Instan Mindset Generasi Indonesia

Bismillah,

Tahun 2011 menjelang 2012 adalah tahun transisi musik Indonesia dari Pop Melayu menuju era Boy dan Girl Band (Baca: BGB). Dalam waktu singkat panggung dan acara musik Indonesia sudah dipenuhi penyanyi grup sambil melenggak-lenggok diatas panggung. Dari gerakan tangan biasa sampai mengadopsi gerakan silat menjadi tarian sambil cuap-cuap seringkali kita dapati saat menonton mereka dilayar kaca. Korea Selatan, sebagai salah satu industri entertaintment raksasa yang sekarang mulai berkuasa adalah pihak yang banyak berkontribusi atas kehadiran BGB di Indonesia. Dan para pelaku media Indonesia dengan senang hati memberi ruang untuk perkembangannya. Walhasil, inilah apa yang akhirnya menjadi konsumsi musik kita sehari-hari. Suka atau tidak.

Meskipun begitu, penonton dan penikmat musik Indonesia pasti tidak begitu menikmati genre musik yang baru berkembang pesat di Indonesia ini. Mayoritas dari BGB lebih banyak melakukan lypsinc saat mereka tampil dipanggung dibandingkan bernyanyi secara live. Bahkan dalam setiap acara, BGB lebih banyak lypsinc. Kenyataannya, lypsinc memang dibutuhkan untuk menyembunyikan suara pas-pasan mayoritas penyanyi. Akhirnya yang terjual hanya gerak tari dan hal-hal fiskal yang terlihat. Hanya segelintir penyanyi saja yang memiliki suara seindah seharusnya. Hal itu kemudian menjadi hal yang wajar karna di Indonesia semua masih serba instan. Ada SDM seadanya, bisa dilatih koreografi, bernyanyi lypsinc, terbentuklah BGB. Jika harus berkaca pada Negara Korea Selatan yang jadi kiblat BGB, untuk mencapai kesuksesan seperti hari ini, para pemain industri entertaintment Korea Selatan merelakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Minimal, para artis ditraining selama enam bulan untuk siap beraksi dipanggung.  Dan Indonesia, dalam kurun waktu 6 bulan saja, puluhan grup BGB bermunculan silih berganti.

Ternyata budaya serba instan itu tidak hanya terjadi pada ranah BGB saja, tapi juga ranah akademik. Tadi siang saya ditelpon oleh seorang yang tidak saya kenal. Seseorang merekomendasikan saya pada gadis penelpon itu untuk membantu ujian TOEFLnya. Dia sedang mengejar wisuda, TOEFL yang menjadi salah satu syarat wisuda ternyata belum bisa dipenuhinya lantaran berkali-kali dia gagal test. Dia memintaku untuk menggantikannya di test TOEFL yang katanya di kampus itu tidak ada pemeriksaan KTP atau KTM peserta. Sempat terbesit rasa kasihan mengingat dia ingin segera wisuda, tapi kemudian dengan tegas saya menolak. Alasan utama memang saya merasa belum punya kemampuan mumpuni untuk mengerjakkan soal TOEFL milik orang lain dan di kampus lain pula. Saya tidak berani mengambil konsekuensi jika saya tidak berhasil mengerjakkannya. Alasan lainnya tentu saja saya tidak bisa merelakan diri saya berkontribusi dalam kasus seperti itu. Terutama untuk masalah akademik. 

Ini mungkin sekelumit potret budaya yang berkembang di Indonesia. Tidak mengherankan jika dari tahun ke tahun kualitas SDM Indonesia semakin menurun (info dari Koran Harian Republika). Banyak fakta yang menunjukkan "instan mindsetting" yang dianut masyarakat kita. Menjamurnya kasus korupsi adalah contoh paling nyata bagaimana para pelaku adalah generasi instan. Lebih suka melakukan jalur belakang yang cepat untuk mendapatkan uang dibanding bersabar dan bergiat bekerja puluhan tahun untuk bisa menjadi milyader tanpa harus dihantui ketakutan seperti apa yang sudah ditempuh Steve Jobs. Steve Jobs mengawali karir Apple-nya dari tahun 1970. Dia menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun untuk bisa menggeser posisi Microsoft (perusahaan komputer pertama dunia). Pengemispun menjadi penganut paham "instan mindsetting" gara-gara himpitan ekonomi dan KEMALASAN. Padahal, secara fisik badan bugar para pengemis itu akan jauh lebih bermanfaat dengan memanggul berkilo barang dibanding menyusuri satu lampu merah ke lampu merah lainnya hanya untuk menengadahkan tangan. Saya jauh lebih menghormati kakek tua renta yang masih setia jadi juru parkir di kantor pos yang pernah saya temui dibanding memberikan koin untuk pengemis.

Kita sering mendengar istilah "berakit-rakit ke hulu berenang ketepian" tapi, sesering kita mengucapkan semakin kita kehilagan makna esensinya. Kita semakin diarahkan untuk menganut "instan mindset". Dan parahnya, keadaan ini lebih banyak dimotivasi karna ketidaksabaran, kekurangtekunan, kemalasan, dan keterbatasan mental baja. Sehingga semua jalan ditempuh, sekalipun harus mendzolimi pihak lain. Seperti apa yang dilakukan para koruptor. Kita, sebenarnya bisa mengamalkan istilah diatas sebaik-baiknya dengan mulai membenahi pola pikir kita menjadi pribadi yang tanggap, tegas, dan rajin. Dan mulai mengikis budaya "instan mindset" dengan tidak berkontribusi untuk mereka yang menginginkan jalan instan. Saya percaya kekuatan generasi muda adalah kekuatan perubahan sebenarnya. Meskipun jatah umur bukan hak kita, tapi masih banyak kesempatan yang bisa dilakukan oleh generasi muda. Setidaknya dengan memberi contoh nyata bagaimana menjadi manusia cerdas yang sejati. Seperti apa yang digemborkan oleh produk rokok. Talk Less do More.

Mari, kita semua bisa berkontribusi pada perubahan yang lebih baik. Kata pepatah Cina "Hentikan mengutuk kegelapan, nyalakan lilin". Meskipun terangnya tidak segagah matahari, tapi cahayanya bisa menuntun siapapun yang ada disekitarnya. Sedikit demi sedikit. 

Andalusia, Unires 16 Februari 2012     

Comments