Negeri Timur Tanpa "Kekeluargaan"

Assalamu'alaikum

Pagi sabtu yang mendung ketika saya harus bersegera menuju notebook kecil dan berselancar mencari bahan ujian. Ujian mengenai Isu dan Krisis memaksakan saya harus memasuki situs berita. Pertama saya membuka Kompas.Com. Selain berita salah satu wakil rakyat yang tertangkap kamera wartawan tengah melihat gambar aneh di layar komputer tabletnya, berita mengenai Deli Suhandi bocah 14 tahun yang dituduh mencuri voucher seharga 10.000 masih diberitakan. Update terbaru berita, pengacara akan mengajukan permohonan agar kasus yang menimpa Deli tidak sampai ke meja hijau dan berlarut-larut. Tapi nampaknya kejaksaan belum memberi lampu hijau. Bahkan kuningpun belum.

Ironis memang. Kasus seperti itu harus berlarut-larut bahkan sampai ke meja hijau. Mengingat "pelaku" yang masih dibawah umur dan kategori kasus, memang mengesankan bahwa pemerintah terlalu memberikan porsi banyak untuk mengurusi permasalahn tidak penting (baik dari segi dampak maupun kerugian lainnya). Dan ceenderung mengabaikan perkara yang jauh lebih bombastis. Seperti kasus korupsi yang diputar-putar sampai tidak jelas penyelesaiannya.

Ini bukan kasus pertama yang terjadi di Negeri pertiwi yang katanya mewarisi budaya timur ini. Kita mungkin masih ingat dengan kasus pencurian buah semangka, dan beberapa jenis buah yang pernah merajai pemberitaan media. Lagi-lagi kasus itu berakhir di meja hijau. Sementara kasus Gayus yang sudah bergulir sebelum kasus pencurian buah itu merebak. Sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya.


Satu lagi berita yang membuat saya miris. Seorang relawan bencana gunung merapi dilaporkan oleh warga karna kedapatan membawa pisau lipat ketika bertugas menyelamatkan korban merapi. Ketika "pelaku " diwawancarai oleh wartawan wajah datarnya hanya mengeluarkan beberapa kata "Saya serahkan saja ke persidangan. Yang pasti niat saya hanya ingin membantu evakuasi" (Begitu kira-kira inti dari perkataannya dengan logat jawa yang kental). Tidak ada dendam atau kesal di wajahnya. Padahal, sekilas membawa pisau saat bertugas evakuasi tentu hal yang biasa dan bahkan dibutuhkan.


Kasus-kasus diatas mencerminkan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Indonesia, dengan mayoritas penduduk muslim di mata dunia dipandang sebagai negara yang mewarisi nilai-nilai ketimuran. Mulai dari agama yang dianut sampai pada budaya masyarakat yang lagi-lagi katanya ramah-ramah dan suka menyapa. Itu hanya image yang terbangun di masyarakat global untuk tipe masyarakat Indonesia, kenyataannya didalam tidak sepenuhnya seperti apa yang terlihat di luar. Karna, kita tentu tidak bisa mengenalisir semua karakter manusia dalam satu definisi.

Kita harus akui kalau Indonesia memang mewarisi budaya timur. Salah satunya budaya kekeluargaan atau masyarakat kolektif. Satu keluarga bisa mengenal semua tetangga satu kampung dimana dia tinggal. Itu yang membedakan kita dengan budaya luar. Di luar negeri budaya individualis sangat kental. Jika tidak terikat dalam kepentingan kita bisa jadi tidak mengenal tetangga yang rumahnya tepat disamping rumah kita. Rupanya Indonesia mulai mengarah menuju budaya itu. Salah satu contoh adalah ketika merebak kasus bom yang meledak di Hotel Ritz Calton. Ketika wartawan berusaha menelusuri pelaku dengan mewawancarai seorang tetangga yang tinggal tepat di samping rumah pelaku hasilnya nihil. Belum sampai kepertanyaan mendalam wartawan sudah dibuat bengong karna tetangga itu sama sekali tidak mengenal pelaku.

Terkikisnya budaya kekeluargaan dalam sosial masyarakat Indonesia juga tercermin dalam berbagai kasus sepele yang terjadi. Masyarakat lebih memilih jalur hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut ketimbang memilih penyelesaian secara kekeluargaan (dengan melakukan musyawarah dan pertemuan internal). Meskipun harus menelan banyak biaya melebihi kerugian yang ditimbulkan kasus yang terjadi, masyarakat tetap kekeh memilih jalur itu. Ntah karakter seperti apa yang sebenarnya terbentuj dakam masyarakat Indonesia. Nta itu memang ego yang besar, gengsi atau karna memang nilai-nilai timur yang syarat dengan toleransi serta saling memaafkan terhadap sesama sudah semakin terkikis habis. Yang pasti nilai kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia mulai mengikis.

Image global yang terbangun tentang Indonesia seperti buaian belaka untuk kita. Toh, pada kenyataannya keadaan sosial masyarakat tidak seindah apa yang terbangun dalam image. Memaafkan bukan lagi salah satu nilai dalam masyarakat kita. Toleransi dan nilai-nilai timur yang diajarkan ulama-ulama yang membawa Islam dari Timur ke Indonesia. Keadaan ini tentu ada sebabnya. Tidak serta merta begitu saja. Ada asap pasti sebelumnya ada api.

Sebaliknya, Negeri Barat yang terkenal dengan budaya individualis justru memiliki tingkat menghargai sesama lebih tinggi. Tidak hanya sesama manusia, bahkan hewan benar-benar memiliki perlindungan secara hukum. Meskipun terkesan berlebihan tapi itu mampu memberikan kesejahteraan dalam kehidupan masyaralat. Untuk sementara, masyarakat berubah tergantung pada pemerintahnya. Yang di negera kita merekalah yang memiliki kewenangan.

Semua kesimpulan ini saya ambil dari image yang terbangun di media. Karna secara jasadi saya belum pernah keluar negeri....:)

Unires, 9 April 2011 --andalusia--






Comments