Arti Sebuah "cerita"

Bismillah,
Hal yang tidak pernah aku sesali didunia ini adalah terlahir dalam keluarga besar. Jika dihitung, kami satu keluarga sudah memenuhi kuota untuk jadi tim sepak bola. Aku anak ke enam dari sembilan bersaudara. Salah satu alasan yang membuat aku bersyukur adalah karena dengan banyak saudara ini aku diantarkan kesebuah masa di mana aku benar-benar menikmati masa kecil yang menyenangkan. Semanjak Ibuku mengandung adikku (anak ke 7) aku harus berhijrah ke rumah kakek nenekku. Di sana aku menghabiskan masa golden age-ku yang seharusnya secara intensif dibimbing orang tua, aku justru tengah asyik berlari-lari di pematang sawah mengejar belalang bersama kakek, nenek, dan bibiku (panggilan orang sunda untuk adik ibu) yang sibuk memeriksa air di sawah. Di saat yang lain dimandikan oleh ibunya, aku justru diajari bibiku cara menimba air dengan ember yang digantungkan disebuah alat semacam roda yang bisa ditarik dan diulur. Jika mengingat masa itu, aku selalu merasa bahwa aku lahir dari orang tua dengan visi modern tapi dibesarkan oleh keluarga yang sangat desa dan alami.
Sampai hari ini ada beberapa kenangan yang terus datang silih berganti. Aku tidak mungkin melupakan masa-masa itu. Umur yang masih kecil membuat aku begitu saja beradaptasi tanpa kesulitan. Nenek yang memperlakukanku seperti anak bukan cucu bahkan membuat aku merasa semakin baik-baik saja meskipun jauh dari orang tuaku. Dari semua kenangan ada satu kenangan yang sangat aku sukai. Yaitu, saat harus bangun di hari minggu dan bergegas ke rumah buyutku. Itu kebiasaan rutin bibiku. Dia cucu kesayangan buyutku. Sebagai anak kecil, semenjak tiba dirumah besar tapi sangat jadul itu aku mengikuti rutinitas yang dilakukan anggota keluarga termasuk berkunjung ke rumah buyut. Di rumah buyut, kami akan duduk melingkar di kursi tamu yang kerap aku lihat di film "Si Doel Anak Sekolahan". Rumahnya masih rumah panggung. Serba kayu. Mulai dari lantai sampai dinding.
Dikursi itulah kami dengan tenang dan penuh antusias mendengarkan apa yang akan buyut kami sampaikan. Yah, saatnya cerita. Kenapa aku bilang cerita. Karna apa yang buyutku sampaikan sama sekali bukan kisah fiksi. Tapi pengalaman yang pernah dilaluinya semasa zaman penjajahan. Saat dia masih muda, dan ikut mempertahankan tempat kelahirannya dari sentuhan para penjajah. Dari sekian cerita yang paling aku ingat adalah saat buyutku berhasil menyelamatkan diri dari kejaran penjajah meski harus tertembak dilututnya. Rambut beruban dan kulit keriputnya tidak mempengaruhi semangatnya bercerita pada kami. Aku dan bibi-bibiku. Kami melontarkan pertanyaan ini itu tanpa disiplin. Membuatnya harus menghentikan cerita dan menjawab satu-satu. Mulai dari sakit tidak, sampai pertanyaan bagaimana selanjutnya keadaan si penjajah yang mengejar buyutku.
Betapa menyenangkannya mengingat masa itu. Kami bahkan tidak merasakan lelahnya menempuh perjalanan dari rumah nenek menuju buyut demi sebuah cerita. Kami akan pulang dengan riang gembira dan melanjutkan aktifitas selanjutnya setelah mendengar cerita buyut. Semua ceritanya hampir tentang masa penjajahan. Karena itulah yang dialami buyutku semasa hidupnya. Buyutku meninggal beberapa tahun setelah itu. Saat itu aku tengah menempuh sekolahku di Pesantren.
Jika buyutku punya segudang cerita tentang masa penjajahan, maka kakekku lain lagi. Dia kerap bercerita tentang kesederhanaan gaya hidup manusia pada zamannya muda. Tentang bagaimana dia harus membaca buku sambil mengelilingi lampu cempor (Lampu dengan minyak sebagai sumber apinya). Dia akan menceritakan bagaimana semua itu tidak menghambat dia dan kawan-kawannya mempelajari kitab-kitab kuning. Justru memacu mereka untuk tetap semangat dalam kesederhaan yang ada. Setelahnya aku hanya akan cengengesan saat menyadari pada masa aku terlahir ke bumi ini listrik telah menjadi sumber cahaya yang membantu aktifitas malam manusia. Biasanya, kakek akan bercerita setelah kami semua mengaji.
Dunia penuh cerita itu aku alami sampai usia 6 tahun. Saat aku harus kembali hijrah ke rumah panjang di kampung sebelahnya. Kembali ke pangkuan orang tua dan melanjutkan kewajibanku untuk belajar. Masa singkat itu yang tidak pernah aku sesali. Kenangan masa itu dengan sendirinya membangun motivasi dan sisi positif diriku. Aku, sampai detik ini masih mencintai cerita-cerita. Mencintai apa yang namanya kisah dan sejarah. Bagiku, sisi itu lebih dipengaruhi oleh cerita-cerita yang kerap disampaikan di rumah kekek nenek, dan buyutku.
Seperti apa yang berusaha disampaikan Tere Liye dalam bukunya "Ayahku (bukan) pembohong". Gaya pendidikan dengan cerita memang gaya pendidikan generasi tua yang dalam hidupnya penuh dengan perjuangan, kenangan, dan pengorbanan. Hal itu lebih dari cukup untuk diceritakan. Dan bagian terpenting dari penggalan kisah yang diceritakan adalah "hikmah". Bahwa, dengan cerita kita bisa banyak mengambil pelajaran. Efek yang tidak terindera selanjutnya adalah pembentukan karakter. Terutama si pendengar adalah anak-anak. Dengan cerita, imajinasi mereka akan terbangun. Menstimulus mereka untuk berkreatifitas dengan talenta yang dimiliki.
Ingin rasanya aku bisa mengabadikan moment itu dalam bentuk photo atau lainnya. Berharap bisa melihatnya secara beruntut. Tapi, kenangan terdalam masih tersimpan dalam benakku. Masa di mana aku mengalami masa lalu yang manis. Yang tidak mungkin aku lupakan, semanis apapun masa yang akan datang yang siap menyambutku. Masa lalu, saat jiwa masih terpeangkap dalam tubuh kecil penuh semangat "bermain" adalah masa penentu kehidupan kita berikutnya. Aku ingin menciptakan masa itu untuk generasi kecil berikutnya. Mengatakan bahwa hidup itu sangat indah melalui cerita.

Unires, 28 Februari 2012 --andalusia--   

Comments

  1. wahkalau saudaranya tambah dua lagi tuh sama kayak aku... ha ha :D

    sayang, waktu kecil aku udah pisah sama embahku apalagi buyut karena beliau udah meninggal jadi yang cerita-cerita ya bapakku

    ReplyDelete

Post a Comment