Sekalipun sudah menikah selama 10 tahun, perempuan tak bernama
itu tidak pernah benar-benar mengungkapkan isi hatinya pada sang suami yang
jauh lebih tua darinya. Ia bahkan tidak pernah mencium suaminya. Relasi mereka
selama ini hanya terikat norma dan kebutuhan untuk melanjutkan keturunan. Peran
perempuan tampak sebatas menjadi mesin produksi anak yang terikat oleh berbagai
tanggung jawab domestik. Sementara sang suami dianggap sebagai junjungan.
Secara ambigu, hubungan lebih jujur mulai tumbuh saat sang
suami koma karena peluru di lehernya. Tragedi yang terjadi dalam perdebatan
sia-sia atas nama kehormatan. Sambil merawat suaminya, si perempuan secara
berangsur mengungkapkan semua perasaan dan rahasia yang selama ini ia pendam.
Ia juga menceritakan segala hal yang ia alami setiap harianya. Dari remeh temeh
hingga hal-hal yang selama ini amat tabu, seperti tema seksualitas.
Baginya, sang suami adalah batu kesabaran. The Patience Stone yang menjadi judul
film ini. Berasal dari cerita rakyat klasik dari Persia tentang batu yang menjadi
tempat mencurahkan isi hati dan kegelisahan. Tempat ia bisa menceritakan segala
hal tanpa takut dihakimi, apalagi disalahkan. Cerita yang ia dapatkan dari
bibinya. Meskipun sesekali didera keraguan dan penyesalan, ia terus menerus
meluapkan.
The Patience Stone sendiri merupakan film adaptasi dari novel dengan judul yang
sama dan disutradarai langsung oleh penulis novelnya, Atiq Rahimi. Seorang
imigran asal Kabul yang mengungsi ke Prancis saat Afganistan diinvasi oleh Uni
Soviet. Di film ini, Rahimi berduet dengan Jean-Claude Carrière, penulis
skenario kawakan di Prancis. Menghasilkan tontonan yang sesekali mendebarkan
tapi juga tidak sabar menanti bagaimana kisah akhir dari plot yang nampak
membosankan. Namun Golshifteh Farahani yang menjadi pemeran utama film ini
telah menyajikan dialog-dialog mendalamnya dengan penuh emosi. Membuat kita
tenggelam dan ikut berempati pada si perempuan.
Di The Patience Stone,
Rahimi tidak secara spesifik menyebutkan Afganistan sebagai latar film. Rahimi
hanya menyajikan sebuah wilayah yang sedang dalam perang dengan berbagai hal
simbolis khas umat muslim. Menunjukkan bahwa film ini berkisah tentang
masyarakat muslim di belahan dunia lain yang dikuasai pemimpin penganut nilai-nilai
konservatif. Membuat kehidupan menjadi serba tak pasti dan penuh ancaman. Kompleksitas
kondisi masyarakat di tengah perang ini sudah cukup diwakili oleh si perempuan
dan kondisi rumah tangganya. Setiap adegan dipersempit di rumah pasangan ini
yang porak poranda dihantam bom. Sesekali terjadi di rumah bordil tempat ia
menitipkan kedua anaknya agar lebih fokus mengurus sang suami.
Tidak mudah menebak alur dan akhir dari film ini. Ada
adegan-adegan dialog yang seolah tak habis. Curahan hati alami si perempuan
seperti ungkapan kegelisahan yang tak kunjung usai. Antara masa lalu dan
sekarang. Apakah sang suami sembuh lalu kemudian menyadari ada kerikil dalam
rumah tangganya? Atau semuanya terlanjur habis oleh perang sebelum si perempuan
berhasil mengungkapkan seluruh isi hati dan rahasianya? Semuanya tidak teraba
sepanjang plot. Meskipun mata sang suami yang sesekali terbuka menunjukkan
bahwa ia mendengar segalanya.
Comments
Post a Comment