![]() |
Sumber Foto : http://bedistinguished.blogspot.com/2013/02/home-by-carly.html |
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………..”
teriakan itu otomatis keluar dari mulutku yang menganga dengan mata melotot ngeri menatap gerombolan itu.
Cerita bermula pada suatu malam :
teriakan itu otomatis keluar dari mulutku yang menganga dengan mata melotot ngeri menatap gerombolan itu.
Cerita bermula pada suatu malam :
Sebenarnya, suara geledek sudah
menggelegar sejak adzan magrib berkumandang. Demi mendengar suaranya yang berat
bariton, aku sudah membayangkan hujan seperti apa yang siap menyiram
Yogyakarta. Benar saja, sekitar jam 9 malam, hujan deras yang ditemani
petir itu turun juga. Butiran hujan memukul-mukul genteng asbes dengan suaranya yang meriah. Sejak musim hujan datang, aku menjadi lebih mengerti sisi minus dari rumah ini. Setelah signal yang kritis, kekurangan rumah ini di musim hujan adalah bocor. Rupanya, ada beberapa titik atap yang bocor. Diluar keduanya, ada satu yang membuatku shock sekaligus merasa konyol. Fakta mengenai lubang
pembuangan kamar mandi (bukan wc) yang meluap setiap kali hujan deras.
Nah, itu juga yang terjadi pada
malam deras yang asyik sekaligus mengerikan itu. Beberapa menit setelah hujan
turun, adik saya laporan “dapur banjir, sandal-sandal ngambarng” katanya
antusias melaporkan. Aku hanya bisa bilang “issssh….” membayangkan betapa
menjijikannya kondisi seperti itu. Tapi karna ini pengalaman yang kedua, kami memutuskan membiarkan kondisi itu.
Selama air tidak naik ke ruangan lainnya yang untungnya posisinya beberapa
centi lebih tinggi, kami memilih membersihkannya pagi.
Kira-kira jam setengah 11, mataku yang mengantuk dan bersiap tidur dengan selimut tebal tiba-tiba cerah lagi
saat adikku teriak “iiiiii, di dapur banyak cacing…”. Suara histerisnya
membangkitkanku dan bergegas ke dapur. Aku berteriak jijik dan ngeri saat
melihat hewan kecil-kecil sepanjang 5
centi bertebaran di lantai dapur. Si Cacing rupanya ikut naik bersama pasir yang dibawa air. Warna gelap cacing dengan lantai keramik
putih semakin menegaskan keberadaan cacing-cacing yang seolah sedang berpesta pora. Badannya
meliuk-liuk mencari celah untuk masuk kembali ke tanah. Sebagian sudah hampir
mencapai tembok. Sebagian lagi baru beranjak dari pasir yang ikut naik bersama
air.
“Rumah Sempurna…!!!”
Hasilnya, malam itu kami membersihkan
dapur yang sudah beberapa hari tidak kena sentuhan lap pel. Kami siram, sapu,
siram, sapu. Berharap bisa mengantarkan gerombolan cacing itu pulang ke
habitatnya lagi. Haha. Ada kesal, jijik, dan konyol pada insiden itu. Bagaimana
tidak, seharusnya malam itu menikmati tidur sambil dibuai hujan, aku dan adik
justru menggiring cacing-cacing kecil itu pulang. Setelah bekerja seharian, rasanya
cacing-cacing itu makhluk paling durhaka yang mengambil waktu setengah jamku untuk istirahat. Tentu saja kalo dari sudut pandang cacing, dia akan menyalahkan air yang mengusik rumah nyamannya :D. Disisi lain, kejadian itu menjadi kejadian konyol.
Sekonyol-konyol kejadian dari serentetan fakta lainnya dari rumah ini sejak
awal kami memulai pemburuan rumah idaman. Siapa yang pernah membayangkan punya rumah yang saluran pembuangannya meluap setiap kali hujan deras. Tidak lupa, membawa serta pasir dan cacing.
Aku mencoba mengingat kembali hal
apa yang membuatku bulat memutuskan ngontrak di rumah itu. Dari sekian motivasi, yang
pertama kali muncul selalu satu “masa tenggang kos-kosan”. Aku ingat betul,
aku pindah ke rumah itu tepat tanggal 10 Oktober. Sesuai masa habis tinggal di
Kosan. Setelah beberapa hari sebelumnya, kami membuat kesepakatan untuk mengontrak di rumah ini dengan diawali "bismillah".
Kami lupa mempertimbangkan dan memastikan beberapa hal. Pertama, lokasi rumah.
Secara jarak, rumah ini sebenarnya jauh dari tempat-tempat biasa kami beraktivitas.
Kedua, signal. Kami sama sekali lupa memastikan signal hape dan wifi. Hasilnya,
pulang ke rumah selalu berarti menyepi. Tanpa koneksi internet dan signal hape
yang naik turun. Ketiga, kondisi rumah itu sendiri. Apalagi musim hujan. Rumah
itu, berada dalam kondisi yang cukup kritis. Terutama
kasus luapan itu.
Above all, fakta lain yang juga lucu mengenai rumah ini justru
disampaikan pak RT saat kami bertandang ke rumahnya. Seperti penghuni baru lainnya, kami menjalani ritual
pengenalan diri sebagai penghuni baru. Percakapan berjalan hangat sampai pak RT menerangkan sesuatu yang sebelumnya tidak kami pikirkan. Pak RT dan keluarga (istri dan ibu)
sepakat menganjurkan kami jangan pulang larut. Sejak awal, kami berpikir
anjuran itu berkaitan dengan kondisi jalan gelap yang rawan kejahatan manusia.
Ternyata dugaan kami meleset.
“Itu pas tanjakan kuburan itu mbk, itu khan
gelap. Nek misale sampean pulang malam banget lebih baik gak usah pulang.
Nginep aja di rumah temen…” katanya yang disambut pertanyaan
“itu ya pak, takut
ada orang jahat…?”.
Pak RT dan keluarga justru menjawab lain “bukan mbk, kalo
orang sieh malah di sini aman dan gak pernah kenapa-napa. Nah, yang kita
takutin malah yang bukan orang itu….” Katanya lagi.
Bulu kudukku meremang
sesaat sebelum ditimpali pertanyaan teman kenapa tidak dipasangi lampu yang
banyak biar terang. Menurut pak RT, pihak warga sudah sering memasang
penerangan yang memadai. Anehnya, selang berapa hari, lampunya selalu mati.
“hiiiiii, ngerii amat sieh” batinku yang akhirnya membuatku selalu pulang
maksimal jam 8 malam. Mungkin ini upaya Pak RT untuk pengkondisian penduduknya yang masih "muda" ini (mengalihkan konsentrasi dari makhluk halus) :D.
Ini memang rumah sempurna. Signal
di garis merah, air pam yang sering mati tiba-tiba, jalanan gelap menanjak dengan kuburan pejuang 45, dan luapan
air dengan cacingnya. Setidaknya, rumah itu memberiku pemahaman baru tentang
arti sempurna. Semacam teori baru tentang sempurna yang aku ibaratkan sebagai dua
sisi mata uang. Ada sempurna yang diartikan serba lengkap dan ada sempurna yang
berarti serba kurang. Rumah ini ada di sisi lainnya dari arti sempurna yang
lengkap itu.
Jauh sebelum memilih rumah ini, aku membayangkan menghuni rumah
yang halaman depannya ditumbuhi beberapa pohon yang sejuk. Sekarang, halaman
rumah ini adalah sepetak teras berkeramik yang berpagar besi. Bahkan, semua
tanah di komplek ini sudah ditutupi semen. Bayangan keindahan lainnya juga aku alami saat mencari rumah. Saat itu penuh ambisi. Tak dinyana kalau kenyataan justru berbalik beberapa persen.
Sejatinya, tidak akan pernah ada manusia yang puas dengan kesempurnaan. Tidak dengan sempurna yang serba lengkap
yang konon menerbitkan bosan. Tidak juga dengan kesempurnaan yang serba kurang
yang menguji kesyukuran manusia. Hanya ada satu hal yang membuat semuanya
indah. Sikap. Bagaimana kita menyikapi keadaan. Aku memilih melupakan deretan
minus dari rumah ini dan beralih pada deretan plusnya. Sebut saja letaknya yang
jauh dari jalan raya dan kota. Ini memberi ketenangan sendiri dalam benak. Atau
udara sejuk khas perbukitan. Itulah yang ada di sini. Apalagi jika kita
berangkat di pagi hari, saat matahari sedang merangkak lebih tinggi. Kulit kita
akan digigit dinginnya udara. Dan ada satu lagi, sekarang hobi jalan-jalan "kurang jelas" sedikit menguap setiap kali membayangkan jalan yang harus ditempuh. Haha. Itulah sekelumit kelebihan rumah itu. Rumah orange yang diapit rumah-rumah lainnya di pojok Yogyakarta.
Malam itu, cacing-cacing berhasil
pulang ke habitatnya bersamaan dengan hujan yang reda. Sayup-sayup aku mendengar Jason Mraz berdendang “ You Can see that your home’s inside of you…”
dari andalusia | di sudut Yogyakarta.
Comments
Post a Comment