Jangan tanya ".....ALAM....."


Perjalanan ini
Trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan
Banyak cerita
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan

Tubuhku terguncang
Dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap kering rerumputan
Perjalanan ini pun
Seperti jadi saksi
Gembala kecilMenangis sedih ...

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya tlah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut
Kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak
Kepada matahari

Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit

Barangkali di sanaada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan banggadengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang

~ Ebiet G. Ade, Berita Kepada Kawan ~



Kalimat dalam selembar pamflet di sebuah lorong berbunyi...........

“Mereka kehilangan semuanya karena gempa bumi”

Ada apa dengan manusia  atau ada apa dengan alam?

Kalimat diatas telah menghukumi gempa bumi sebagai kambing hitam dari segala penderitaan manusia. Memang, gempa bumi dan bencana alam belakangan melanda negeri permai yang dipenuhi dengan manusia-manusia rakus ini. Meluluhlantakkan sudut negeri, menelan beberapa nyawa, menghempaskan harta benda. Manusia menjadi sama, tidak ada CAP yang membatasi status masing-masing. Tidak ada si kaya dan tidak ada si miskin. Bukankah itu sudah menjadi lumrah dan hak alam untuk bergerak.

Ada apa dengan manusia?

Sudah sekian lama alam bergeming, meskipun tangan-tangan jahil manusia mulai memporak-porandakkan keseimbangannya dengan melubangi lapisan ozon, dengan menggerogoti isi tubuhnya. Alam tetap bergeming, alam tetap sabar. Baru saja dia bergerak sedikit, manusia menghujatnya. Padahal hanya sepersekian persen kenikmatan yang hilang dari semua kenikmatan yang didapat dari hasil menggerus tubuhnya.

Ada apa dengan manusia?

Alam bergerak untuk menata kembali keseimbangan tubuhnya, menyampaikan keresahannya. Alih-alih membantu alam, justru manusia mulai sibuk meneliti saudaranya yang konon potensial untuk ditinggali. Dialah Mars. Mudah sekali berpaling. Apa karena sifat dasarnya manusia yang senang melupakan jasa yang lain atau memang ketakutan yang menggila dalam diri manusia jika suatu saat alam benar-benar marah?.

Ada apa dengan manusia?

Menyalahkan alam atas kesalahan dan kerakusan yang dilakukannya. Memalingkan wajahnya saat alam mulai tua dan lemah. Menghakiminya sebagai penyebab tangis dan duka saat sebagian lainnya tetap semangat menggerus tubuhnya dan menumpuk kekayaan demi kekayaan tiada bertepi.

Ada apa dengan alam?

Berputar untuk menjaga keseimbangan manusia, bertahan untuk memberi sumber kehidupan bagi manusia, menyambut matahari dan bulan untuk memberi manusia kenyamanan, menyambut hujan untuk kembali menumbuhkan kehidupan baru, memuntahkan lahar untuk menyuburkan tumbuhan demi kesejahteraan manusia. Setelah semua yang dilakukannya, sebagian dari manusia masih menghujatnya. Mars, apakah kau tahu perilaku manusia yang sedang mengincarmu? Cukup lihat diriku (Bumi).

Ada apa dengan manusia dan alam?

Dia bergerak, dia bergejolak dan dia meratap meminta manusia untuk merenung, meminta manusia untuk berhenti menyakitinya. Berhenti barang sejenak saja. Toh, setelah apa yang dilakukan alam dia membayarnya dengan tanah yang subur, dengan materi-materi yang dia keluarkan untuk mereka yang membutuhkan. Dia menggantikannya dengan rasa empati dari sesama manusia di seluruh belahan dunia.

Mari bertanya pada rumput yang bergoyang, jika rumput meranggas tanya pada angin, jika angin mengganas tanya pada langit, jika langit menggelap gulita tanya pada hatimu.............???
Disanalah jawaban berada.

Unires, 02 Desember 2010

Comments

  1. Aih.... nampaknya " Rasa " cukup trewakili liryk sang penulis, bukan kah begitu neng?/

    ReplyDelete
  2. Iyah, Lagu Ebiet G Ade abadi sepanjang masa....

    ReplyDelete
  3. mm... ak lebih sependapat sm Mbak F**ly : kalau kita jadi fatalis, semua gakan ada perubahan... fatalis itu, yg mnyerahkan sm Tuhan..
    smua memang akan kembali kepada-Nya..., cm bencana2 krna ekosistem yg trganggu ini jg 'besar' sumbangannya dr mereka2 yg meloloskan globalisasi, investor2 pertambangan, dll.... ak lebih setuju klo kita coba bergerak utk mengkritik mereka2 itu...
    gimana menurutmu?

    ReplyDelete

Post a Comment