Sebagaimana aku memiliki
kepercayaan bahwa buku adalah takdir bagi pembacanya maka ungkapan itu juga
yang terlintas ketika tanpa sengaja membaca sebuah artikel di Harian Kompas
tentang perempuan dan disitu sang penulis mengutip isi buku Namaku Mata Hari karya
Remy Sylado. Dari sebelumnya tidak pernah mendengar nama Remy (ya terlalu
memang!), artikel itu mengenalkanku pada sosok budayawan yang belakangan aku
tahu namanya sudah akrab dengan pembaca setia Harian Kompas.
Buku bersampul biru itu
mengisahkan perjalanan seorang gadis keturunan Indonesia-Belanda pada era
kolonialisme. Terlahir dari dua budaya dan latar belakang yang berbeda telah
membentuk dirinya sebagai pribadi yang ‘bebas’, yang tidak terikat pada sentimen
kebangsaan dalam darahnya. Pernikahannya dengan serdadu asal Skotlandia yang
dibayar pemerintah Hindia-Belanda untuk bekerja di negeri katulistiwa, tidak
seindah yang dia bayangkan. Dia terlahir sebagai Margaretha. Perilaku sang suami yang kasar dan senang bermain perempuan menjadi percikan bara yang membuat Margaretha berubah dan memulai sepak terjangnya sebagai perempuan "bebas". Dengan darah Jawa dia lahir untuk menjadi penari
eksotis dari kaki Borobudur sampai ke pertunjukan-pertunjukan bergengsi di
daratan Eropa. Dia menari, dia bersuka ria dengan berbagai lelaki, dan dia
menjadi agen rahasia dua negara. Dia tidak lagi dikenal dengan Margaretha, dia
mengenalkan dirinya sebagai Mata Hari. Nama yang diambilnya dari Bahasa
Indonesia yang dia kenal dari babunya di Ambarawa.
“Petualangan” Mata Hari tidak
hanya untuk kesenangan ragawinya tapi luka yang ditinggalkan sang suami membuat dirinya ingin menghukum semua pria hidung belang dengan
membuat mereka lemah dan bertekuk lutut padanya. Tidak hanya dengan uang yang
dirogohnya dari saku para pria itu, tapi juga rahasia negara yang digalinya
melalui ‘obrolan di atas bantal’. Mata Hari mengatakan, perempuan tidak perlu menjadi
perkasa untuk mengalahkan para lelaki, Mata Hari membuktikannya dengan laku
lemah dan gemulainya.
Ada banyak catatan menarik dari
kisah spionase era perang dunia ini. Selain sarat akan peristiwa sejarah, Remy mengemas
kisah ini dengan amat sederhana yang tidak akan membuat bosan pembaca di luar
genre novel sejarah. Dengan mengambil latar peristiwa era 19 sampai era 20, Remy
tidak ragu menyelipkan istilah-istilah yang cenderung kita gunakan dewasa ini.
Istilah-istilah yang kita temui bukan dalam forum resmi tapi justru istilah yang kerap
terlontar saat kita ngobrol di sembarang tempat. Katakanlah umpatan-umpatan
dalam berbagai bahasa seperti Jawa dan Sunda yang membuatku beberapa kali
tertawa. Atau kepiawaian Remy dalam meterjemahkan bahasa asing ke Bahasa
Indonesia yang sangat “cair”. Di bagian ini, aku seolah sedang mendengar Remy
bicara “menulis cerita berlatar sejarah itu tidak harus kaku!”.
Dari perjalanan Mata Hari, Remy
juga menegaskan bahwa sentimen kebangsaan pada satu titik telah melahirkan
kebrutalan dalam diri manusia terhadap manusia lain yang tidak lahir di negeri
yang sama. Mata Hari menyaksikannya selama dia menjadi agen rahasia ganda bagi
dua kubu yang berseteru antara Jerman dan Prancis. Atas nama bangsa kedua kubu
saling berperang mengorbankan ribuan nyawa. Aku cukup tergelitik dengan kritik
yang disampaikan Remy melalui tokoh Mata Harinya itu. Mata Hari mengkritisi
wacana kemanusiaan yang digemborkan oleh Negeri Barat selama ini justru kontradiktif dengan fakta yang ada di mana perang berkecamuk tiada henti di negeri itu.Mata Hari
(sebenarnya Remy) melihat sentimen kebangsaan tidak diperuntukkan kemanusiaan
secara universal seperti yang digemborkan.
Dan uniknya, Remy
memporak-porandakan sentiment kebangsaan itu dengan keeksotisan seorang Mata Hari.
Bagaimana begitu mudahnya para petinggi militer kedua kubu membocorkan rahasia
negara pada Mata Hari melalui obrolan atas bantal. Sementara kedua kubu terus
berseteru, Mata Hari tersenyum antara getir dan konyol menanti pemenggalan
kepalanya.Saat itulah dia sadar bahwa kemanusiaan di Negeri Barat benar-benar
omong kosong dan untuk itu dia kembali mempercayai tuhannya yang sudah lama
hilang. Sentimen kebangsaan jadi seperti ambisi belaka untuk saling membuktikan
siapa yang “paling” diantara siapa. Paling kuat, paling canggih senjatanya,
paling melejit ekonominya, dan paling digdaya pertahanannya. Sementara
kemanusiaan tetap berada di negri antah berantah. Pada akhirnya, kritik Remy menimbulkan pertanyaan untuk diriku sendiri tentang kehakikatan manusia dan bangsa. Selama ini, banyak di antara kita yang ujub pada identitas kebangsaan kita lalu kita menjadi sinis pada mereka yang tidak lahir dari rahim yang sama, dari rahim pertiwi. Disini kita lupa bahwa di atas kebangsaan, kita adalah seorang manusia.
Kisah ini pernah dimuat di Kompas secara berseri dan rencananya
akan difilmkan. Jika isu itu benar (menurut sang penulis memang benar), maka
perjalanan Mata Hari ini patut dinanti.
Comments
Post a Comment