Senja di Gereja Tua

Menjadi minoritas dalam diri sebagai manusia seringkali aku alami. Tapi menjadi minoritas dalam diri sebagai muslim, Selasa kemarin menjadi pengalaman pertama. Dan gereja tua yang berdiri tahun 1830 itu menjadi saksinya... 

Sejak disuguhi undangan untuk menghadiri diskusi pada hari jadi ke 50 Pelkat Persekutuan Kaum Perempuan GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta, perasaan campur aduk muncul begitu saja. Antara senang dan was-was. Senang karena setelah sekian lama membayangkan, akhirnya aku akan terlibat dalam forum antar agama. Kedua, was-was karena khawatir akan mengalami pergeseran kepercayaan. Hal yang selama ini selalu digemborkan banyak orang bahwa memasuki rumah ibadah agama lain akan mempengaruhi akidah. 



Keduanya menjadi euforia tak terbantahkan ketika kakiku menjejak halaman gereja sore hari berikutnya. Para panitia yang menggunakan setelan ungu menyambut kami dengan senyum ramah. Selesai mengisi buku tamu, mataku menyisir isi gereja yang sore itu ditata ke arah utara bukan mimbar tempat ibadah para jema'at. Dari sekian jema'at yang hadir, aku melihat ada tiga orang yang memakai kerudung. Artinya, bersama aku dan kawan, ada 5 orang muslimah yang sore itu ikut diskusi yang mengangkat tema “Kemitraan Antar Umat Demi Keselamatan Bangsa”. Jelas sudah, dalam gereja itu, kami hadir sebagai minoritas yang menghadapi beragam prasangka dan stereotype yang mungkin melekat dalam benak para jemaat. 

Sambutan berlebihan langsung aku rasakan begitu kami dipersilahkan duduk di kursi sofa dengan sandaran menjulang tinggi sampai kepala, sementara jema'at yang lain duduk di kursi kayu. Untungnya, sambutan yang sedikit membangun jarak itu langsung memudar begitu kami bersalaman dengan pembicara, Ibu Alimatul Qibtiyah yang duduk di kursi kayu deretan terdepan. Di situlah akhirnya kami duduk. Setara dengan jemaat yang hampir seluruhnya perempuan. Maklum, hari itu pembahasan lebih dispesifikan pada isu “Perempuan dalam Agama Islam, Refleksi Pengalaman Berinteraksi dengan Agama Lain”

Sebagian besar kursi yang berjejer di ruangan luas beratap menjulang itu kosong tak berpenghuni. Menurut Ibu Elga sang moderator, pada hari kebaktian, biasanya ada sekitar 300 jema'at yang datang dan jumlahnya bisa mencapai 500 saat perayaan hari besar seperti natal. Begitulah, keadaan gereja tidak jauh berbeda dengan masjid. Pada hari-hari biasa, tidak banyak orang yang menyempatkan diri bercengkrama dengan tuhan dalam rumah peribatan. 

Diskusi dibuka dengan pemaparan panjang lebar mengenai pandangan Islam terhadap berbagai isu termasuk kedudukan perempuan dalam Islam. Dalam pemaparannya, Ibu Alim banyak mengangkat tentang penafsiran-penafsiran ayat Qur’an yang lebih banyak diserap secara tekstual tanpa melihat sudut lain seperti kontekstual. Salah satunya mengenai isu poligami yang kemudian ditanyakan oleh salah satu jema’at. Menurut Ibu Alim, poligami dalam budaya Arab sudah terjadi jauh sebelum Islam datang. Budaya tersebut terjadi secara tak terkontrol karena adanya relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. 

Sebelum Islam datang, perempuan dianggap sebagai harta warisan tak ubahnya benda. Lelaki secara otomatis berhak mendapatkan perempuan sebagai warisan begitu walinya meninggal. Poligami baru dianjurkan dalam Islam pasca terjadinya perang Uhud. Dalam perang itu banyak kaum suami meninggal dan meninggalkan janda beserta anaknya. Untuk melindungi kaum janda dan yatim, poligami lantas dipeintahkan. Kontekstual inilah yang jarang dipertimbangkan dalam praktik poligami dewasa ini. Dalih poligami selalu ayat Qur’an tanpa melihat sisi kontekstual. Padahal, menurut Alim, untuk bisa poligami di era sekarang, pasangan harus melakukan konsultasi panjang dengan pengadilan dan dilakukan berlandaskan suatu masalah. Misalnya, tidak bisa memberikan keturunan. Dan di lapangan, jangankan konsultasi ke pengadilan, praktek poligami bahkan dilakukan tanpa sepengetahuan istri.


Selain isu poligami, isu pengucapan “Selamat Natal” juga menjadi isu yang disambut diskusi hangat. Bahkan, temanku, Dian, secara pribadi menanyakan langsung pada seorang jema'at perempuan berusia 60 tahun mengenai perasaannya sebagai seorang minoritas. Perempuan ini sehari-hari tinggal di salah satu kecamatan yang memiliki basis Muslim yang kuat. Berkaca-kaca dia menceritakan bahwa kepala RT setempat tidak mendapatkan izin melakukan ibadah di dalam rumahnya. Berpegang pada teologi yang diajarkan keyakinannya, perempuan itu menganggap keadaan yang dialaminya sebagai bentuk pengorbanan. Sama seperti yang dilakukan tuhannya, Yesus. Mengorbankan dirinya disalib kaum romawi untuk menyelamatkan pengikutnya. Di sini dia menggunakan analogi “garam bagi masakan”. Menganggap apa yang dialaminya sebagai penyedap yang memberikan rasa dalam kehidupan yang dijalankannya sebagai minoritas.

Tidak persis, tapi belakangan aku memang kerap membayangkan diriku menjadi seorang minoritas dalam posisiku sebagai seorang muslim, Terutama setelah penyandraan yang dilakukan oleh seorang kriminal di Australia beberapa bulan lalu. Aku ingat betul, setelah kejadian itu, muncul gerakan I Will Ride With You. Gerakan yang sempat jadi trending topic di twitter ini dimulai oleh seorang perempuan tidak lama setelah dia membaca kicauan temannya tentang kejadian rasis yang menimpa seorang muslimah sampai harus melepas jilbabnya.

Kali itu, aku mencoba memposisikan diri sebagai si muslimah. Berdiri sendirian memakai jilbab di stasiun yang dipenuhi orang-orang dalam keadaan marah akibat kejadian dramatis itu. Perasaan takut pastilah tidak terhindarkan. Hal yang menggugah adalah moment disaat Jacob meminta si muslimah tetap memakai jilbabnya dan menemani perempuan itu berjalan. Tak lama perempuan itu menangis di pundak Jacob. Aku rasa kelegaan dan rasa syukur tengah meliputi hati si perempuan. Di antara tekanan yang hebat, masih ada orang yang mau menolongnya mempertahankan keyakinannya.

Dari kejadian ini, aku menyadari satu hal, ada sesuatu yang terlupakan dalam kehidupan ku sebagai mayoritas di negara ini, menebarkan kebaikan yang memberi perasaan aman bagi kelompok minoritas. Padahal, keteladanan menjadi rahmat bagi semesta nyata-nyata diajarkan Muhammad. Pada masa hidupnya, Muhammad tercatat memimpin sebuah komunitas besar yang bisa menyatukan berbagai keyakinan dalam satu kehidupan damai dibawah dominasi Islam. Bahkan penganut Yahudi sekalipun. Mungkin kita terlalu jauh melangkah, jauh dari keteladanan yang diajarkan Rasul, sosok yang dengan kebesaran hati justru menjenguk seseorang yang pernah melemparkan kotoran dan duri di jalan yang biasa dilaluinya.


Seperti kata Marvina Gaye yang lagunya dipopulerkan lagi oleh organisasi nirlaba Playing For Change, " For Only Love Can Conquer Hate". Hanya cinta yang mampu menaklukan kebencian. Itulah yang diajarkan Muhammad, teladan bagi para muslim. Menebarkan cinta ketika yang lainnya membencinya sampai ubun-ubun.

“Semoga tuhan memberkati” ucap perempuan itu kala kaki mulai beranjak meninggalkan gereja menuju lokasi penghambaan diri sebagai muslim. Ada Yesus dalam benaknya, tapi dalam benakku ada tuhan esa yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Was-was itu tinggal was-was saja, tak ada apapun yang berubah selain kesadaran pentingnya saling berbagi sudut pandang. Kerusuhan yang terjadi atas nama agama, mungkin meletus karna tersumbatnya keran informasi antara satu sama lain.

Seperti tutur Bu Alim, agama lahir ketika konflik. Untuk itu, ruh agama adalah kebaikan. Mungkin karena kita terkecoh oleh tuhan yang diciptakan manusia, bukan tuhan yang menciptakan manusia. Teologi Islam ini, carilah sampai habis nafas kita, karena dengannya kita akan bertemu tuhan yang menciptakan kita. Dalam keyakinan yang aku anut, Dia adalah Allah.


Comments