Suatu hari, dua atau tiga tahun yang lalu, seorang teman mengabarkan bahwa ayahnya sedang sakit parah. Akibat sebuah kejadian, penyakit ayahnya kambuh dan harus menjalani rangkaian pengobatan. Setelah upaya medis canggih tak mempan, teman saya memutuskan mencari "orang pintar" yang bisa mengupayakan kesembuhan lainnya. Permintaan terakhir teman pada kami sebelum ayahnya meninggal adalah "do'akan semoga bapak cepat sembuh."
Suatu pemikiran tiba-tiba saja muncul dalam benak saya saat melihat pesannya yang penuh harap itu. "Semoga Allah memberikan yang terbaik kak..." jawab saya. Kalimat "yang terbaik" inilah yang muncul ibarat lampu menyala seketika saat tombol sakelar ditekan. Kenapa kita ngotot meminta kesembuhan ketika tanda kematian seseorang amat nyata di depan mata. Kesan itu yang saya terima saat membaca pesannya. Bisa jadi, hal itu adalah penghiburan semata bagi orang-orang yang akan berkabung. Seperti dalam kasus teman saya itu.
Tentu saja secara logika dia mengerti bahwa kecil sekali kemungkinan ayahnya bisa sembuh seperti sedia kala. Itu saya ketahui belakangan dari cerita yang dia sampaikan beberapa bulan setelah kepergian sang ayah. Betapa canggih peralatan medis yang diberikan untuk memperpanjang persemayaman ruh dalam jasad sang ayah. Tetap saja hasilnya tidak cukup untuk menyalakan harapan "semoga cepat sembuh" teman saya itu. Sampai akhirnya dia mencari "orang pintar" dari seantero negeri yang juga tidak membuahkan hasil. Saya pun pernah dimintai tolong yang tentu saya jawab "Maaf kak, gak kenal satupun". Walau saya bisa saja tanya ke ibu atau tante yang sangat mengenal banyak sosok "orang pintar."
Demi mendengar ceritanya, do'a "semoga Allah memberikan yang terbaik" tidak pernah saya sesali meskipun awalnya saya kurang nyaman dengan do'a saya. Kalimat "yang terbaik" selalu saya artikan dalam banyak hal. Untuk kasus "sekarat", artinya bisa menjadi kesembuhan atau kepergian yang tenang. Dan sejak kejadian itu, kalimat serupa selalu saya sampaikan pada mereka yang meminta do'a kala terkena musibah. Termasuk saat kakek -guru kehidupan- saya dinyatakan kritis. Hanya do'a itu yang mengiringi kepergiannya. Kepergian yang tak sempat saya saksikan. Pada sudut ini, saya melihat "yang terbaik" adalah kepergian orang-orang yang kita cintai. Kadang, saya berpikir, justru orang-orang yang terbaring di ranjang dalam keadaan sakit itu berharap kematian dibanding kehidupan yang harus dijalani dalam sakit. Tapi pada sudut lain, "yang terbaik" adalah kesembuhan dan kemujuran tak terduga yang kerap membuat kita terperangah keheranan "kok bisa!". Itulah kelemahan kita. Tidak ada yang benar-benar bisa kita tebak.
Karena, ada hal-hal yang tidak bisa manusia jangkau, seperti kapan seseorang akan mati. Untuk hal-hal yang tidak bisa dijangkau itu, kita tidak bisa memaksakan diri kita. Jika pun itu sekedar membangun harapan yang menyalakan gairah seseorang menjalani hidup. Kita perlu menyisihkan hari untuk mengakui bahwa kita tidak bisa mengendalikan banyak hal. Pengakuan ini mungkin bisa membimbing kita untuk tetap rendah hati. Tidak hanya pada zat yang terus menerus kita cari keberadaannya itu, tapi pada sesama manusia yang sama-sama tak berdaya. Pengakuan itu semacam "rem" yang bisa menghentikan kita dari kebablasan berlaku. Pada sesama dan pada zat yang kau percayai eksistensinya. Maka, "yang terbaik" adalah apa-apa yang terjadi di luar kendali kita.
Comments
Post a Comment