Raja, Ratu dan Pelayan

Beberapa tahun lalu, mungkin sekitar tahun 2005 saat itu saya terburu-buru hendak meminta tanda tangan seorang guru untuk kepentingan organisasi yang mendesak. Tanda tangan sang guru tersebut semacam harga mati untuk mengajukan sebuah surat pada pimpinan tertinggi sekolah saya. Pagi sekali---mungkin sekitar pukul 06.00---saya sudah mengetuk pintu rumah sang guru. Salam pertama saya tidak mendapat jawaban. Saya dengan berusaha sabar terus menunggu sampai beberapa menit kemudian, kembali mengucap salam yang kedua. Maklum, saya harus mengirit salam yang hanya boleh dilontarkan tiga kali kepada si pemilik rumah. Saat itu sudah berlalu sekitar sepuluh menit kurang lebih.

“Tenang Mid, kita masih punya jatah salam empat kali lagi” ujar teman saya sambil tertawa.

Maksudnya jatah saya tinggal satu kali salam ditambah jatah salam dia yang masih tiga kali jadi empat.

“ha, ha, dasar. Ya gak bisa” jawab saya yang langsung berdiri menuju pintu.

Kali ini kami pasrah kalau ketukan dan salam yang ketiga kali tidak mendapat jawaban maka, surat kami tidak bisa masuk meja pimpinan pagi sebelum jam belajar. Akhirnya, kami berinisiatif untuk mengucap salam dengan volume lebih besar dari sebelumnya. Dan, alhamdulillah sang guru akhirnya keluar. Masih dengan kostum rumahnya, beliau berkata....

“oh, ada apa Mida?” ucapnya sambil membuka pintu lebih lebar. Kemudian saya menyodorkan map berisi surat untuk ditandatanginya. Tanpa basa-basi berarti beliau langsung masuk kembali setelah selesai membubuhi surat putih itu dengan tanda tangannya.

Siangnya, kebetulan sang guru mengajar untuk sebuah mata pelajaran di kelas saya. Itulah yang kami sukai dari guru-guru kami di sekolah. Beliau-beliau senang bercerita dengan cerita-cerita menakjubkan. Dan siang itu, tiba-tiba sang guru mengungkit kejadian “penantian” saya dan teman saya waktu paginya. Beliau bercerita bahwa pagi-pagi sekali beliau tidak bisa diganggu. Itu alasan kenapa tadi pagi saya dan teman harus menunggu cukup lama. Tiap paginya, ada rutinitas sang guru yang tidak bisa diganggu. Kecuali emergency.

Tanpa beban kami bertanya mengenai rutinitas yang tidak bisa diganggu tersebut. Dan inilah jawaban beliau...................

Setiap pagi saya membersamai istri saya, dia khan masak. Nah, saya bantu-bantu lainnya. Kadang nyuci. Kadang potong kayu. Kadang bersih-bersih rumah. Pokoknya apa yang belum terjamah istri saya, saya yang kerjakkan. Kalau istri saya kerja, saya juga harus kerja. Saya gak mau istri saya sibuk beres-beres rumah, masak dan nyuci sementara saya ongkang-ongkang. Kalau saat saya jadi raja, dia (istri) harus jadi ratu. Kalau saat dia sedang jadi pelayan, saya juga jadi pelayan, gituh.

Jawabnya sambil sesekali menerawang (asumsi saya sedang membayangkan rutinitas paginya). Dan kami, sekali lagi tanpa beban berteriak serempak “cieeeeeeeeeeeeeee........” sang guru hanya bisa tersenyum lebar dengan wajah sedikit merona.

Kemudian, kami satu kelas (semuanya perempuan) sepakat berkata “wah, si ibu beruntung ya punya suami beliau”. Saya, hanya bisa terkagum-kagum pada sang guru. Beliau adalah sosok seorang suami............menurut saya pintar memposisikan diri, menghargai istri dan tahu bagaimana membedakan antara hak dan kewajiban.

Unires, 06 Desember 2010 (Penghujung malam 1431 H)--andaLusia--

terinspirasi oleh status FB seseorang.....
Rapi dan bersihnya rumah menjadi salah satu parameter bahwa wanita/istri di rumah tersebut layak dikatakan perempuan
..... maaf sudah sembarangan kutip.....habis inspiratif..........^_^


Comments

  1. Bahkan Rasul pun tak segan membantu pekerjaan istrinya... Smoga para "calon suami dan suami" jaman sekarang pun memilki kepekaan seperti itu...

    ReplyDelete

Post a Comment