Senja Kala


Suatu senja yang sangat tepat saat matahari tengah merayap tenggelam di ujung barat, saya membelah jalan yang biasanya saya lewati siang hari atau sore sebelum moment sunset. Sore itu udara begitu sejuk, angin menghembus halus menerpa tubuh saya, kecepatan kendaraan sengaja saya pasang di angka 20 km/jam. Itu dalam rangka menikmati geliat alam disore hari. Sawahnya yang hijau menghampar, anginnya yang mendesir-desir, langitnya yang kuning merona, dan tidak lupa aktivitas penduduknya yang penuh sukacita. Saya rasa senja adalah kado paling sempurna yang Tuhan berikan pada makhlukNya. Dan beruntung karna kita menikmatinya secara cuma-cuma. 




Ada yang istimewa dengan senja kala itu. Ini mungkin akan menjadi sesuatu yang sangat konyol, dramatis, atau mungkin lebih dari itu. Bisa jadi, "lebay gila" kata anak sekarang. Jalan yang saya lewati adalah tempat dimana sebuah perkampungan berada. Perkampungan itu membangun sebuah visi dalam benak saya tentang rumah idaman yang kelak saya inginkan. Itupun kalau sawah-sawah tidak habis dibabat dan diganti pemukiman warga semua. Senja itu, saya lihat beberapa orang sepuh duduk-duduk di sebuah kursi kayu panjang. Pemandangan yang sangat menghibur mata karna sore itu, beberapa orang sepuh bercengkrama di depan rumah mereka yang menghadap ke arah Barat. Profil mereka sepenuhnya diterpa senja saga yang semakin lama-semakin pekat. Mereka tertawa, lalu sebentar menegakkan tubuh mereka menghadap matahari, seolah bersiap-siap menerima energi yang luar biasa kuatnya. Mungkin mereka sama seperti saya. Senja menjadi hiburan yang istimewa untuk sejenak melepas kepenatan aktifitas yang sudah dijalankan seharian dengan penuh peluh dan menguras otak.

Melihat mereka, saya ikut menikmati dan menghayati senja itu. Secara dramatis saya menyipitkan mata menatap senja yang perlahan menenggelamkan dirinya di hamparan sawah. Saya hirup kuat-kuat udara sore itu sambil memejamkan mata berharap udaranya mengalir jauh sampai ke pembuluh-pembuluh darah juga seluruh sel dalam otak. Membersihkan pikiran negatif yang merambat dalam sudut kepala menggantikannya dengan kesegaran optimisme yang dibawakan sang senja. Tangan kiri saya bentangkan, berusaha merasakan udara senja lebih dalam lagi melalui pori-pori. Moment yang hanya saya alami beberapa menit itu menjadi begitu lama layaknya film yang diputar dalam slow motion.

Dalam kesenangan senja itu, aku berbisik pada tuhan, "aku ingin rumah yang menghadap ke barat tuhan. Saat aku bisa menikmati masa senjaku bersama senja kala yang kau kirimkan. Aku ingin kebahagiaan sederhana. Cukup dengan melihat matahari tenggelam menyisakkan kesejukan sore"....




Comments