Aku Bukan Guru, Aku Bukan Ibu, tapi Aku

Juga pendidik...

Tiga hari ke belakang aku menghadiri undangan pelatihan yang diadakan oleh Komnas Perempuan. Seperti biasa, hal yang membangun antusiasku dalam berbagai pelatihan adalah bertemu dengan orang-orang baru. 80 persen peserta pelatihan adalah aktifis yang konsentrasi di isu perempuan dan anak dari berbagai lembaga di penjuru Indonesia. Hal yang menarik dari pertemuan dengan mereka adalah pengalaman-pengalaman di lapangan yang mereka alami selama menjadi pendamping kasus. Dan moment itu "selalu" datang di meja makan.

Dari moment "meja makan" itu, aku menemukan perspektif kasus yang menimpa perempuan dan anak dalam kerangka yang lebih hidup. Dari sudut pandang para aktifis yang selama ini mendampingi berbagai kasus. Kasus yang paling banyak diceritakan di "meja makan" itu adalah kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak. Di Aceh, Mbk Hasanah dari LBH Apik Aceh pernah mendampingi anak perempuan berusia 5 tahun yang menjadi korban pelecehan seksual oleh paman kandungnya. Di Solo, Mbk Witi dari KJR HAM Semarang pernah mendampingi anak usia 3.5 tahun yang juga menjadi korban pelecehan seksual dari ayah kandung. Dari Nurani Perempuan Padang, kasus pelecehan seksual pada anak atau remaja juga sama memprihatinkannya. 



Bersama para aktifis perempuan & anak

Kisah-kisah yang diceritakan di meja makan itu meninggalkan pilu dan ngilu dalam benak yang mengantarkanku sampai berkomentar "Sepertinya aku gak akan sanggup kalau jadi pendamping (korban). mungkin aku akan menangis terus". Para aktifis yang bersamaku selama tiga hari itu adalah sosok-sosok luar biasa yang mau berbagi waktu dengan perempuan dan anak yang menjadi korban.

Pengalaman tiga hari ini akhirnya membawaku pada satu kesimpulan. Kesimpulan yang aku yakini bahwa pendidikan adalah tugas bersama. Pendidikan bukan tugas ibu atau hanya guru. Pendidikan adalah tugas setiap manusia yang secara sadar menyebut dirinya dewasa. Untuk itu aku menyebut diriku sebagai pendidik. Aku bukan seorang guru, dan belum juga menjadi orangtua dari seorang anak tapi aku tahu, ada banyak anak-anak yang masa depannya terancam karena mereka diabaikan oleh kita yang dewasa. Seperti kasus-kasus yang selama ini kita lihat di layar kaca. Selain oleh orang terdekat, orang-orang dewasa yang ada di lingkungan anaklah yang selama ini menjadi  predator mereka. Dan ancaman itu akan semakin besar jika kita menyerahkan pendidikan hanya pada guru dan apalagi ibu (orangtua). Aku selalu khawatir, opini bahwa pendidikan semata tugas ibu jugalah yang membuat para predator anak berbuat sesuka hati mereka tanpa sedikitpun merasa bertanggung jawab.   

Siapa yang membersamai anak-anak ketika mereka menghabiskan hari mereka di lingkungannya. Jauh dari mata orangtua, jauh dari pengawasan guru. Tentu saja kita, orang-orang dewasa yang kebetulan ada di lingkungan mereka. Apalagi dengan fakta bahwa lingkungan adalah komponen penting yang berkontribusi pada suksesnya pendidikan selain rumah dan sekolah. Dan anak-anak kita akan sampai pada masa dimana mereka lebih banyak menghabiskan hari di lingkungan mereka dibanding sekolah dan rumah. Disitulah kita, si "liyan" yang ada di lingkungan mereka berkontribusi. Memberikan apa saja yang mampu kita berikan, walau hanya sebatas menjadi teladan. Sesuai apa yang kita harapkan untuk masa depan mereka. Masa depan yang menyenangkan....   

  

  
  
    

          

Comments