Pria paruh baya itu selalu melewati rute yang sama setiap paginya. Pun pakaian yang digunakannya, selalu yang itu. Celana selutut berwarna hitam lusuh, kaos putih berbalut kemeja hijau yang sekilas mirip dengan seragam hansip, dan topi yang warnanya sudah habis dibakar matahari. Kakinya yang tua juga sakit berjalan terpincang-pincang dibantu tongkat yang menopang badannya. Dia selalu membawa tas pinggang berukuran kecil yang sudah robek-robek. Setiap pagi, saya akan melihatnya menyusuri jalan yang mengarah ke jalan besar. Tempat dia mengakses kendaraan umum. Dia akan duduk lama di dekat sol sepatu yang masih tutup sambil menanti Bus Jalur 9, moda transportasi umum andalan menuju ke kota.
Setelah sekian lama, tadi pagi saya melihatnya tengah menanti bus berwarna orange putih sambil duduk terpekur. Raut wajahnya terlihat lelah dengan mata cekung yang sibuk mengamati akitifitas sekitarnya. Saya tidak pernah tahu dari mana dia datang dan kemana dia akan pergi. Hanya saja, saya yakin pria itu pergi dengan satu impian terpahat di hatinya. Bisa jadi, salah satu alasannya berjalan setiap pagi adalah "uang". Dengan keadaan fisik seperti itu, kaki yang sudah tidak bugar lagi, saya tidak bisa membayangkan pekerjaan apa yang dilakukannya. Supir beca kah, kuli pikul kah, kondektur kah, pedagang kah. Semuanya jelas sekali membutuhkan kekuatan fisik yang prima. Bayangan pekerjaan satu-satunya dalam benak saya adalah "pengemis". Ini memang asumsi, tapi ini asumsi yang tidak berlebihan demi melihat cara berpakaiannya. Seorang supir becak, tetaplah butuh pakaian bersih walau tidak bagus demi kenyamanan pelanggan. Kuli pikul, jelas juga membutuhkan kekuatan pundak dan kaki untuk menopang barang.
Kalau dia memang pengemis, sudah tentu dia pengemis yang sesungguhnya. Pengemis yang tidak menjadikan profesinya sebagai jubah penutup kemalasan yang kerap kita lihat. Jika dia benar seorang pengemis, dia pasti melakukan pekerjaan ini dalam keterpaksaan. Fisiknya yang tidak mendukung lagi untuk pekerjaan berat memaksanya melakukan pekerjaan yang menanggalkan kehormatannya di mata para pemberi. Saya kemudian membayangkan istri dan anak-anaknya. Pekerjaan apapun yang dilakukannya sekarang adalah upayanya memenuhi kewajiban sebagai suami bagi istrinya dan ayah bagi anak-anaknya. Atau paling tidak, untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Siapapun yang melihatnya pasti sepakat bahwa tidak ada kepura-puraan dalam sakitnya. Kecuali dia memang ahli hipnotis dengan kemampuan mengaburkan pandangan yang seolah-olah membuat bentuk kakinya tidak sama.
Sangat disayangkan memang, karna pemerintah kita tidak memiliki kebijakan yang mendukung para penyandang cacat. Katakanlah seperti fasilitas khusus, lapangan kerja khusus, atau minimal menyantuni mereka agar tetap bisa hidup layak tanpa harus mempertaruhkan hidupnya dijalanan. Menghadapi panas, menghadapi manusia yang sinis dengan pekerjaan pengemisnya. Seperti saya, salah satu manusia sinis itu. Terutama pada pengemis yang kebanyakan masih bugar dan sehat. Tapi, melihat pria paruh baya itu, saya rela sepenuh hati memberikan uang saya yang tak seberapa itu. Berharap uang sepeser itu bisa mengenyangkan perut anaknya hari ini. Walau hanya satu porsi makan malam yang tidak mungkin memenuhi standar gizi nasional.
Saya cukup tahu diri untuk mengkritik pemerintah. Pertama, saya tidak tahu rasanya ada di posisi pemerintah saat ini. Kedua, saya juga bukan seseorang yang memiliki kekuatan untuk menyodorkan proposal kerjasama dengan pemerintah untuk mendorong kebijakan. Walau saya tahu, saya selalu bayar pajak lewat transaksi jual beli ber ppn. Saya hanya bisa mengapresiasi dan menghargai apapun yang dikerjakan pria paruh baya itu. Saya hanya bisa melemparkan senyum, berharap dia mengerti maksudnya "dunia akan baik-baik saja pak, semangat !!!". Mungkin, satu lagi yang bisa saya lakukan. Berbincang dengannya, menjadi salah satu orang yang tidak anti dengan keberadaannya.
sumber : google picture |
Setelah sekian lama, tadi pagi saya melihatnya tengah menanti bus berwarna orange putih sambil duduk terpekur. Raut wajahnya terlihat lelah dengan mata cekung yang sibuk mengamati akitifitas sekitarnya. Saya tidak pernah tahu dari mana dia datang dan kemana dia akan pergi. Hanya saja, saya yakin pria itu pergi dengan satu impian terpahat di hatinya. Bisa jadi, salah satu alasannya berjalan setiap pagi adalah "uang". Dengan keadaan fisik seperti itu, kaki yang sudah tidak bugar lagi, saya tidak bisa membayangkan pekerjaan apa yang dilakukannya. Supir beca kah, kuli pikul kah, kondektur kah, pedagang kah. Semuanya jelas sekali membutuhkan kekuatan fisik yang prima. Bayangan pekerjaan satu-satunya dalam benak saya adalah "pengemis". Ini memang asumsi, tapi ini asumsi yang tidak berlebihan demi melihat cara berpakaiannya. Seorang supir becak, tetaplah butuh pakaian bersih walau tidak bagus demi kenyamanan pelanggan. Kuli pikul, jelas juga membutuhkan kekuatan pundak dan kaki untuk menopang barang.
Kalau dia memang pengemis, sudah tentu dia pengemis yang sesungguhnya. Pengemis yang tidak menjadikan profesinya sebagai jubah penutup kemalasan yang kerap kita lihat. Jika dia benar seorang pengemis, dia pasti melakukan pekerjaan ini dalam keterpaksaan. Fisiknya yang tidak mendukung lagi untuk pekerjaan berat memaksanya melakukan pekerjaan yang menanggalkan kehormatannya di mata para pemberi. Saya kemudian membayangkan istri dan anak-anaknya. Pekerjaan apapun yang dilakukannya sekarang adalah upayanya memenuhi kewajiban sebagai suami bagi istrinya dan ayah bagi anak-anaknya. Atau paling tidak, untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Siapapun yang melihatnya pasti sepakat bahwa tidak ada kepura-puraan dalam sakitnya. Kecuali dia memang ahli hipnotis dengan kemampuan mengaburkan pandangan yang seolah-olah membuat bentuk kakinya tidak sama.
Sangat disayangkan memang, karna pemerintah kita tidak memiliki kebijakan yang mendukung para penyandang cacat. Katakanlah seperti fasilitas khusus, lapangan kerja khusus, atau minimal menyantuni mereka agar tetap bisa hidup layak tanpa harus mempertaruhkan hidupnya dijalanan. Menghadapi panas, menghadapi manusia yang sinis dengan pekerjaan pengemisnya. Seperti saya, salah satu manusia sinis itu. Terutama pada pengemis yang kebanyakan masih bugar dan sehat. Tapi, melihat pria paruh baya itu, saya rela sepenuh hati memberikan uang saya yang tak seberapa itu. Berharap uang sepeser itu bisa mengenyangkan perut anaknya hari ini. Walau hanya satu porsi makan malam yang tidak mungkin memenuhi standar gizi nasional.
Saya cukup tahu diri untuk mengkritik pemerintah. Pertama, saya tidak tahu rasanya ada di posisi pemerintah saat ini. Kedua, saya juga bukan seseorang yang memiliki kekuatan untuk menyodorkan proposal kerjasama dengan pemerintah untuk mendorong kebijakan. Walau saya tahu, saya selalu bayar pajak lewat transaksi jual beli ber ppn. Saya hanya bisa mengapresiasi dan menghargai apapun yang dikerjakan pria paruh baya itu. Saya hanya bisa melemparkan senyum, berharap dia mengerti maksudnya "dunia akan baik-baik saja pak, semangat !!!". Mungkin, satu lagi yang bisa saya lakukan. Berbincang dengannya, menjadi salah satu orang yang tidak anti dengan keberadaannya.
Comments
Post a Comment