Ketika diminta mendeskripsikan ibu dalam sebuah analogi, pikiranku bekerja serta merta dengan mudahnya. Ibu ibarat malaikat, ibu adalah kompas yang mengarahkan kita saat tidak mata ini belum mampu membedakan mana kuning dan mana hijau. Sebelum kaki ini bisa menjejak tanah dengan kaki tegak kuat. Ada satu hal yang sering terlupakan. Kehadiran sosok ayah dalam album kehidupan kita. Seorang gadis China mengumpamakan ayah dalam sebuah statement yang sangat menyentuh...
"Ayah ibarat pohon besar yang melindungi keluarga, balok yang menyokong sebuah rumah....."
Ayah memang dan harus menjadi pohon besar yang memiliki akar kuat untuk menopang keluarga. Terutama untuk anak-anaknya. Aku sendiri sadar bahwa aku ada dalam posisi itu. Pribadi yang kadang melupakan betapa istimewanya sosok ayah. Betapa berjasanya dia. Secara kasat mata, jasanya berbanding lurus dengan pengorbanan ibu. Ayah berjuang banting tulang saat jabang bayi dalam kandungan, berharap segala yang diusahakannya cukup untuk menyambut kehadiran si kecil.
Dari sekian kenanganku bersama sosok ayah, ada satu yang paling aku sukai dan melekat dalam hati. Masa-masa ketika ayah masih sering bepergian dan pulang malam. Menyenangkan sekali saat dia pulang dan ada sesuatu yang dia genggam di tangannya. Kresek. Isinya bisa bermacam-macam. Kadang dia membawakan kami bakso dari warung favorit kami. Dan yang paling sering dibawanya kala itu adalah ROTI BAKAR. Mengingat masa itu, roti bakar masih menjadi konsumsi orang-orang terbatas. Betapa bahagia, kami bisa menikmatinya. Dia biasa membawakannya jika harus pulang kerumah diatas magrib. Pas untuk penganan malam.
Bukan sekedar roti yang kami tunggu, tapi moment ketika dia membawa roti. Saat kami menunggu penuh harap dan dia tidak mengingkari harapan kami. Saat ditangannya dia membawa bungkusan. Saat kami mulai membongkar apa isinya. Bahkan, jikapun isinya sekedar es teh. Kami tidak akan menyesal. Karna, yang kami sukai adalah moment itu. Ketika harapan bertemu dengan kenyataan.
Mungkin tidak sebanyak yang ibu lakukan, mungkin tidak sebesar pengabdian ibu. Tapi, ayah tetap berjasa. Dia membekali kekuatan pada kami untuk kuat melawan angin yang menerpa-nerpa. Dia punya "mantra-mantra" ajaib yang bisa menyalakan api dalam sosok anak-anaknya. Dan mantra yang membuat saya mencintai ayah saya adalah "Niat mencari ilmu bukan untuk uang, tapi menambah pengetahuan....". Saya tidak peduli apakah niat ayah saya dahulu kala saat belajar. Tapi, mantranya sudah seperti mandat bagi saya. Father, How Are You Today...???
22 Oktober 2011, 09:22 (Kaliurang)
Comments
Post a Comment