25 November 2010 (disudut Jogja jam 23:30)
Ketabahan Itu bernama Cinta
#1
“Aku ragu ada dan tiadaku tapi Cinta mengumumkan aku ada” (Kata-kata yang dikutip Habiburahman dari seorang tokoh). Mari membicarakan Cinta. Cinta konon diciptakan bersamaan dengan diciptakannya ruh. Jika ruh tidak ada niscaya tidak ada Cinta dibumi ini. Jika Cinta itu sirna maka, sirna pulalah ruh seseorang. Begitulah Cinta dan ruh.
Bagi saya, Cinta adalah hidup itu sendiri. Dibalik peperangan yang brutal Cinta tetap menjadi fenomena yang manis dan indah. Cinta, setiap hari cinta. Dimana-mana ada Cinta. Saat kau mulai merasa simpati pada seorang itu cinta yang bernama asmara. Saat kau tampil membela tanah airmu itu cinta yang bernama nasionalisme. Saat kau menyayangi dirimu itu cinta juga yang bernama narsisme. Saat kau empati terhadap sesama itu cinta yang bernama kasih sayang dan saat kau memiliki perasaan sayang pada keluarga dan teman itu semua cinta.
Cinta kadang mendorong jiwa seseorang menjadi seputih kertas, Cinta juga mendorong seseorang untuk mencat hitam jiwanya seperti arang. Sebut saja kisah seorang pria yang jatuh cinta pada seorang perempuan yang tidak mendapat restu orang tua masing-masing sampai akhirnya bunuh diri. Merekalah Romeo dan Juliet. Ada pula gila karena Cinta seperti Majnun dengan cinta tak berbalasnya dari Laila. Tidak selalu begitu, cinta juga menjadikan seseorang seputih kertas. Itulah cinta yang hakiki, yang bukan hanya sekedar nafsu atau pamrih. Betapa kuatnya pengaruh cinta. Sampai-sampai tidak pernah habis dibicarakan. Mungkin cinta akan habis jika ruh mati.
Jika kekuatan cinta saya gambarkan maka, dunia dan seisinya tidak cukup untuk menggambarkan kekuatannya. Cinta tidak teraba. Sengatan matahari, kilatan petir, dinginnya salju dan panasnya bara api tidak juga sebanding dengan kekuatan cinta.
Oh sebentar, kali ini Cinta yang saya bicarakan bukan Cinta asmara. Bukan tentang jantung pria yang berdetak-detak kencang saat bertemu kekasihnya. Karena sebelum saya, ada banyak sekali orang yang bertutur mengenai itu. Karena ada sebuah Cinta manusia yang jauh lebih hebat dibandingkan apapun yang jarang terceritakan. Cinta itu adalah Cinta seorang Ibu untuk anaknya.
“bolehkah saya menuliskan kisah anda dalam catatan saya” tanya saya melalui percakapan suatu hari.
“untuk apa?” jawabnya
“Apa yang ibu alami sangat istimewa bu, biarkan orang tahu tentang perjuangan dan pengorbanan ibu selama ini”
“................”
“saya ingin, membuktikan pada dunia tentang kekuatan cinta yang nyata bu” lanjut saya. Dia diam sejenak lalu menjawab.
“hhhh, boleh nak. Tapi, tidak usah terbuka tentang identitas saya. Ntahlah saya rasa apa yang menimpa saya biasa saja” ucapnya santai
Dan sekarang aku mulai merangkai kata tentangnya.
Ibu dede merupakan anak sulung dari 10 bersaudara. Oh saya lupa dia keturunan keluarga berdarah Sunda yang notabene dimasanya, memiliki anak banyak merupakan hal biasa dan menjadi kebanggaan tersendiri. Saya mengenalnya sebagai tetangga yang ramah. Dari kecil orang tuanya, khususnya sang ayah mendidik bu dede menjadi wanita mandiri. Alhasil, semasa dewasa dia sudah menjadi penopang ekonomi keluarga dalam hal pembiayaan sekolah beberapa dari 9 adiknya. Ayahnya sangat keras mendidiknya, bahkan mengenai pergaulan dengan lawan jenis. Dia sering bercerita “anak-anak perempuan zaman sekarang terlalu bebas. Dulu itu, jangankan jalan-jalan ngobrol saja dimarahin” kenangnya.
Dia berhasil menyelesaikan pendidikannya di IKIP Bandung (Sekarang UPI) dan kemudian menjadi Guru disebuah sekolah yang terletak di tetangga desanya. Ditempat mengajar itu pulalah dia kemudian bertemu dengan seorang pria bernama Lukman. Lukman, menurut ibu dede mengejar-ngejar bu dede dan memintanya menjadi istri. Padahal, saat itu bu dede berharap laki-laki yang selama ini dia sukai datang melamarnya. Tapi, jodoh bukan kehendak manusia. Lantaran pria yang dicintainya tak kunjung mengucap ikrar cinta, akhirnya dia menerima lamaran Lukman. Lukman yang secara materi dianggap sudah mapan (Nb: Orang tuanya kaya), menjadi salah satu pendukung bu dede untuk memantapkan menikah.
Orang tua Lukman mewariskan sebuah bisnis pada Lukman dan bu Dede agar lebih mapan dan mandiri lagi. Setelah beberapa tahun menikah, saat itu bu dede memiliki anak 2 (Laki-laki dan perempuan). Lukman meminta bu dede berhenti menjadi Guru (pensiun dini) dan diminta untuk menghandle bisnis rumahnya. Sementara Lukman sibuk mengurus ladang yang menurut cerita bu dede berhektar-hektar luasnya.
“Sekarang ludes gak tersisa, bahkan kolam ikanpun tak ada” ucap bu dede ditengah-tengah ceritanya. Meskipun berat, bu dede tetap mengambil keputusan pensiun. Dia selalu ingin mematuhi suami. Karena itulah ajaran sang ayah. Banyak pihak yang menyayangkan keputusannya. Rekan kerja dan kelurga dari pihaknya. Termasuk saya, “bodoh sekali, padahal itu bisa menjadi penopang ekonomi keluarga” caciku dalam hati. Tapi, aku merasa malu saat kemudian ibu dede mengatakan “patuh suami, dia imam keluarga”. Betapa dia sangat hormat pada suami.
Setelah pensiun, ibu dede mulai sibuk dengan bisnis yang diberikan mertua sebagai hadiah pernikaha itu. Sementara suami sibuk di kebun dan sawah. Memandori pekerja. Awalnya semua berjalan lancar, suami istri ini satu sama lain menempati porsi masing-masing sebagai pasangan. Tetangga dikampung cukup menghormati mereka. Lantaran dalam setiap kesempatan selalu membagi-bagikan hasil panen. Seperti jeruk, mangga dan lain sebagainya.
Comments
Post a Comment