Takdir!
Pikiran itu yang terlintas untuk pertama kali saat saya memarkir motor di belakang Pendopo Taman Siswa Sabtu (14 Februari 2015) lalu. Dari banyak hari yang sudah saya rencanakan, tuhan menakdirkan saya untuk datang ke Musuem Dewantara Kirti Griya hari itu, tepat saat Anies Baswedan berkunjung ke bekas rumah Ki Hadjar Dewantara.
Awalnya saya tidak berencana untuk nimbrung, bunyi ketukan gamelan yang menyambut kedatangan menteri menarik minat saya untuk menjejak pendopo atas izin pengelola. Berlagak seperti wartawan, saya duduk di barisan belakang, tidak jauh dari rombongan siswa yang ditugasi menyanyi dan memukul instrumen gamelan. Kunjungan yang menurut pengelola adalah kunjungan mendadak dan "sekalian" ke Yogya tentu akan dimanfaatkan oleh pengelola Yayasan Taman Siswa. Kesempatan emas itu digunakan dengan dialog informal antara murid dan menteri. Dialog ini seperti dialog untuk menyerap aspirasi langsung dari objek pendidikan. Karena pendidikan masih sangat identik dengan sekolah, Anies lalu membuka sesi dialog yang dikemas amat cair ini dengan berujar :
"Kita sering bertanya pada tenaga pengajar, apa yang baik untuk pendidikan anak-anak. Tapi kita jarang bertanya pada peserta didik apa yang mereka inginkan," Kata Anies
Perkataan Anies menjadi fenomena nyata dalam sistem pendidikan Indonesia. Banyak pakar yang memang dilibatkan untuk menentukan kebijakan pendidikan, tapi murid sebagai objek pendidikan, aspirasinya jarang diserap. Belakangan, praktisi pendidikan bahkan bertanya-tanya mengenai naskah akademik. Itu saya tahu dari forum diskusi mengenai pendidikan. Menurut seorang praktisi, selama ini pemerintah tidak pernah memperlihatkan naskah akademik sebagai landasan untuk menentukan kebijakan. Seperti dalam menentukan kurikulum 2013 lalu.
Anies lalu bertanya kriteria sekolah dan guru yang baik pada murid yang hadir. murid yang ingin menjawab tidak dibatasi kelas. Di sini, untuk pertama kali saya melihat anak-anak dengan keberanian luar biasa. Walau sebagian mengaku deg-degan bisa berdiri di samping menteri, mereka tetap lantang menyuarakan pikiran dan perasaan mereka tentang sekolah dan guru yang diharapkan. Dari sekian jawaban, ada beberapa yang membuat saya tercenung.
Pertama datang dari pelajar putri tingkat menengah pertama. Namanya Putri, menurut Putri sekolah yang baik adalah :
"Sekolah yang berbudaya dan berkarakter. Antara guru dan murid seperti keluarga. Jadi guru seperti ayah dan ibu bagi murid ketika di sekolah".
Kedua datang dari Yani, dia murid dari menengah pertama juga. Yani amat berani menyuarakan pikirannya dengan deretan kalimat berikut :
"Sekolah baik adalah yang nyaman, aman, dan sekolah yang bisa membuat kita seperti berada di rumah. Guru-gurunya tidak menyeramkan. Kurikulumnya tidak membingungkan untuk kita."
Di sini, Yani mengeluhkan tentang kurikulum 2013 yang amat dipaksakan. Sebagai murid kelas 3, dia mendapat keluhan dari adik kelasnya yang langsung menerima perubahan kurikulum. Dia juga mendengar banyak guru yang bingung dalam menyiapkan materi sesuai tuntutan kurikulum 2013. Yani secara lantang menutup curahan hatinya dengan berkata "Untuk kelangsungan hidup saya, saya pilih kurikulum 2006". Selain menutup sesi curhatnya, Yani mengatakannya sebagai jawaban atas pertanyaan menteri mengenai mana kurikulum yang paling baik menurut gadis berseragam coklat di hari itu.
Ketiga datang dari Dewi. Dewi mengungkapkan harapannya akan sekolah ideal dalam kalimat sederhana:
"Sekolah menyeimbangkan semua murid. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin. Dan guru seimbang mengajarkan. Tidak terlalu sering memberi catatan dan tugas"
Jawaban Dewi yang sederhana ini justru mendapat sambutan amat meriah dari setiap pelajar yang hadir, sepakat dengan pendapat Dewi. Ini menjadi tanda betapa fenomena itu banyak terjadi di sekolah kita. Masih ada perlakuan berbeda antara si kaya dan si miskin, dan antara si di atas rata-rata dengan si pas-pasan.
Suara Putri, Yani, dan Dewi memang belum cukup mewakili seluruh harapan peserta didik di negeri ini. Tapi suara ketiganya cukup menjelaskan, betapa terabaikannya objek pendidikan di Indonesia. Mereka justru acap kali menjadi korban sistem yang dibuat seolah untuk kebaikan mereka. Yang paling nyata adalah diberlakukannya UN sebagai syarat kelulusan selama bertahun-tahun ini. Tidak hanya tertekan, beberapa anak bahkan sudah meregang nyawa demi bisa menapak kawah candra dimuka berikutnya. Saya berharap, Anies sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati setiap murid. Terutama tiga curahan yang membuat tercenung itu.
Jadi, hari Sabtu yang ditutup hujan lebat itu, saya ditakdirkan untuk napak tilas, berbincang dengan pengelola museum dan mendengarkan curhat murid pada menteri. Saya mulai yakin, kalau karma sedang berlaku pada diri saya. Oh Pak Haji, ini karma yang mulia. Seperti keluh kesahmu dulu... :)
Comments
Post a Comment