Bismillah,
Hari kamis yang melelahkan. Seharusnya jam 9 ini sudah berkutat di kantor. Membaca koran, atau mulai mengerjakkan kembali pekerjaan dari Pak Boss. Tapi, kepala pusing sebelah membuat kasur lebih nikmat untuk dihuni. Berharap setelah terbangun, pusing itu lenyap dan hilang. Nyatanya, 4 jam waktu yang kuhabiskan untuk tidur setelah meneguk satu butir pil pereda sakit kepala tidak cukup untuk menghilangkannya. Dalam keadaan ini aku teringat kembali pada sebuah moment di Hari Senin lalu. Aku dengan seorang adik menancap gas menuju sekolah SMA Banguntapan 2. Tidak terasa waktu dzuhur tiba saat aku, adik, dan seorang guru melangkah keluar gerbang menuju warnet. Si guru tiba-tiba berhenti "Kita sholat dulu ya, disebelah sana ada masjid" tangannya menunjuk sebelah kanan jalan. Kami berdua mengangguk dan mengekor motornya menuju masjid sederhana berpagar besi setinggi dua meter.
Di masjid itu tampak tiga shaff berjajar di area putra dan satu shaff hampir penuh di area putri. Menarik, karna satu shaff putri itu semuanya diisi oleh nenek-nenek sekitar umur 60 tahun ke atas. Bahkan, tepat didepanku seorang nenek shalat sampi duduk diatas bangku pendek. Dia sudah tidak mampu mengerjakkan shalat dengan gerakan normal seperti yang lainnya. Persendiannya sudah tidak sekokoh kami yang masih muda. Bahkan untuk berdiripun aku lihat dia bersusah payah. Lama aku memperhatikan nenek itu, lamat-lamat aku pandangi detail gerakan shalatnya. Bahkan, dia tidak meninggalkan shalat rawatib dua rakaat setelah shalat dzuhur.
Aku si yang muda hanya bisa malu melihat pemandangan nyata didepanku. Nenek itu, dengan keringkihan badannya masih melangkahkan kaki menuju mesjid untuk mendirikan shalat. Aku, ke mushola yang hanya memerlukan tiga lima langkahpun rasanya berat. Nenek itu masih mengerjakkan shalat rawatib untuk menyempurnakan pengabdiannya pada Tuhan di waktu dzuhur itu. Aku, bahkan shalat duha dua rakaatpun rasanya sudah menyita waktuku yang aku rasa sedikit.
Jika si nenek merasa harus lebih khusyuk beribadah karna umurnya yang semakin renta dengan asumsi jatah waktu hidup yang tinggal sedikit, aku si muda malas-malasan beribadah dengan asumsi umurku yang masih panjang. Padahal, jelas sekali bahwa tidak ada satu manusiapun yang tahu sampai kapan mata ini bisa melihat indahnya langit biru. Bisa menikmati bintang gemintang di gulita malam. Diantara kita, masih banyak yang berpikiran bahwa taubat dan beribadah secara maksimal harus dilakukan nanti saat kulit kita mulai keriput. Itu juga yang mungkin menjelaskan kenapa masjid itu hanya dipenuhi oleh kaum tua. Yang muda, asyik masyuk dengan kegiatan sendiri, lupa untuk menemui Tuhannya sebentar saja. Sebentar saja.
Tuham tidak pernah menyinggung umur dalam masalah keimanan manusia. Jangankan umur, bahkan baju yang kita pakaipun tidak menjadi nilai tambah untuk keimanan kita. Tuhan tidak memilih waktu untuk masa ibadah. Tidak memberi kelonggaran untuk berbuat seenaknya pada yang muda. Tuhan adil diatas segalanya. Si Tua dan Si Muda yang beriman akan sama-sama mendapat pahala dan mereka juga akan sama-sama mendapat peringatan untuk kesalahan yang pernah dibuat. Tidak peduli berapa umurnya.
Unires, 1 Maret 2012 --andalusia--
Hari kamis yang melelahkan. Seharusnya jam 9 ini sudah berkutat di kantor. Membaca koran, atau mulai mengerjakkan kembali pekerjaan dari Pak Boss. Tapi, kepala pusing sebelah membuat kasur lebih nikmat untuk dihuni. Berharap setelah terbangun, pusing itu lenyap dan hilang. Nyatanya, 4 jam waktu yang kuhabiskan untuk tidur setelah meneguk satu butir pil pereda sakit kepala tidak cukup untuk menghilangkannya. Dalam keadaan ini aku teringat kembali pada sebuah moment di Hari Senin lalu. Aku dengan seorang adik menancap gas menuju sekolah SMA Banguntapan 2. Tidak terasa waktu dzuhur tiba saat aku, adik, dan seorang guru melangkah keluar gerbang menuju warnet. Si guru tiba-tiba berhenti "Kita sholat dulu ya, disebelah sana ada masjid" tangannya menunjuk sebelah kanan jalan. Kami berdua mengangguk dan mengekor motornya menuju masjid sederhana berpagar besi setinggi dua meter.
Di masjid itu tampak tiga shaff berjajar di area putra dan satu shaff hampir penuh di area putri. Menarik, karna satu shaff putri itu semuanya diisi oleh nenek-nenek sekitar umur 60 tahun ke atas. Bahkan, tepat didepanku seorang nenek shalat sampi duduk diatas bangku pendek. Dia sudah tidak mampu mengerjakkan shalat dengan gerakan normal seperti yang lainnya. Persendiannya sudah tidak sekokoh kami yang masih muda. Bahkan untuk berdiripun aku lihat dia bersusah payah. Lama aku memperhatikan nenek itu, lamat-lamat aku pandangi detail gerakan shalatnya. Bahkan, dia tidak meninggalkan shalat rawatib dua rakaat setelah shalat dzuhur.
Aku si yang muda hanya bisa malu melihat pemandangan nyata didepanku. Nenek itu, dengan keringkihan badannya masih melangkahkan kaki menuju mesjid untuk mendirikan shalat. Aku, ke mushola yang hanya memerlukan tiga lima langkahpun rasanya berat. Nenek itu masih mengerjakkan shalat rawatib untuk menyempurnakan pengabdiannya pada Tuhan di waktu dzuhur itu. Aku, bahkan shalat duha dua rakaatpun rasanya sudah menyita waktuku yang aku rasa sedikit.
Jika si nenek merasa harus lebih khusyuk beribadah karna umurnya yang semakin renta dengan asumsi jatah waktu hidup yang tinggal sedikit, aku si muda malas-malasan beribadah dengan asumsi umurku yang masih panjang. Padahal, jelas sekali bahwa tidak ada satu manusiapun yang tahu sampai kapan mata ini bisa melihat indahnya langit biru. Bisa menikmati bintang gemintang di gulita malam. Diantara kita, masih banyak yang berpikiran bahwa taubat dan beribadah secara maksimal harus dilakukan nanti saat kulit kita mulai keriput. Itu juga yang mungkin menjelaskan kenapa masjid itu hanya dipenuhi oleh kaum tua. Yang muda, asyik masyuk dengan kegiatan sendiri, lupa untuk menemui Tuhannya sebentar saja. Sebentar saja.
Tuham tidak pernah menyinggung umur dalam masalah keimanan manusia. Jangankan umur, bahkan baju yang kita pakaipun tidak menjadi nilai tambah untuk keimanan kita. Tuhan tidak memilih waktu untuk masa ibadah. Tidak memberi kelonggaran untuk berbuat seenaknya pada yang muda. Tuhan adil diatas segalanya. Si Tua dan Si Muda yang beriman akan sama-sama mendapat pahala dan mereka juga akan sama-sama mendapat peringatan untuk kesalahan yang pernah dibuat. Tidak peduli berapa umurnya.
Unires, 1 Maret 2012 --andalusia--
Comments
Post a Comment