Ternyata aku tidak mengenal dunia sekitarku sebaik yang aku sangka!
Perasaan itulah yang pertama kali muncul begitu aku mendengarkan pemaparan demi pemaparan dari para penggelut pertanian metode organik yang aku temui Hari Minggu (23/11/2014) kemarin. Untuk kebutuhan liputan, aku "ngintil" serombongan ibu-ibu yang melakukan kunjungan lapangan di tiga titik di Yogyakarta. Turi, Pakem, dan Banguntapan.
Di Turi, kami mengunjungi perempuan paruh baya bernama Anna yang merintis pertanian organiknya setelah merapi melanda. Walau tidak ada latar belakang pertanian, Anna berhasil mendirikan Kelompok Wanita Tani bernama Muda Jaya di kampunya yang belakangan didukung oleh dinas terkait. Di halaman rumahnya berbagai jenis sayur mayur tumbuh subur dalam polybag. Bahkan ibu Anna mulai mengembangkan mina padi, yaitu menanam padi dalam polybag.
Ibu Ana saat berbincang dengan peserta kunjungan |
Mina Padi, menanam padi dalam polybag |
Ibu Anna adalah sosok penggerak sederhana dan ramah. Selama berbincang, dia tidak pernah melebih-lebihkan kemampuannya bercocok tanam. Bahkan dalam satu kesempatan dia berkata "saya tidak ingin pura-pura tahu, jadi apa yang saya sampaikan adalah apa yang saya praktekan". Hal itu disampaikannya ketika peserta sangat antusias menanyakan topik yang tidak dikuasainya. Dilihat dari caranya menyambut peserta, aku tidak heran kalau tetangga kanan kirinya mempraktekan apa yang dikerjakannya. Memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur mayur.
Pemandangan pekarangan tetangga Ibu Anna |
Selanjutnya kami berkunjung ke Perkebunan milik Tani Organik Merapi (TOM) di Pakem yang bekerjasama dengan petani lokal yang belakangan diberi nama Gemilang. Keduanya merintis perkebunan organik. Berbeda dengan Ibu Anna, kelompok ini dirintis sepenuhnya secara profesional. Digawangi oleh dua orang perintis, TOM kemudian menawarkan kerjasama dengan Gemilang pemilik lahan. Sampai hari ini, TOM berhasil memasarkan produknya di supermarket wilayah DIY dan Jateng.
Sampai di sini aku belajar tentang menjadi akrab dengan alam. Pengelola menerangkan bagaimana alam sangat ramah jika kita benar-benar mengenalnya. Salah satunya terbukti dalam pertanian organik. Metode pertanian yang sama sekali tidak memakai bahan kimia ini memanfaatkan apa yang ada di sekitar untuk menjaga kualitas hasil taninya tetap baik. Salah satu yang menarik adalah kehadiran beberapa jenis bunga. Diantaranya Bunga Matahari dan Kenikir di sepanjang pematang sawah dan ladang. Begitu ditanya, pengelola menyampaikan bunga-bunga yang ditanam dan liar itu berguna untuk mengalihkan hama dari sayur mayur mereka. Selain itu, untuk menyaring zat kimia dalam air yang dialirkan ke lahan, pengelola menanam gerombolan pisang berbatang ungu. Bibit Bunga Kenikir sendiri bisa diolah dan difermentasikan menjadi ramuan pencegah jamur di tanaman.
Pisang berbatang ungu |
Bunga Kenikir |
Ini jadi semacam keniscayaan nyata untuk teori bernama "simbiosis mutualisme". Satu hal saling memberi manfaat. Bunga untuk sayur, sayur untuk kehidupan manusia. Betapa sederhana cara alam mengajarkan kita akan pentingnya eksistensi mereka. Bahkan lele fementasipun bisa berguna untuk menyuburkan tanaman cabe di satu sudut perkebunan itu.
Seandainya aku mengenal alam lebih intim lagi, tak ada namanya ketergantungan pada pasar. Lahan sekecil apapun bisa dimanfaatkan untuk menanam apa-apa yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Ibu Anna dan Para Petani di TOM Gemilang adalah salah satu dari mereka yang sudah erat dengan alam. Erat dengan apa yang dijejak mereka setiap hari. Ada tekad yang tersisa dalam benakku. Tekad untuk mencoba satu saja dengan metode organik yang paling sederhana :D :D. Kalau tidak sempat, belilah di super market terdekat. Akan kita temui produk sayuran organik, dan milik anak negeri pula.
Comments
Post a Comment