The Great Indian Kitchen: Perempuan Dalam 24 Jam

 


Jeo Baby konon dikenal sebagai sutradara yang piawai menyajikan film dalam bentuk story telling dan itu saya rasakan betul sejak adegan hingar bingar pesta pernikahan berakhir. Ketika kehidupan kembali berjalan seperti biasa kecuali untuk si istri pengantin baru yang sekarang pindah dan menetap dengan keluarga suaminya. Sebagai istri baru, dia memulai hari pertamanya dengan membantu ibu mertua menyiapkan hidangan untuk keluarga. Di sinilah gaya penyutradaan 'story telling' Jeo Baby sangat terasa. Setiap adegan dideskripsikan secara detail di mana satu demi satu adegan adalah kisah yang penuh makna. Jika diperhatikan, adegan cenderung monoton. Mengulang-ulang aktivitas harian si tokoh:

Di dalam rumah, setiap hari si perempuan menghabiskan setiap jam untuk seluruh kegiatan domestik. Memasak, menyajikan hidangan di meja, menyiapkan teh, membersihkan meja bekas makan keluarga, mencuci piring kotor, membersihkan dapur, menyuguhkan sikat gigi, membuang sampah, menyapu seluruh ruangan, mengepel seluruh ruangan, menyapu halaman, mencuci pakaian secara manual, menjemur, menyiapkan peralatan beribadah, mematikan lampu.

Adegan-adegan itu diulang-ulang terus oleh Jeo Baby sampai pada titik: menyaksikannya jadi amat melelahkan. Seolah-olah saya ikut pontang-panting mengerjakkan semuanya. Perempuan seperti tidak ada waktu untuk sekedar duduk ngaso sebentar. Bahkan di malam hari, si istri harus ‘bekerja’ memenuhi kebutuhan seksual pasangannya yang tidak peduli apa dia lelah atau tidak. Lalu kapan perempuan punya waktu? Dalam konteks film, perempuan harus meninggalkan sebagian besar pekerjaan domestik, terutama dapur, ketika dia menstruasi. Bukan untuk istirahat, tapi untuk mengasingkan diri karena dianggap kotor.     

Terlepas dari perbedaan dalam beberapa praktik kebiasaan, setiap adegan dalam film adalah gambaran umum keseharian perempuan yang hidup dalam budaya patriarkhi. Tidak ada hal yang baru. Jeo Baby benar-benar menggambarkannya secara murni tanpa ada bumbu-bumbu seperti adegan kekerasan. Namun bagi masyarakat India dan para kritikus, film ini dipuji berhasil menguliti praktik-praktik patriarki dalam rumah tangga yang ternyata –seperti saya bilang tadi—begitu melelahkan karena itu dilakukan 24 jam dalam 7 hari. Perempuan terlihat seperti robot yang disetel untuk memenuhi semua peran-peran domestik.

Saya yakin, banyak perempuan, terutama mereka yang sudah berkeluarga merasa terwakili oleh film The Great Indian Kitchen. Jeo Baby sendiri mengangkat film ini dari pengalaman pribadinya. Jeo Baby adalah laki-laki yang percaya pada kesetaraan gender dan mencoba mempraktikkan itu saat berumah tangga. Saat itulah Joe menyadari bahwa kegiatan domestik sangat melelahkan dan pada satu titik amat menjebaknya dalam rutinitas monoton tanpa jeda. Terutama dalam pemenuhan pangan keluarga saat Joe ikut memasak. Film ini adalah refleksi dan kegelisahan Joe membayangkan para perempuan yang selama ini ‘terdidik’ untuk secara otomatis memenuhi peran-peran tersebut sepanjang hidup mereka. 

Jeo berkata, ‘Ini adalah kisah universal". Dan adegan berulang yang menimbulkan kelelahan bagi penonton sepertinya sengaja dipilih Jeo untuk menekankan bahwa peran-peran domestik yang selama ini hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan adalah peran yang menguras energi, penuh tuntutan dan memakan waktu. Peran-peran tersebut sering dianggap sepele dan tak bernilai karena dikerjakkan di dalam rumah. Ruang domestik yang jauh dari hingar bingar persaingan status sosial. 

Betul. Seperti kata Jeo, kisah dalam filmnya adalah kisah universal. Tidak hanya di India. Di Indonesia, gambaran keseharian perempuan juga tidak meleset jauh dari gambaran di film. Setiap hari, perempuan harus memenuhi tuntutan peran sebagai pengasuh dan perawat keluarga. Ada guyonan umum di kalangan perempuan yang menggambarkan pekerjaan domestik yang menyedot waktu: '24 jam itu kurang'. Guyonan ini sering terlontar saat saya mengobrol dengan para ibu dalam banyak forum. Meskipun ada ruang-ruang negosiasi yang memungkinkan perempuan untuk menikmati apa yang kita sebut sebagai ‘me time’, perempuan tetap tertuntut untuk menyelesaikan peran-perannya. Seolah tidak tergantikan sekalipun oleh asisten rumah tangga. Sebabnya, peran-peran ini adalah manifestasi dari pendidikan (formal-informal) yang sejak kecil telah diberikan pada perempuan.  Sejak kecil perempuan dikontruksi dengan pembagiab peran gender seperti itu. Melayani keluarga, terutama pasangan. Perempuan akan cenderung merasa bersalah ketika tidak bisa memenuhi peran-peran tersebut sebagaimana diharapkan. Sekalipun itu untuk alasan-alasan masuk akal. 

Ini menjadi ironi tersendiri mengingat perjuangan mendorong kesetaraan dan keadilan gender telah lama dilakukan. Di satu sisi, perempuan memiliki ruang yang semakin leluasa untuk mengambil peran-peran publik. Ini menandakan adanya distribusi peran publik yang semakin membaik antara perempuan dan laki-laki. Namun di sisi lain, di ruang domestik, distribusi peran ini jalan pelan merambat seperti siput. Baru dilakukan hanya oleh kalangan tertentu. Dalam banyak kasus, perempuan harus tetap memenuhi 80% pekerjaan domestik sekalipun dia juga aktif mengambil peran-peran publik. 

Saya seringkali bilang pada seorang teman: masyarakat kita belum mau berubah. Buktinya, laki-laki yang berusaha berbagi peran mengambil pekerjaan domestik seringkali dicibir sebagai laki-laki kemayu. Bagi masyarakat, pekerjaan domestik tidak maskulin sehingga membuat lelaki seolah menjadi tidak jantan ketika ikut mengambil peran domestik. Jadi, tantangan ini juga dihadapi laki-laki. Apa mereka siap dan cukup tahan banting dengan kesinisan lingkungan saat memilih mengambil peran domestik, sebagaimana perempuan berusaha tahan banting menghadapi segala cibiran ketika memilih terlibat aktif dalam peran-peran publik? Lalu tiba-tiba saya teringat kegelisahan teman yang sebentar lagi akan menikah. Suatu hari dia berkata, ‘Aduh. Aku bagaimana ya. Aku kan gak bisa masak?’. Dia adalah contoh nyata dari manifestasi pendidikan patriarkhi: pendidikan yang menyiapkan perempuan untuk 100% memenuhi peran domestik sesaat setelah ijab kabul.   


Comments