Pernah membaca sebuah tulisan dari seorang blogger di forum majalah online Tempo. Tulisannya sederhana tapi amat menarik. Dia beberapa kali diberi buku yang sangat kebetulan dia tengah mencarinya. Singkatnya, dia merasa buku-buku itulah yang selama ini berjalan dari satu tangan ke tangan yang lain untuk pada akhirnya menjadi miliknya. Rupanya, hal itu juga terjadi padaku. Setidaknya, menurutku begitulah adanya. Sudah sejak lama aku bertanya-tanya tentang keharusan seorang anak tetap berbakti pada orang tua yang dari kaca mataku telah banyak berbuat "dzolim" pada anaknya. Maaf kalau ada pembaca yang tidak faham dengan istilah itu. Kalau boleh mengganti istilah, Pak Faudzil Adzim menuliskannya sebagai "orang tua yang durhaka pada anak".
Pertanyaan itu sudah muncul lama sekali dalam benak. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, aku sendiri mengambil inisiatif untuk "marah" pada keduanya dibanding "tetap mendo'akan". Dilain kesempatan, nurani mengajakku kembali memaafkan keduanya. Begitu seterusnya. Marah, kemudian memaafkan. Suatu kali, pernah terpikir untuk bertanya pada seorang ustadz. Dalam benakku, aku menyusun kalimat pertanyaan yang akan aku ajukan "kalau orang tua menelantarkan anaknya secara psikologis, apa itu perbuatan yang dzolim. Bolehkah aku marah dengan keadaan itu tadz?". Begitu kira-kira pertanyaan yang akan aku ajukan tapi urung sampai tiba-tiba, hari minggu sore (27/10), aku pergi ke kampus. Di situ, aku bertemu dengan seorang adik yang mempertemukanku dengan sebuah novel.
Aha!, pengarangnya sudah tidak asing di telinga dan mataku. Banyak karyanya yang sudah aku baca. Tanpa fikir panjang, aku mengiyakan tawarannya meminjamkan buku itu. Dan, buku itu seperti sengaja mendatangiku untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang cukup menyita fikiran. Tepatnya, Tuhan mengantarkannya lewat seorang teman, khusus untuk menjawab gelisah hatiku. Temanya sederhana, seperti yang selama ini aku baca. Bercerita tentang kehidupan yang sangat realistis dan sehari-hari kita temui. Sebelum jauh membaca kisahnya yang membuatku tersedu sedan semalaman, mataku sudah mengkristal dengan hati yang sesak ketika membaca prolog yang disampaikan penulis.
"seperti apapun orang tua, kita harus tetap berbakti padanya. Mendo'akan keduanya. Kecuali kalau mengajak bermaksiat" begitu katanya menjawab pertanyaan seorang audience dalam sebuah forum. Jawabannya diikuti dengan seuntai kalimat do'a yang diajarkan guru ngaji sewaktu SD.
"اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَ"
"Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapakku,
sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil”
Terpaku sejenak membaca deretan do'a yang kerap aku lantunkan. Do'a yang selalu gagal aku resapi dan aku sampaikan dengan sungguh-sungguh pada Tuhan, demi kemarahan yang mengendap lama. Malam itu, diantara suara gemericik hujan di atas genting asbes, pikiranku melesat ke kehidupan di masa lalu. Meski hidup dalam rumah yang penuh tekanan psikologis, aku juga tidak bisa menapikkan bahwa banyak kenangan manis yang terukir di rumah itu. Masa kecil yang penuh kenakalan, larangan, sekaligus pembelaan diam-diam dari keduanya. Bahkan aku tiba-tiba membayangkan perjuangan yang harus dilewati ibu selama 9 bulan mengandungku. Walau selang beberapa bulan aku harus hijrah ke rumah nenek. Aku rasa, keputusan apapun yang diambil orang tua sejatinya mereka selalu ingin yang terbaik bagi anaknya. Dan ada masa dimana, tidak semua orang tua bisa melakukannya dengan benar dan tepat. Dan kedua orang tuaku adalah satu dari sekian orang tua itu. Dalam banyak kesempatan, apa yang mereka lakukan pada anak-anaknya aku sebut dengan "tidak seharusnya". Tapi, mendo'akan kebaikan bagi keduanya atas sebagian kenangan manis dan pengorbanannya adalah harga mati.
Buku itu tidak lantas membuatku ingin bersujud di kaki orang tuaku. Tidak lantas menerbitkan penyesalan bergunun-gunung dalam hatiku. Tapi ada sesuatu yang aku temukan setelah lama aku mencarinya. SIKAP. Bagaimana seharusnya aku selama ini menyikapi kedua orang tuaku. Itu yang selama ini aku cari. Apakah aku harus terus menerus marah, menyesali keduanya, dan mengutuk berbagai kejadian pahit yang pernah aku alami. Buku itu, memberi aku setitik jawaban yang membuat pagiku lebih cerah dari biasanya. Menerbitkan terimakasih yang mendalam. Terimakasih karna dengan sengaja, Tuhan mengantarkan buku yang aku tidak tahu pemiliknya untuk sampai padaku. Melalui perantara seorang adik.
Apapun yang kita alami di masa lalu, itu tidak ada artinya bagi masa depan setelah kita dewasa. Kita tinggal menentukan sikap. Apakah akan membelenggu diri dengan rantai hitam masa lalu, atau mencoba melangkah pelan-pelan menuju masa depan yang bisa kita rencanakan. Aku rasa, itulah alasan kenapa tuhan melengkapi manusia dengan hati dan pikiran. Memilih jalan dan menentukan langkah. Dan apapun yang kita pilih, resiko selalu turut serta di dalamnya... |Andalusia
Buku itu tidak lantas membuatku ingin bersujud di kaki orang tuaku. Tidak lantas menerbitkan penyesalan bergunun-gunung dalam hatiku. Tapi ada sesuatu yang aku temukan setelah lama aku mencarinya. SIKAP. Bagaimana seharusnya aku selama ini menyikapi kedua orang tuaku. Itu yang selama ini aku cari. Apakah aku harus terus menerus marah, menyesali keduanya, dan mengutuk berbagai kejadian pahit yang pernah aku alami. Buku itu, memberi aku setitik jawaban yang membuat pagiku lebih cerah dari biasanya. Menerbitkan terimakasih yang mendalam. Terimakasih karna dengan sengaja, Tuhan mengantarkan buku yang aku tidak tahu pemiliknya untuk sampai padaku. Melalui perantara seorang adik.
Apapun yang kita alami di masa lalu, itu tidak ada artinya bagi masa depan setelah kita dewasa. Kita tinggal menentukan sikap. Apakah akan membelenggu diri dengan rantai hitam masa lalu, atau mencoba melangkah pelan-pelan menuju masa depan yang bisa kita rencanakan. Aku rasa, itulah alasan kenapa tuhan melengkapi manusia dengan hati dan pikiran. Memilih jalan dan menentukan langkah. Dan apapun yang kita pilih, resiko selalu turut serta di dalamnya... |Andalusia
Comments
Post a Comment