semakin ke pinggir.

Selamat membaca!

[Judul: Tempat Terbaik di Dunia | Penulis: Roanne Van Voorst | Penerbit: Marjin Kiri, 2018]

Comments