Tentang Keluarga

Senja merona diatas gedung empat lantai bercat kuning, membingkainya menjadi pemandangan yang memanjakkan mata. Telpon genggamku menjerit meminta segera diangkat. "Iya teh..." seorang senior menelpon dari kantor tempat saya bekerja. "Mid, ini ditunggu tamu. Segera ke bawah ya". Lanjutnya. Kakiku bergegas segera menuju lobi apartemen ini. Tanpa lengang, hanya perempuan yang kupanggil teteh itu yang sedang duduk di meja satpam. Di meja sebrangnya seorang lelaki paruh baya memainkan handphonenya tanpa henti. Sesekali menempelkannya ditelinga. Tanda ia tengah sibuk menghubungi seseorang. Ada beberapa orang yang sedang melaksanakan shalat ashar di mushola sederhana di lobi itu. Aku duduk, dan berbicara sebentar. "itu ayahnya ya teh?" tanyaku "Iya mid...".
Laki-laki paruh baya itu baru saja tiba di kota pelajar yang lengang karna ditinggal mudik mahasiswanya. Dalam sehari dia menempuh perjalanan dari Kota Empek-empek, sempat transit di Batavia, dan Langsung terbang ke Jogja. Dia seorang ayah dari junior yang sudah dua hari tidak bisa dihubunginya. Ekspressi wajah laki-laki itu bermacam-macam. Keresahan, lelah, dan khawatir tergambar jelas menjadi satu pemandangan yang membuat hati sedikit ternyuh. Kehadiranku di sana hanya untuk menyampaikan informasi terakhir yang tersisa sebelum anak perempuannya menghilang tanpa kabar.
"Dia bohong kalo bilang sudah diizinin orang tua" ucap si laki-laki. Rupanya anak gadisnya itu tidak benar-benar berbicara pada orang tuanya terkait kepindahannya dari tempat tinggalku. Dia pergi begitu saja. Selain itu, fakta bahwa dia juga sudah lama tidak mengikuti kegiatan akademis menyentakkan si laki-laki. Bagaimana mungkin komunikasi tetap terjalin, tapi keterbukaan mampat sama sekali. Anak gadisnya sama sekali tidak menceritakan semua yang dialaminya, semua keputusan yang diambilnya selama ini pada orang tua yang ada di Palembang.
Sampai detik ini belum ada kelanjutan kabar keberadaan anak itu.....
Tidak banyak pula yang bisa aku lakukan selain memberi bantuan sebisanya. Atau ikut mendo'akan yang terbaik.
Terlepas dari apa alasan si anak menghilang. Takutkah dengan si ayah, atau memang dia tersesat dalam sebuah gerakan yang sekarang sedang muncul ke permukaan. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah, betapa keterbukaan menjadi kunci utama dalam menjalin sebuah hubungan keluarga yang sehat dan baik. Kejadian ini cukup menjadi contoh kesekian dari berbagai kasus yang terjadi. Komunikasi yang lancar saja tidak cukup tanpa diikuti keterbukaan anak pada orang tua. Fenomena itu sudah menjadi hal biasa bagi anak perantauan.
Kadang, jarak jauh justru dijadikan peluang anak untuk mendulang uang dari orang tua dan menghabiskannya di berbagai pusat transaksi keuangan dibagikan cuma-cuma pula ke pasangannya. Mall, rumah makan, dll. Lebih banyak lupa, bahwa uang itu didapat dari tetesan demi tetesan keringat orang tua. Saya juga kerap melupakan bahwa orang tua tetap memiliki hak atas kewajiban yang sudah mereka berikan pada kita sebagai hak kita. Seperti status kita sebagai pembelajar di perantauan. Saya kadang bisa pergi sesuka hati saya kemanapun dan lupa meminta izin pada orang tua. Atau saya dengan sengaja tidak menyampaikan beberapa hal yang saya kerjakkan di kota perantauan itu pada mereka demi menghindari kemungkinan kata "jangan boleh" yang bisa saja keluar dari mulut mereka. Hal itu saya anggap lebih aman dari pada dapat karma karena tidak mendengarkan larangan orang tua.
Anak memang perlu mengevaluasi diri untuk beberapa kelakuan yang tidak etis yang dilakukannya terhadap orang tua. Mulai dari kebiasaan melipat uang bayaran, sampai melupakan amanah utama dari mereka untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya dan menghindari hal-hal yang bisa melalaikan. Orang tua adalah pihak yang paling tidak boleh dikecewakan. Bagaimanapun, apa yang sudah mereka berikan tidak akan pernah bisa terbayar kecuali dengan pengabdian seumur hidup kita. Mungkin, dengan bersikap jujur dan amanah atas pesan mereka merupakan awal langkah kita memenuhi hak mereka sebagai orang tua.
Tapi, kadang orang tua juga harus mengevaluasi. Bahwa, keadaan anak di masa depan sangat ditentukkan oleh lingkungan yang orang tua ciptakan sejak si anak mulai mewujud dalam rahim ibu. Orang tua yang mencipatakan lingkungan sederhana, dan berasas saling terbuka. Baik anatara suami dan istri yang kemudian diterapkan ke anak akan menumbuhkan budaya kertebukaan dalam keluarga. Budaya keterbukaan tidak dibangun atas dasar keseganan antara ayah dan anak, atau ibu dan anak. Tapi, bisa memposisikan diri sebisa mungkin dalam berbagai kondisi yang dialami si anak. Menjadi orang tua, kakak, dan kawan saat bersamaan. Hal itu akan meruntuhkan jarak keseganan. Si anak akan mempercayakan segala hal yang mereka alami pada orang tua yang tidak membatasi dirinya supaya tetap dihormati. Karna penghormatan tidak datang dari pembatasan jarak.
Anak (terutama kita yang sudah beranjak ke umur yang lebih) dan orang tua. Keduanya adalah partner. Jika memang menginginkan masa depan yang lebih baik adalah visi utamanya, sebaiknya segera memperbaiki hubungan antaranya dengan sehat. Karna, keluarga adalah kawah candra dimukanya generasi emas di masa yang akan datang. Garis start bermulanya langkah-langkah ajaib para perubah dan pembaharu.
--In big missing of my hometown--

unires, 2 Feb 2012 --andaLusia--

Comments