“Apa boleh buat, Pengalaman
adalah hak orang yang mengalami untuk diapakan saja oleh diri sendiri. Tidak ada
kekuatan yang bisa merampasnya… ” -Pramoedya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
Terlahir dalam keluarga besar sangat menyenangkan saat
dewasa tapi agak sedikit menyesakkan di masa kanak-kanak. Setiap calon adik
merangkak tumbuh dalam perut ibumu, kakak adalah pihak yang harus mengalah. Dan
dalam keluargaku (mungkin juga keluarga besar lainnya), hal itu berarti siap
untuk dititipkan sampai adikmu lahir dan cukup mengerti arti “nasehat”.
Seperti yang dialami kakak-kakakku sebelumnya, aku
dititipkan di rumah nenek. Walau terkesan menyedihkan, menghabiskan masa kecil
pricil di rumah nenek adalah salah satu hal terbaik yang pernah aku miliki
dalam hidup. Ada banyak sekali kenangan indah, manis, dan menggelikan yang aku
alami selama masa dititipkan itu. Salah satu kenangannya adalah rutinitas hari
minggu. Kami, anak-anak kecil yang ada di rumah nenek diantaranya aku, bibi
bungsuku (tante), dan saudara sepupu dibiasakan mengunjungi buyut kami di desa
sebelah yang bernama Kampung Pendeuy. Untuk mencapai desa itu, kami hanya perlu
berjalan kaki selama 15 menit dan memang itulah kebiasaan orang-orang di sana
saat itu. Jauh sebelum kendaraan bermotor bisa dikredit walau dengan modal 500
ribu rupiah, semua penduduk menggunakan kedua kakinya untuk mencapai banyak
lokasi.
Seingatku, aku selalu semangat menyambut rutinitas minggu itu.
Pertama, aku akan berjalan melewati sawah dan perkampungan yang masih alami
khas desa pedalaman. Kedua, aku akan main air di bendungan. Ketiga dan yang
paling menggugah semangat adalah hikayat yang akan disuguhkan oleh kakek buyut
kami.
Hikayat yang disuguhkan kakek buyut tidak lain adalah
pengalamannya sebagai salah satu pejuang pada masa penjajahan. Rumah panggung
dengan dinding bilik bambu menjadi saksi seluruh cerita yang pernah
disampaikannya pada kami. Biasanya, kami akan duduk melingkar di kursi jati
yang tertata manis di beranda yang menghadap ke area persawahan. Ada segelas
penuh teh pahit dalam cangkir putih bergagang. Cangkir yang terbuat dari bahan
kaleng itu bermotif bunga di kedua sisinya. Teh dalam cangkir itu adalah teman
setia buyut selama berhikayat.
Dalam ingatan yang terpenggal-penggal ini, aku mengingat
profil buyut yang biasa kami sapa bapak
sebagai sosok yang sederhana. Khas pria pedesaan. Sehari-hari dia memakai hem dan
peci hitam ala Soekarno. Rambut dan janggutnya kian memutih seiring dengan umur
yang terus berkurang. Syahdan, kemampuan retorikanya dalam berhikayat tidak
pernah terkalahkan oleh kulitnya yang mulai mengkerut sampai menonjolkan tulang
di setiap sudut tubuhnya.
Minggu kali itu kami berkunjung seperti biasa. Sambil
memakan cemilan, kami duduk melingkar. Begitu dia duduk, hikayatpun mengalir
tanpa ampun. Dia menceritakan episode perjuangannya yang lain. Episode perjuangan di mana bapak tertembak selongsong para kompeni. Tangannya terulur dengan jari telunjuk memanah
satu dua titik menjelaskan lokasi tempatnya menunduk menghindari peluru milik kumpeni yang akhirnya bersarang juga di tubuhnya. Dia kemudian
menyingkap sedikit kain sarungnya menunjukan titik hitam tempat peluru Belanda
bersarang dan hampir berhasil menumbangkan perjuangannya.
Abdi Dalem Keraton DIY Dalam Upacara Pernikahan Agung, 2013 |
Selazimnya pejuang era penjajahan, tidak banyak senjata yang
dimiliki. Bekal mereka untuk melawan hanya sebilah tombak. Dan senjata itu juga
yang dibawa buyut bersama kelompoknya. Kisah kesaktian senjata tombak ternyata
bukan hisapan jempol belaka. Setidaknya itu yang berhasil buyut kami buktikan.
Hanya dengan senjata itu dia bisa menikmati masa senjanya dan melihat cicitnya
yang berjumlah banyak itu.
Buyut mengakhiri episode hikayat minggu itu dengan mengenang
beberapa teman seperjuangan yang gugur. Matanya menerawang jauh menembus area
persawahan di hadapannya. Semakin jauh menembus waktu yang membawanya hayut
dalam kenangan. Sesi kunjungan itu akan kami akhiri dengan bermain sepuasnya
dan tidur sampai sore di atas ranjang besinya yang memiliki empat tiang
menjulang ke atas. Ranjang khas dengan kelambu yang melindungi dari sengatan
nyamuk.
Kau tahu, aku
percaya, setiap orang yang kita temui dalam hidup selalu meninggalkan jejak dalam
kehidupan masa depan kita. Dan kakek buyutku meninggalkan bekas jejak yang
dalam di kehidupanku sekarang. Dia membangun satu ruang di kepalaku untuk
mencintai sejarah dalam bingkai pengetahuan, kisah, dan pelajaran. Kakek buyut meninggal
beberapa tahun setelah aku pulang ke rumah asalku.
Jika saja hari ini dia ada, aku pasti akan menyiapkan daftar
pertanyaan sebelum hari kunjungku. Ada banyak yang ingin aku tanyakan, seperti
tahun berapa bapak berjuang. Apa bapak saat itu berjuang untuk
kemerdekaan NKRI atau untuk mempertahankan tanah leluhur dalam figura kerajaan
Pasundan. Apa bapak tahu Soekarno,
apa bapak tahu Tirto Adi Suryo, tokoh
pers Indonesia yang mendirikan perusahaan persnya di Bandung. Apa bapak kenal Karto Soewirjo yang
mendirikan NII di Tasik, kabupaten tetangga kita. Atau jangan-jangan saat itu
kakek bergabung dalam jaringannya. Dan masih banyak daftar pertanyaan yang
ingin aku sampaikan. Bukankah akan lebih menyenangkan bisa mengetahui jejak
masa lalu dari mereka yang secara nyata mengalaminya. Itu akan menjadi
pembicaraan dengan saksi sejarah.
Mengutip apa yang Pramoedya katakan,
“Pengalaman adalah hak
orang yang mengalami untuk diapakan saja oleh diri sendiri. Tidak ada kekuatan
yang bisa merampasnya…”
Jika Pramoedya menggunakan hak pengalamannya dengan menulis,
maka buyut memilih menyampaikannya dalam serial hikayat pada kami, juga setiap
orang yang ditemuinya. Dan keduanya sama menginspirasinya bagi kehidupan masa
kini. Sebuah jejak sejarah panjang menuju Indonesia kini yang belum lebih baik
selain kenyataan bahwa kita bebas secara fisik dari penjajah asing.
Comments
Post a Comment