Dusun ini ditempuh
sekitar tiga puluh menit dari Wonosari. Ibu kota Kabupaten Gunungkidul.
Lokasinya berada di antara Wonosari dan Pantai Drini. Saat ini, jalan utama yang
membelah dusun itu menjadi salah satu jalur pilihan untuk sampai ke
pantai-pantai yang berada di Kecamatan Tanjungsari seperti Baron, Kukup,
Sepanjang, Watu Kodok, Drini, dan Krakal. Sore itu, jelang petang, dusun masih
ramai oleh warga yang asyik bermain volly tidak jauh dari rumah Kepala Dusun
tempat kami menginap. Sambil duduk di teras rumah, kami bisa menyaksikan
aktifitas warga. Selain para perempuan dan remaja yang bermain volly, beberapa
petani lansia melintas di depan rumah dan saling menyapa dengan kami. Mereka
baru saja pulang dari alas (sebutan lahan pertanian di Gunungkidul). Di antara
mereka ada yang membawa rumput untuk ternak, ada juga yang menggiring seekor
kambing. Sepertinya dibawa ke alas untuk dibiarkan merumput sendiri.
Sejak tiga tahun ke
belakang, saya sudah akrab dengan pemandangan kehidupan dusun di beberapa titik
Kecamatan Tanjungsari. Bolak balik ke sini untuk urusan pekerjaan membuat saya
terbiasa melihat aktifitas mereka dan pemandangan alamnya yang bersiklus dari
kering tandur ke basah hijau. Saya juga terbiasa dengan pemandangan warga yang
menggotong air dari PAH (penampung air hujan) ke rumahnya menggunakan jeriken.
Namun selalu ada hal baru setiap kali saya menyambangi Gunungkidul.
Bahan-bahan |
Pada periode kerja
akhir tahun ini, seorang perempuan bernama Endang mengenalkan saya pada satu
jenis kuliner di Gunungkidul yang baru saya dengar. Perempuan ini adalah staff
pemerintah kabupaten. Badannya gempal. Pembawaannya ceria dan ceriwis. Saat
mengunjungi kantornya, kami disuguhi gorengan, kacang tanah goreng, singkong
rebus, dan sambal bawang. ‘Dimakan mumpung hangat. Itu gorengannya dicolek ke
sambal bawang. Enak!,’ seru Ibu Endang penuh semangat. Dari situ kami tahu dia
adalah pecinta kuliner sejati dari cara dia membicarakan makanan dengan
antusias. Dia berjanji akan mengajak kami berkeliling dan mengenalkan kuliner
Gunungkidul selain thiwul dan walang.
Di antara semua
cerita soal menu-menu yang diceritakan Ibu Endang, saya tertarik pada rujak
bebek jambu monyet. Menurut Ibu Endang, di Gunungkidul, rujak bebek jambu
monyet ditumbuk dengan daun pepaya mentah. Selain bentuk visualnya, saya
penasaran pada rasa rujak yang dibuat dari bahan yang memiliki rasa pahit daun
pepaya dan rasa getir jambu monyet. Ini berbeda dengan rujak bebek yang biasa
saya makan yang terdiri dari: Ubi, jambu, dan beberapa buah bertekstur keras
lainnya. Kami tidak bisa mencicipinya karena di Gunungkidul, warga hanya
membuat rujak bebek itu saat musim jambu monyet. Rujak yang ditumbuk ini tidak
lazim dijual layaknya rujak (lutis) berbahan buah-buahan.
Kesempatan
mencicipanya baru datang saat kami menyambangi dusun akhir pekan lalu. Di sini
rupanya jambu monyet sudah berbuah. Walaupun ukurannya kecil, jambu monyet
sudah bisa diolah menjadi rujak bebek. Sore saat kami bersantai di depan rumah,
Kepala Dusun pamit memetik daun pepaya, sementara istri dan tetangganya
menyiapkan bahan lain. Lesung berbahan kayu dicuci bersih lengkap dengan
alunya. Tidak lama, Kepala Dusun pulang membawa beberapa petik daun pepaya
hijau segar. Tiga piring dihamparkan di teras dekat lesung. Satu berisi daun
pepaya, satunya berisi jambu monyet, terakhir berisi bumbu berupa cabe rawit,
garam, dan bawang putih. Bumbu penting lainnya untuk menambah cita rasa adalah
gula merah dan terasi. Sepertinya kompisisi keduanya harus dalam jumlah besar
untuk membuat rasa rujak yang maknyus.
Proses penumbukan |
Ibu Kasih, tetangga
Kepala Dukuh yang saat itu mempraktekkan langsung cara membuat rujak bebek
jambu monyet. Tahap pertama adalah menumbuk daun pepaya sampai halus dan
mengeluarkan air. Selanjutnya bumbu sepeti cabai rawit, bawang, dan garam ikut
ditumbuk dengan daun pepaya. Disusul sejumlah besar gula merah dan terasi.
Tahap terakhir pembuatan rujak ini adalah menumbuk jambu monyet. Menurut Ibu
Kasih, jambu monyet tidak perlu ditumbuk sampai halus. Cukup sampai dagingnya
hancur sedikit. Terus ditumbuk agar bumbu bercampur rata. Secara visual
tampilannya menggugah selera. Hijau pekat tumbukan daun pepaya saling berkontra
dengan kuning agak oranye dari buah jambu monyet.
Rujak ini memiliki
sensasi rasa yang unik. Pahit dari daun pepaya memang hilang seperti yang
dikatakan Ibu Kasih dan Ibu Endang, tetapi rasa getir dari jambu monyet masih
bisa terasa di lidah. Bagi mereka yang tidak suka rasa jambunya mungkin akan
sedikit mengernyit dengan rasa getir yang masih ada di daging jambu monyet.
Tapi tidak perlu khawatir karena rasa getir lebih ringan berkat bumbu-bumbu
dalam rujak. Sementara sensasi pahit dari daun pepaya justru saya rasakan
setelah rujak ditelan habis. Kami berseloroh bahwa rujak ini meningkatkan nafsu
makan, karena rasa pahit yang ditinggalkan usai memakannya membuat kami tidak
berhenti menyantap hidangan lain untuk mengurangi sensasi pahit di lidah. Tapi
ini tidak dirasakan semua. Beberapa dari kami sama sekali tidak merasakan sensasi
pahit setelah menelannya. Sepertinya mereka itu adalah penikmat jamu
tradisional yang jauh lebih pahit dari daun pepaya.
Setelah semua bahan ditumbuk |
Tradisi kuliner rujak
bebek jambu monyet di Gunungkidul lahir untuk memanfaatkan daging buah jambu. Di
sini saya lihat memang banyak warga menanam pohon jambu monyet. Biasanya,
mereka mengambil kacang mete dari jambu untuk dijual. Sementara dagingnya
seringkali terbuang karena tidak punya nilai ekonomi tinggi di pasar. Mungkin karena
rasa buah yang cenderung getir membuat orang tidak bisa menikmatinya seperti
buah-buah lain. Juga belum ada inovasi untuk mengolah daging buah menjadi
produk lain. Agar tidak terbuang sia-sia, warga mensiasatinya dengan membuatnya
menjadi rujak yang disajikan sambil bersantai dengan kerabat. Beruntung sekali
kemarin kami bisa ikut menikmatinya sambil bersantai di teras rumah. Satu lagi
kekayaan kuliner lokal dari Gunungkidul bisa kami cicipi dan kenali. Tidak
hanya sekedar penjelajahan kuliner tetapi juga mengenal sebab musababnya.
Siap disantap ramai-ramai |
Rujak bebek sendiri
sebenarnya bukan kuliner baru. Di beberapa wilayah di Indonesia warga juga mengenal
tradisi rujak bebek. Dinamakan demikian karena proses pembuatannya dilakukan
dengan cara menumbuk bahan-bahan rujak dalam lesung menggunakan alu. Di Jawa
Barat, rujak bebek terdiri dari ubi dan buah bertekstur keras yang berbeda dari
bahan lutis. Pada masanya, banyak penjual rujak bebek di kampung halaman yang
berkeliling. Bukan menggunakan gerobak, tapi menggunakan dua buah kotak dari
bambu yang ditandu di atas pundak dengan sebilah bambu. Pamornya berkurang
seiring waktu. Entah karena menurunnya pengolahan makanan menggunakan
lesung-alu atau beralihnya media berjualan pedagang yang sekarang banyak
menggunakan gerobak.
Comments
Post a Comment