![]() |
googleimage |
Perpustakaan itu berada di lantai 3, dengan meja baca yang ditata disamping jendela kaca membuatku bebas memperhatikan langit di sebelahku. Ruangan yang agak redup itu tiba-tiba dipendari cahaya dari luar, meskipun hawanya tidak mampu menembus dinding ruangan ber-ac ini, aku masih tetap bisa merasakan udara di luar yang pasti membakar kulit. Penghujung September ini --yang menurut perkiraan BMKG adalah puncak musim kemarau untuk Indonesia-- udara memang lebih menyengat dan selalu membuat orang disekitar bergumam sambil berkata "sumu". Bahkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan yang parah. Jangankan menyelamatkan tanaman mereka dari kekeringan, untuk minumpun mereka harus bergumul dalam satu sumur yang kebetulan masih berair. Belum lagi jatah yang terbatas yang terpaksa harus didapatkan. Dari berita aku mendengar tahun ini Indonesia tengah di landa siklus kemarau panjang seperti beberapa tahun lalu. Saat tanah yang coklat berubah merah dan pecah-pecah, pada saat itu juga sungai (yang tinggal di daerah pedesaan) menjadi serbuan banyak orang. Karena kemarau ini pula orang-orang menjadi begitu amat merindukan hujan untuk mengisi ulang kembali persediaan ari dalam bumi. Beberapa lainnya bersiap-siap mengangkat sejadah menuju lapangan untuk shalat istisqa (minta hujan).
Tapi beberapa hari lalu kabar-kabar menyenangkan mulai datang. Dari Bogor (kota hujan pun ada saatnya mendapat giliran kemarau), seorang teman update info hujan di rumahnya yang mulai turun. Setelahnya sepasang suami istri dengan pilihan kalimat penuh kebahagiaan memberitakan hujan turun dengan terlebih dahulu menuliskan kalimat "alhamdulillah" dalam statusnya. Di sini, di Yogyakarta katanya beberapa waktu lalu hujan sudah turun di sekitar Monjali (Utara Yogyakarta). Hujan datang untuk disyukuri, saat Allah kembali menumbuhkan kehidupan baru di negeri Indonesia akan tiba dalam beberapa bulan. Tapi, kemaraupun menyimpan kenangan yang sangat amat indah. Seperti siang tadi, pulang dari shelter bus arah Purbalingga aku menempuh jalan pedesaan yang masih di kelilingi sawah, kebun tebu dan pepohonan kelapa. Namanya masih Tamantirto dalam bahasa Indonesia berarti Taman Air. Memang tidak salah dinamakan dengan Taman air, di tengah-tengah kemarau hampir tidak ada pafi dan tebu yang gagal panen. Dan air terus mengalir deras di sungat selebar 1,5 meter itu. Ini keajaiban yang diberikan Allah pada desa di belakang kampusku.
![]() |
googleimage |
Di tengah hamparan sawah yang baru menghijau pekat, di antara tebu yang baru bercabang, di jalan berpasir menuju kampusku, langit itu membiru bersih. Membingkai bumi hijau, di kaki langit tidak ada apa-apa yang aku lihat selan deretan berbagai jenis pohon. Ini baru siang, dan ini keistimewaan musim kemarau. Saat terik matahari justru menghasilkan langit bersih tanpa awan, atau hanya awan yang bergumpal bak kapas saja yang berani menemai langit biru. Bahkan bintang-bintang di langit pada musim ini akan nampak lebih banyak dari biasanya. Kita belum disajikan dengan berbagai bentuk bulan yang bertranformasi dari waktu ke waktu. Masih ingat kah saat bulan membulat sempurna dan menyemburatkan warna kuning keemasan. Kata orang itulah SUPERMOON. Dan itu terjadi pada kemarau ini. Tunggu, pernahkah kita tahu bahwa kemaau selalu menyajikan pesta meriah bagi langit?
Pesta meriah itu datang saat hari menjelang malam, seiring dengan kumandang adzan maghrib. Allah seolah menyiapkan lukisan terbaik dengan sinar matahari sore yang jingga. Kata orang juga, jingga adalah satu-satunya istilah yang pas untuk menggambarkan warna langit ketika dipenuhi mega. Dia tidak kuning, tidak juga merah. dia JINGGA. Pada pesta kemarau ini, awan kerap berkerumun di sekitar matahari, burung akan senang berterbangan mengikuti siluat matahari yang menyorot, dan lebih dari itu. Matahari memancarkan sinarnya yang sangat, sangat tidak bisa dilukiskan dalam bentuk apapun. Bahkan oleh kamera berlensa canggih sekalipun. Apa yang bisa mengabadikan moment itu?, hanya lensa karya Allah bernama mata yang mampu mengabadikannya dan menikmati euforia darinya. Garis Horizin sore ini dengan semburat kejinggaannya, semoga masih bisa kita nikmati besok. Allah punya cara istimewa untuk mengungkapkan cinta pada makhluk-Nya. With the Horizon in the summer....
Andalusia, 29 September 2012 (Ilalang Net)
Comments
Post a Comment