Dokter Gigi dan Cerita Raditya Dika

Dokter, Rumah Sakit, dan Obat adalah tiga hal yang aku tidak sukai sedari dulu. Ingat sekali bagaimana aku begitu lihai berbohong pada dokter yang sudah siap dengan jarum suntiknya untuk imunisasi rutin di sekolah dasar. Hal itu tidak berubah sekalipun aku sudah besar. ketiga hal tadi masih saja tidak akrab. Termasuk ketika suatu kali seorang teman yang mengambil pendidikan dokter gigi mengundangku untuk jadi pasiennya melalui pesan singkat di chat inbox facebook.

 “assalamu'alaikum mbaaaa..
masih di Jogja kah?
mau periksa gigi ga di A***? *tringtring*
  

Untuk menerima tawaran baiknya yang penuh semangat itu, aku butuh waktu lebih dari 2 minggu yang penuh pertimbangan. Kemungkinan ini itu sampai pada masalah gengsi pun aku pertimbangkan. Walau penuh pertimbangan, demi kesehatan akhirnya aku mau juga untuk jadi pasien dokter KOAS. Tindakan yang berani menurutku, sekalinya aku yakin untuk menginjakkan kaki di rumah sakit, aku justru membiarkan calon dokter yang mengobatiku. Catat dalam bahasa lain mungkin “kelinci percobaan”. Tapi walau bagaimanapun teman tetap jauh lebih terpercaya dari pada orang asing, sekalipun professional.

Singkat cerita aku buat kesepakatan untuk pemeriksaan awal. Di sambut dengan senyum ramah (bagian dari etika memperlakukan pasien) temanku langsung mengajakku ke ruang tempatnya praktek. Ruangan persegi dengan berbagai peralatan medis khusus untuk urusan gigi tertata apa adanya. Tidak begitu rapih tidak juga berantakan. Pendaftaran diurus semua olehnya, berbagai pertanyaan disampaikan sampai tibalah waktunya.
“yok mid, duduk sini. Kita pemeriksaan awal dulu. Biasanya lumayan lama kalo awal” katanya mempersilahkanku duduk di kursi pasien berwarna merah muda itu.

Dan prosespun dimulai. Puluhan istilah asing mulai berseliweran diantara pemeriksaanku. Satu-satunya yang aku ingat adalah angka-angka yang menurut prediksiku adalah kode nomer untuk setiap jenis gigi. Kurang lebih 45 menit pemeriksaan selesai dan si teman mendapatkan acc untuk melakukan “operasi” tahap awal. Scalling. Ini pertama kalinya, secara sadar sebuah alat yang bunyinya seperti gergaji mendesing-desing masuk ke mulutku dan berputar-putar dengan lihai di tangan temanku. “kumur dulu mida”, “kita lanjut ya”. Itu kalimat-kalimat yang mendominasi percakapanku dengannya selama proses pembersihan sampai setengah jam kemudian proses situ selesai. Memang sakit, memang berdarah-darah, memang bising sampai ke telinga, tapi efek setelahnya. Tring :D. Bisa tersenyum lebih lebar dari biasanya dan lebih ringan. Inilah yang sering dikatakan banyak orang "manisnya hasil, akan terasa setelah perjuangan yang melelahkan". Haha.   

Dua minggu setelah itu kita membuat janji untuk mengurus gigi gerahamku yang mati. Sempat mangkir karena was-was dengan kemungkinan operasi cabut gigi, tapi apa boleh buat, demi kesehatan demi kawan dan demi gratisan akhirnya aku datang lagi meyakinkan diri bahwa operasi akan baik-baik saja. Tidak selama pemeriksaan pertama, kali ini cukup diperiksa perkembangan hasil scalling tanpa rontgen juga temanku langsung dapat ACC untuk mencabut gigi gerahamku yang tinggal akar.

“kita ambil barang dulu ya ke bawah” katanya

Yang dimaksudnya barang itu jelas sekali berbagai jenis alat operasi cabut gigi. Setelah kembali, dia mulai memakai sarung tangan sambil menunggu asistennya menyiapkan keperluan suntik anastesi. Kali ini aku merasakan yang namanya ketegangan setiap kali melihat alat suntik yang dipukul-pukul kecil pake telunjuk untuk menghilangkan sisa tetesan di ujung jarum sama persis seperti di adegan-adegan film. Seketika pikiranku teringat cerita Raditya Dika saat dia harus mencabut gigi bungsunya. Pengalaman super horornya bermain-main di benakku sesaat sebelum temanku mengucapkan “aaa” sebagai intruksi untuk membuka mulut. Raditya Dika paling piawai menceritakan pengalamannya, termasuk saat dia mengalami kejadian pahit setelah cabut gigi. Efek bengkak setelah operasi yang diiringi rasa nyut-nyutan yang diceritakannya bahkan sampai terbayang jelas tepat saat jarum suntik itu dipukul-pukul. 

Pasrah sambil menutup mata enggan melihat ekspresi kawanku aku membuka mulut. Jari jemari nya mulai menekan-nekan gusi mencari posisi cocok untuk dibius. Cukup lama dia mencari tempat untuk disuntik sampai akhirnya “sudah, sekarang tunggu sampai kebal” katanya menyadarkanku ternyata sama sekali tidak terasa kalau jarum suntik tadi sudah menusuk gusi dan pipi bagain dalamku. Selang beberapa menit bibirku rasanya bengkak sebengkak-bengkakya yang berarti gigiku siap dioperasi. Mataku menutup kembali, dahiku mengernyit, dan mulutku tegang membayangkan ekspresi temanku yang mulai mengucapkan berbagai kalimat selama proses operasi.

sumber gambar : http://drganitamukti.blogspot.com/
“ Di goyang-goyang dulu giginya, nanti pake tang” kata si asisten 

Dalam hati, gila! Gak ada istilah lain yang lebih medis apa untuk alat pencabut gigi itu. Rasanya sama saja antara gigiku dan paku. Sama-sama dicabut pake alat yang namanya TANG.  

“susah yan, ini udah gak ada mahkotanya” sambil menghela nafas berat temanku memutuskan berdiri

“sek, aku berdiri aja biar gak susah”

“di sobek aja itu, biar keangkat dulu dikit. Nanti gampang”

“iya, ini udah aku koyak-koyak tapi masih belum ke atas juga. Coba lihat, udah berbuih-buih belum” pinta temanku

Dalam hati lagi. Gigi gak tahu malu ! ayo cepetan jangan bikin operasi tambah lama. Umpatan kecil itu datang terus silih berganti bersama beberapa jenis peralatan yang aku rasakan keluar masuk dari mulutku. Dalam keadaan seperti itu, teman sesama koas nya datang dan mulai ikut menganalisis kasus gigiku dengan menyebutkan jenis nya yang tidak bisa aku ingat meskipun berkali-kali diucapkannya.

“ahh, udah mida keluar satu” katanya ketika sesuatu terasa tercerabut dari gusiku.

“tinggal satu lagu. Yang ini agak susah gak ada celah sama gigi satunya”

“hhhhh” itu saja balasanku. Wahai gigi, mari kita bekerjasama. Aku ingin segera berakhir.

“sudah mid, selesai dua-duanya, nieh lihat akarnya. Untung lurus, kalau bengkok dia bisa lebih lama” katanya menunjukkan dua akar gigiku.

Pengalaman operasiku jauh lebih manis dari pada Raditya Dika yang kebetulan ketemu dokter yang malah menakut-nakuti. Haha. Temanku profesional untuk statusnya sebagai dokter KOAS. Selama proses ini dia meyakinkanku kalo operasi nya mudah dan tidak semenyeramkan yang aku bayangkan. Setelah memberikan resep obat untuk perawatan pasca operasi. Anehnya, bukan ngilu atau bengkak gusiku baik-baik saja sampai aku masih bisa tertawa walau makan jadi tidak senikmat biasanya.

        

Comments