Arti paling sederhana dari kata "disiplin" mungkin menjalankan perkerjaan secara teratur atau terjadwal. Tentu saja dengan output yang jelas. Hasil apa yang diinginkan setelah pekerjaan yang dilaksanakan secara teratur itu purna. Rupanya, benak saya sangat sulit menyerap kosa kata disiplin. Sudah sejak lama. Beberapa tahun ke belakang. Kenapa diantara kita banyak sekali yang sulit menerima disiplin dalam kehidupan kita. Banyak diantara kita yang melakukan segalanya seenaknya. Sebisanya dan se-se lainnya. Telusur punya telusur penyebabnya, saya berhenti pada satu kesimpulan. Saya pribadi tidak suka dengan kalimat disiplin. Otak saya terlanjur menerima disiplin sebagai sesuatu yang sangat memenjarakan jiwa dan raga. Sebuah kosa kata yang mengunci gerak langkah kita.
Kontruksi itu terbangun dari berbagai keadaan dan bisa jadi, pola asuh orang tua termasuk di dalamnya. Saya pribadi dibesarkan dalam keluarga yang menjalankan hukum "pingit" :D. Kenapa bisa pingit, karna bukan saya saja yang di jam-jam tertentu tidak boleh main, bahkan teman saya dengan teganya dilarang mengajak saya bermain. Masa lalu itu membuat saya berubah menjadi anak "nakal". Pulang sekolah jam 5 sore adalah salah satu jenis demo saya atas pola asuh orang tua. Terutama ibu. Biasanya, seharian saya habiskan bermain di rumah teman.
Selepas dari pola asuh orang tua saya langsung masuk ke pesantren. Menambah deras penolakan dalam benak saya tentang arti disiplin itu sendiri. Semakin ketat disiplin diterapkan, semakin kencang perilaku melawan saya (dan teman) lakukan. Rupanya, pengalaman bertubi-tubi itu berdampak besar pada kehidupan saya dewasa ini. Pemahaman saya tentang disiplin masih saja mengenai "penjara" ekspressi jiwa. Jelas sekali itu saya dapatkan dari pola asuh orang tua dan sekelumit peraturan di pesantren. Saya tidak pernah menyalahkan pola pendidikan yang diberikan tapi sedikit menyesal karna tidak diberi pemahaman tentang apa yang akan saya dapatkan kelak dari pola pendidikan semacam itu. Walau pahit, saya tahu pola pendidikan itu akan berdampak baik. Minimal pengaruhnya mencapai 20 persen.
Nyatanya, sekarang saya menelan buah simalakama dari kegagalan memahami arti disiplin yang diterapkan. Saya cenderung tidak suka kerja di bawah tekanan. Selain itu, benar-benar sangat senang mengerjakkan apapun tanpa deadline yang ketat. Kebiasaan ini saya dapatkan dalam drama perlawanan saya pada semua disiplin yang pernah saya terima. Pahit, karna ternyata pola hidup seperti ini tidak melesatkan saya pada tempat yang perlahan terus meningkat. Kualitas hidup saya sedikit monoton karna sikap "anti" pada disiplin. Sekarang, saya harus belajar dari selembar stick note. Menuliskan semua pekerjaan yang akan saya lakukan setiap harinya. Minimal dengan menuliskannya, pekerjaan saya terlaksana sampai 60 persen. Tanpa arahan orang tua, tanpa didampingi oleh para guru saya harus belajar lagi arti disiplin. Tidak hanya berhenti pada penjara ekspresi tapi disiplin lebih pada kepuasan hati. Disiplin adalah kebutuhan agar hidup lebih tertata tidak serampangan apalagi mengalir begitu saja tanpa kontrol. Bisa banjir masa depan kita kalo gak di kontrol.
Kontruksi itu terbangun dari berbagai keadaan dan bisa jadi, pola asuh orang tua termasuk di dalamnya. Saya pribadi dibesarkan dalam keluarga yang menjalankan hukum "pingit" :D. Kenapa bisa pingit, karna bukan saya saja yang di jam-jam tertentu tidak boleh main, bahkan teman saya dengan teganya dilarang mengajak saya bermain. Masa lalu itu membuat saya berubah menjadi anak "nakal". Pulang sekolah jam 5 sore adalah salah satu jenis demo saya atas pola asuh orang tua. Terutama ibu. Biasanya, seharian saya habiskan bermain di rumah teman.
Selepas dari pola asuh orang tua saya langsung masuk ke pesantren. Menambah deras penolakan dalam benak saya tentang arti disiplin itu sendiri. Semakin ketat disiplin diterapkan, semakin kencang perilaku melawan saya (dan teman) lakukan. Rupanya, pengalaman bertubi-tubi itu berdampak besar pada kehidupan saya dewasa ini. Pemahaman saya tentang disiplin masih saja mengenai "penjara" ekspressi jiwa. Jelas sekali itu saya dapatkan dari pola asuh orang tua dan sekelumit peraturan di pesantren. Saya tidak pernah menyalahkan pola pendidikan yang diberikan tapi sedikit menyesal karna tidak diberi pemahaman tentang apa yang akan saya dapatkan kelak dari pola pendidikan semacam itu. Walau pahit, saya tahu pola pendidikan itu akan berdampak baik. Minimal pengaruhnya mencapai 20 persen.
Nyatanya, sekarang saya menelan buah simalakama dari kegagalan memahami arti disiplin yang diterapkan. Saya cenderung tidak suka kerja di bawah tekanan. Selain itu, benar-benar sangat senang mengerjakkan apapun tanpa deadline yang ketat. Kebiasaan ini saya dapatkan dalam drama perlawanan saya pada semua disiplin yang pernah saya terima. Pahit, karna ternyata pola hidup seperti ini tidak melesatkan saya pada tempat yang perlahan terus meningkat. Kualitas hidup saya sedikit monoton karna sikap "anti" pada disiplin. Sekarang, saya harus belajar dari selembar stick note. Menuliskan semua pekerjaan yang akan saya lakukan setiap harinya. Minimal dengan menuliskannya, pekerjaan saya terlaksana sampai 60 persen. Tanpa arahan orang tua, tanpa didampingi oleh para guru saya harus belajar lagi arti disiplin. Tidak hanya berhenti pada penjara ekspresi tapi disiplin lebih pada kepuasan hati. Disiplin adalah kebutuhan agar hidup lebih tertata tidak serampangan apalagi mengalir begitu saja tanpa kontrol. Bisa banjir masa depan kita kalo gak di kontrol.
Comments
Post a Comment