Beberapa bulan belakangan ini hampir setiap harinya Jogja di guyur hujan. Matahari jadi jarang terlihat kecuali pagi menjelang siang. Selebihnya hujan adalah teman kami. Hujan selalu datang dengan berbagai pola. Kadang langit yang gelap gulita laksana jelaga hanya meneteskan air yang tidak lebih lebar dari jarum yang sering diacungkan para dokter sebelum menyuntik pasiennya. Kadang, air sebesar biji jagung jatuh menghantam bumi tanpa ampun disertai gemuruh angin yang dahsyat. Dilain kesempatan langit mendung ditemani cahaya yang mengkilat-kilat serta suara gelegar dari langit tanpa setetes airpun menetes.
Picture took from google.com |
Dalam berbagai pola turun hujan (kecuali petir) sesosok manusia selalu menengadah menatap langit dan merenungi tetesan air yang mengalir merembes masuk dalam tanah. Selalu seperti itu, pagi dikemudian hari dia melihat tanah sekitar tempatnya biasa duduk telah ditumbuhi rumput-rumput liar dengan warna hijau mengkilat dan segar. Hmm....hari pesta untuk berbagai hewan ternak telah tiba. Bahkan air liur si ulat yang meliuk-liuk itupun akan serta merta terbit demi melihat daun dan rerumputan yang menghijau segar setelah hujan semalam.
Pagi ini, pengurus taman yang biasanya sibuk menyiapkan selang dan ember sebelum menata taman. Hari ini dia cukup membawa parang. Tanpa topi, hari ini sang arsitek taman itu cukup mengiangi rumput liar di sekitar taman. Merapihkan pohon-pohon yang mulai memperlihatkan cabang baru disana-sini. Hujan telah mengurangi satu pekerjaannya. Menyiram.
Sosok itu tetap terkagum-kagum menatap tetesan air yang setiap harinya jatuh ke bumi. Membawanya pada kenangan dimana dia berlari-lari dengan girang setiap kali hujan turun. “Ma, aku boleh main khan...???”, ucapnya merajuk memohon izin pada sang bunda. Seperti bumi sedang mengalami dahaga dahsyat, sehingga kubikan air yang turun tidak lekas tergenang diatasnya, semuanya masuk menyerap ke dalam bumi tanpa bekas. Sosok itu tidak peduli dengan ratapan orang-orang disekitar. Mengatai sang hujan yang kerap turun, yang kadang dalam sehari tidak lantas berhenti. Membuat pakaian lebih lama kering, dan membasahi tubuh-tubuh setiap kali menginjak tanah terbuka tanpa atap.
Hujan tetap indah, apalagi di sudut Jogja ini.
Setelah sang merapi mengamuk memuntahkan lapisan abu vulkanik, hujan menjadi penawar. Membawa lapisan vulkanik merembes bersamanya nun ke dalam perut bumi. Bersama air yang tercurah, dalam perut bumi abu vulkanik menjelma menjadi pupuk penyubur sumber kehidupan manusia. Setelah merapi mengamuk, hujan menggugurkan pasir membawanya mengalir di sungai-sungai sepanjang Jogja. Kebahagiaan sungguh telah datang untuk para penambang. Meski perlu pengorbanan untuk sementara waktu. Semua menjadi melimpah ruah dan mudah.
Dan lihat, para petani tengah berpesta. Merayakan air yang mengalir dengan mudah ke sawah-sawah mereka. Tanpa harus berpeluh keringat mencari sumber pengairan, hujan begitu saja turun. Dan bibitpun siap ditanam. Sebagian mulai tumbuh memuat cabang-cabang baru. Sebagian lain mulai menyembulkan biji-biji kecil kekuningan. Oh, satu lagi. Para penjual makanan dan minuman yang mengepul-ngepulkan asap diatas wadah-wadahnya menjadi laris manis. Motor memadati parkiran warung mereka. Meskipun begitu, keadilan tetap ada bagi penjual es. Selalu saja ada manusia yang merasa dahaga diantara dinginnya hujan. Seorang penjual sibuk memblender berbagai macam buah menjadi aneka minuman segar. Menuangkannya dalam gelas plastik, menyertainya dengan sedotan. Setelah siap dalam bungkusan kresek hitam sang penjual melangkah dengan langkah pasti sambil tersenyum mengantarkan pesanan.
Sosok manusia itu tersenyum
.....Dan semua mendapatkan nikmat dari apa yang sudah dituliskan untuk mereka.....
Untuk Temanku...^_^
Unires,14 Desember 2010 ~andaLusia~
Comments
Post a Comment