Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Siapa tidak kenal lagu itu. Jika kita termasuk generasi 80-an atau 90-an lagu ini tidak begitu asing di telinga kita. Lagu persembahan Koes Plus ini memang lagu yang mencerminkan kondisi alam Indonesia. Orang tua kita dulu sering mengistilahkan kayupun bisa jadi makanan. Itulah Singkong. Cukup ditancapkan sembarangan di pekarangan rumah, dalam beberapa pekan kita sudah bisa menggalinya. Makanan jenis umbi-umbian inipun bisa jadi pengganti nasi. Lebih dari semuanya, alam ini pula yang sudah menarik pesona Belanda untuk menghuninya bahkan sampai 300 tahun lamanya. Pada masa itu rempah-rempah menjadi komoditas utama, terutama gula. Konon katanya tidak ada yang bisa mengalahkan manisnya gula hasil bumi Indonesia. Meskipun telah diduduki selama 3 abad, alam Indonesia seperti tidak pernah habis memancarkan kekayaannya dan itu terjadi pada kurun tahun 70 sampai 80an Indonesia berhasil memanfaatkan kekayaan alamnya dengan melakukan gebrakan berupa swasembada beras. Pada era itu Indonesia berada di tangan seorang presiden berlatar belakang Jenderal. Soeharto.
Berbicara tentang Soeharto, presiden no
dua Indonesia itu memang meninggalkan kenangan pahit dalam benak rakyat
Indonesia. Terutama mengenai sistem pemerintah otoriternya. Tapi, ada satu hal
yang tidak boleh dilupakan Indonesia, bahwa pada masanya masyarakat petani
Indonesia mengalami masa keemasannya. Warisan kejayaan itu
masih terasa sampai detik ini bahkan sudah jadi bagian masyarakat kita yang
mengatakan “makan” itu adalah nasi. Dan, Rabu pagi (20/6), selesai sarapan
di sebuah warung Sunda dari Koran Tribun Jogja saya membaca berita tentang
“pengunduran rencana pembatasan buah Impor” yang menurut beberapa narasumber
dilakukan karena beberapa alasan. Selain karna faktor permintaan konsumen dan
pabrik produsen makanan dan minuman berbahan dasar buah yang masih besar,
kualitas buah domestik juga belum memadai.
Sebenarnya saya bertanya-tanya, apa maksud belum seberkualitas luar negeri itu. Mungkin rasanya yang tidak sebanding luar negeri, mungkin juga karna penampilan buah domestik yang mayoritas tidak menghibur mata. Atau malah karena kita sendiri yang cenderung lebih percaya bahwa produk luar selalu lebih bagus dan baik. Padahal, perkara buah-buahan tentu yang lebih baik adalah buah yang masih segar. Kalau masalah kesegaran, pastilah yang dari dalam negeri lebih unggul. Kalau masalah kandungan gizi dan vitamin, buah tidak pernah pandang bulu. Jeruk domestik dan impor pastilah sama-sama mengandung vitamin C.
Berbicara tentang kualitas, beberapa hari lalu saya baru berbincang dengan seorang teman. Katanya di Israel, sebuah lokasi geografis yang tandus dinyataan sebagai negara dengan kualitas teknologi pertanian paling tinggi. Masyarakatnya menciptakan hujan buatan untuk bercocok tanam. Dan sederet teknologi lainnya yang membuat mereka, negara yang tidak lebih besar dari Pulau Jawa itu berhasil mengimpor produk pertanian mereka sampai keluar negeri. Dan, itu yang belum dilakukan oleh negara kita. Jika dulu Soeharto bisa membacking para petani, seharusnya sekarangpun begitu. Terutama dengan tingkat persaingan global yang sangat tinggi. Ironisnya, di kampus saya sendiri fakultas pertanian menjadi kelas yang tidak begitu diminati. Meskipun mengalami peningkatan jumlah mahasiswa, tapi bila dibandingkan dengan fakultas lain yang tengah naik daun, fakultas ini cukup memprihatinkan. Padahal, untuk negara hijau seperti Indonesia, pertanian adalah bidang yang sangat dibutuhkan. Indonesia, sebenarnya lebih dari memadai untuk menjadi penguasa pasar di bidang pertanian. Hanya saja kesempatan itu tidak pernah ada. Bahkan sejak Belanda masih membumi di Indonesia. Jika dulu kualitas pertanian Indonesia dipercaya luar negeri karena olahan tangan-tangan Eropa. Sekarang, setelah dikuasai oleh bangsa sendiri justru produk luar yang menguasai pasar Indonesia.
Tapi kita harus mengapresiasi pemerintah untuk setiap tindakan yang diambil. Setidaknya melalui MRA, menteri pertanian sudah membatasi hanya 3 pelabuhan dan 1 bandara yang boleh melakukan transaksi impor buah. Meskipun kita tidak tahu apakah kuantitas buah impor melalui empat jalur itu akan berkurang atau tidak. Tentu saja, perkara pengurangan dan penambahan itu tidak sepenuhnya berada di tangan pengimpor. Sebagai konsumen kita sebenarnya berperan cukup besar dalam pengurangan jumlah barang impor ini. Bukan untuk mematikan bisnis luar negeri, tapi apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen aktif untuk bisa membantu meningkatkan ekonmi bangsa sendiri. Pemerintah saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi yang melanda Indonesia. Kembali teringat ulasan Pak Dahlan. Semua harus bergerak seimbang seirama untuk mendukung kemajuan negara. Pemerintah biarkan bergerak pada tatanan regulasi, konsumen juga perlu bergerak untuk mulai berhenti “mengejek” kualitas produk dalam negeri dan bahkan mulai mencintainya, akademis dan praktis juga perlu bergerak dengan mendidik para sarjana pertanian untuk meningkatkan kualitas. Dengan goal setting tentu saja kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Ingat, pertanian Indonesia pernah
berjaya di tangan Belanda. Orang lain, dari negeri lain yang tidak mengenal
negara kitapun mampu. Mengapa kita tidak bisa.
_andalusia_, unires: 29 Juni 2012
_andalusia_, unires: 29 Juni 2012
Comments
Post a Comment