Penjual Lutis di Kota "Terpelajar"

“Mari-mari........”
sapaan ceria sang penjual lutis untuk semua orang yang menyapanya sambil lalu di depan gerobak hijaunya. Sapaan itu pula yang mampir di telinga saya setiap kali saya lewat dan menyapanya dengan sebutan “Pak”. Suatu kali, saat itu saya dan seorang teman mampir di gerobak bapak lutis itu dan memesan satu bungkus lutis. Tangannya yang sudah terampil mengiris buah sama sekali tidak terganggu ketika harus mengobrol dengan kami.

dapet dari koleksi gambar mbah google lagi
Google Image
“Sebelumnya saya jualan roti bakar depan warnet mata dunia mbak.....” dia membuka pembicaraan dengan semangat.

“Mata dunia?!”  Jawab saya setengah bertanya sambil mengingat-ingat bahwa tidak ada satupun warnet yang bernama  Mata Dunia dekat kampus ini

“Itu lho mbak, yang depan ringroad. Pas belokan itu mbak” Tunjuknya

“Lho, itu khan......., ya Allah pak, maksudnya World Eyes...”

saya langsung tersenyum begitu menyadari kalau si bapak menerjemahkan nama World Eyes untuk warnet itu kedalam bahasa Indonesia.

“Habis nanti kalau saya pake bahasa Inggris malah salah, nanti diketawain” Jawabnya yang kali ini sedang sibuk mengulek bumbu lutis

“Kreatif banget sieh Pak” Jawab saya sambil tersenyum.

Itulah percakapan yang mengesankan saya dengan penjual lutis sederhana dan periang. Bapak lutis ini memang bukan penjual lutis biasa. Setiap hari disela-sela menanti pembeli, koran adalah teman setia bapak lutis ini (yang sampai sekarang tidak saya ketahui namanya). Ntah dari mana bapak itu mendapatkannya yang pasti kegiatan membaca koran untuk seorang penjual sederhana itu sungguh kegiatan yang tidak bisa dianggap “biasa”. Setiap hari untuk pulang dan pergia ke kampus saya selalu melewati jalan yang sama di mana si penjual lutis mangkal. Mau tidak mau (tapi jujur saya sangat berniat) saya memperhatikan penjual itu termasuk kegiatan membaca koran itu.

Hasil konsumsi korannya ternyata teraplikasi dalam obrolan-obrolannya dengan pelanggan. Salah satunya saya, obrolannya bukan hanya sekedar obrolan penjual lutis yang mengeluh saat sedang sepi pembeli atau alhamdulillah Ketika sedang ramai. Tapi obrolannya sangat informative sekali. Kadang mengenai isu yang memang saya yakin didapatkannya dari koran. Saya jadi punya peluang menimpali, karna topiknya memang umum dan aktual.

Ternyata, setelah saya memperhatikan. Kebiasaan membaca koran dikalangan masyarakat biasa di Jogja ini tidak hanya dimiliki oleh penjual lutis itu. Belum lama ini saya membeli rambutan di sebuah lesehan “musiman”, ibu penjual rambutan itu tidak hanya sendri. Dia ditemani seorang pria separuh baya. Pria itu tengah asyik membaca koran sambil rebahan di bawah pohon tidak jauh dari situ. Bahkan ketika saya harus gelagapan tidak mengerti Bahasa Jawa yang diucapkan sang penjual, pria itu tidak terusik sama sekali. Hanya menoleh sesekali saja.Jika kita perhatikan mayoritas masyarakat Jogja selain kaum perlajar sudah memiliki habitual itu. Sungguh mengagumkan.

Saya kemudian membandingkan dengan masyarakat di tempat saya. Kebiasaan mengkonsumsi berita belum menjadi suatu kebutuhan. Dan hal itu yang sampai sekarang menjadi sesuatu yang sangat mengusik saya. Rasanya saya “iri” dengan masyarakat jogja dan gregetan melihat masyarakat di tempat saya yang kurang berkembang dalam hal penyerapan informasi. Tidak adanya habit akan membaca dan menyerap informasi mempengaruhi tingkat keperdualian akan kemajuan dan sikap kritis masyarakat. Saya yakin, majunya suatu masyarakat adalah dimulai dari sikap perduli masyarakat dan kekritisan masyarakat. Dan semua itu tidak akan terjadi jika masyarakat tidak punya habit membaca, salah satunya mengkonsumsi berita.

Kaum kritis di lingkungan saya masih mereka yang mendapat label “terpelajar”. Label itu bisa disematkan untuk seluruh lapisan masyarakat dengan upaya yang cukup keras dan waktu yang cukup lama dari mereka yang sekarang mendapat label “terpelajar” dan tentu saja pemerintah juga. Mungkin tidak hanya di tempat saya, di belahan lain di Indonesia juga.............

Ahhh, Jogja bukan hanya kotanya Pelajar tapi kotanya orang-orang terpelajar. Termasuk penjual lutis sederhana dan periang itu.  

Unires 20 Januari 20011

Comments