Suatu Sore di Kaki Gunung Petarangan


Sudah sejak sejam yang lalu, saat kendaraan ini membelah Kota Jogja ketika aku sadar hawa dingin mulai menusuk-nusuk. Bahkan, badanku menggigil sejak kendaraan memutari Kota Magelang yang sempat membuatku takjub dengan deretan bangunan tua warisan kolonial. Pikiranku membuat percakapan sendiri sembari menikmati pemandangan tersebut "Hemm, sepertinya kota ini tidak hendak mengubah apa yang Belanda tinggalkan. Bahkan bangunan tua berwarna coklat pudar itu masih menggunakan ejaan lama KABOEPATEN MAGELANG". Kendaraan terus melaju melewati jalanan Temanggung sampai akhirnya tiba di deretan gunung yang dalam mataku tampak sedang saling bergandengan begitu mesranya. Kantuk yang sempat menghujani mataku serta merta hilang dilindas pemandangan hijau yang menimbulkan perasaan gembira. Gembira!. Gembira berbeda dengan bahagia. Setidaknya bagiku gembira memiliki konotasi yang lebih meriah. Kebahagiaan yang penuh kemeriahan karna melihat pemandangan alam. Saat berdecak kagum memandangi deretan bukit hijau yang kejar mengejar seiring dengan jalannya kendaraan, ibu di sampingku berujar.

"Tadi lebih bagus lagi dari ini mbak" ucapnya masih melihat pemandangan dibalik kaca mobil.

"Subhanallah bu, ini benar-benar bagus" balasku yang memang sempat tertidur. Selanjutnya kami saling sahut menyahut dengan posisi tidak berubah. Aku memandang ke samping kanan, ke pemandangan di luar sana dan dia ke samping kiri memandang deretan gunung juga.

Ini seperti, ah bukan seperti tapi memang perjalanan yang membelah gunung. Dari Wonosobo, Dieng, dan tibalah kami di lokasi tujuan. BATUR. Sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Banjarnegara yang masih sangat alami. Kondisi masyarakat khas pedesaan kaki gunung lainnya. Sehari-hari bekerja sebagai petani. Kami disambut oleh sebuah keluarga yang ramahnya tidak kepalang "monggo pinarak bu, mbak. Monggo" katanya berulang-ulang sambil menyalami dan membungkuk sedikit dengan tangan menjulur menunjuk ke ruang tamu dengan ibu jarinya. 

"ahh, keramahan masyarakat Jawa" pikirku sambil mengikuti intruksinya memasuki ruang tengah dengan lantai yang diselimuti karpet merah. Karpet merah ini bukan sebagai simbolis penyambutan kami tapi memang untuk menghindari kulit bersentuhan langsung dengan ubin yang sedingin es itu. Kupilih sofa hitam berlapis kulit dan segera mendudukkan diriku di atasnya. "Bagaimana bu, perjalanannya. Mesti melelahkan ya bu" sapa tuan rumah pada ibu yang sedari tadi aku bersamai dalam perjalanan kerjanya ini.

"Ah, tidak bu. Justru menyenangkan. Apalagi sepanjang jalan pemandangannya bagus" katanya dalam bahasa Jawa.

"Di sini AC tidak laku ya bu" sopir yang dari tadi diam tiba-tiba bicara pada tuan rumah.

"nggeh pak, ini sudah lebih dari AC". Memang benar, Tuhan akan sangat adil pada manusia. Di pegunungan ini, penjual AC memang tidak memiliki pasarnya. Tapi lihat, pemanas air akan memiliki keuntungan besar dengan menjajakan produknya di sini. Karna, penduduk aslipun jelas tidak tahan dengan gempuran udara dingin pegunungan ini. Buktinya, mulai dari pemilihan sofa sampai penataan ruang semua dibuat agar bisa menghangatkan penghuninya. Karpet yang terhampar, sofa berbahan tebal, dan kamar mandi dengan pemanas air.

"monggo mbak, tehnya mumpung masih hangat" lamunanku buyar saat seseorang disampingku menunjukkan gelas teh yang sudah terhidang di depanku. Tanpa basa-basi aku teguk teh hangat itu sampai ke dasar gelas menyebarkan sedikit kehangatan di perutku.

Percakapan terus berlanjut sampai pada titik membahas tentang pertanian. Rupanya, tuan rumah yang kami singgahi adalah seorang saudagar tani. Rumah, dan segala isinya memang cukup ntuk membuktikan itu. Semua anaknya disekolahkannya di Jogja. Foto upacara wisudah berderet di dinding rumahnya, sejak dari anak pertama sampai akhir.

"Itu lho bu, petani setia" kata seseorang lainnya. Tuan rumah yang dimaksudkan hanya terkekeh tanpa komentar berarti.

"Disini enak sekali ya, bunga tujuh warnapun tumbuh sembarangan di depan rumah. Belum lagi carica. Di setiap halaman rumah pasti ada" kata Ibu Im, orang yang bersama denganku dari Jogja itu.

"Di mana-mana perkebunan sayuran, subur sekali ya di sini" lanjutnya lagi masih dalam nada bicara
yang penuh kekaguman.

"Memang subur bu, tapi sekarang debu di mana-mana" seorang perempuan yang belakangan aku ketahui bahwa dia seorang guru. Wajar setiap ucapannya penuh kekritisan. Aku masih dengan diam dan penuh khidmat mendengarkan percakapan dalam bahasa Jawa itu. Karna mengerti tanpa mampu mengucapkannya, aku jadi sangat pendiam.

"sekarang semua lahan jadi kebun, tapi sayang juga bu, sudah tidak alami lagi. Tanahnya sudah kebanyakan bahan kimia. Obat-obatan yang ditaburi untuk sayuran itu kimia semua" katanya lagi.

Melalui percakapan singkat yang tidak ada sangkut pautnya dengan kunjungan Ibu Im ke Batur aku menyadari sesuatu yang sejak perjalanan itu tidak aku sadari sama sekali terhijabi kekaguman akan karunia Tuhan atas Indonesia di bagian tengah pulau Jawa ini.

Gunung-gunung yang menghampar hijau itu hakikatnya gunung-gunung gundul. Tidak ada lagi pohon-pohon yang aku yakin pernah memenuhi pegunungan itu. Sekarang digantikan oleh perkebunan. Bahkan sampai pucuk gunung, yang ada hanya perkebunan dan perkebunan. Kentang, kubis, wortel, dan tembakau di beberapa area. Hanya tersisa sedikit deretan pohon pegunungan di satu dua titik yang kami lewati saat pulang. Aku kemudian membayangkan, bagaimana masyarakat membabad habis pepohonan dan menggantikannya dengan sayuran. Pepohonan yang mungkin dianggap tidak bisa menunjang kehidupan ekonomi mereka.

"gundul bu, pohonnya habis sampai puncak gunung" kataku pada bu im.

"iya mbak, tinggal sayuran" balasanya singkat dalam perjalanan pulang dari Batur pas sorenya.


Sebelum pulang aku bercakap-cakap dengan seorang ibu di pelataran masjid tempat kegiatan Bu Im dilaksanakan.

"Disini petani semua ya bu" kataku

"Gak mesti mbak, ada juga yang lain"

"Ibu juga petani? "

"Bukan saya guru TK mbak. Dulu juga saya sekolah PG di Jogja"

"Tahun berapa bu?" tanyaku sambil melihat keliling kepada anak-anak yang turun menuju rumah masing-masing setelah melaksanakan shalat ashar.

"Tahun 86 saya lulus"

"Hahaha, saya belum lahir itu bu" jawabku dalam tawa sambil masih melihat keliling kemudian terpaku pada gunung yang menjulang tinggi di sebelahku.

"Itu gunung Sindoro bu?" tanyaku mengalihkan percakapan.

"Oh bukan mbak. Gunung Sindoro itu di Wonosobo. Itu Gunung Petarangan" Katanya kemudian menjelaskan bahwa gunung itu dulunya juga pernah aktif sama seperti Sindoro.

Aku tulis dalam benakku, di kaki gunung ini ratusan masyarakat menggantungkan hidup pada gunungan tanah yang pohonnya dibabad habis, digantikannya dengan sayuran, menaburi gunungan tanah itu dengan berbagai bahan kimia yang ntah masih bisa ditahan tanah itu sampai kapan untuk menghasilkan limpahan produk dalam waktu singkat (seiring dengan kebutuhan). Tentunya bahan kimia itu diikuti polusi. Hanya kabut-kabut yang datang setiap hari yang menyelamatkan atmosfir pegunungan itu tetap dingin dan terasa alami.

Teringat kemudian pada tulisan Pak Dahlan di Koran Jawa Pos-nya dengan tema HOPE. Ajari masyarakat kita dengan kepotimisan. Bahwa produk dalam negeri tidak kalah kualitasnya dengan luar negeri. Bahwa produk mereka juga dibeli dan dipertimbangkan. Aku bukan Pak Dahlan yang dengan tangannya bisa menyentuh BUMN untuk mendukung perekonomian internal bangsa, perekonomian si Pribumi. Tapi, aku bisa memulai dengan membeli produk petani kita yang tersebar di seluruh pasar. Bahkan mungkin di Pasar Gamping dekat tempat tinggalku itu produk petani di kaki gunung Petarangan juga tersebar. Maka, dengan senang hati aku langsung membeli wortel domestik saat temanku mengatakan wortel merah bersih tanpa bercak yang tadinya hendak kubeli adalah wortel impor dari Cina.

Kata Pak Dahlan lagi, untuk membangun kepotimisan perekonomian pribumi bukan hanya dengan bantuan pemerintah, bukan juga hanya petani yang perlu meningkatkan kualitas produknya tapi juga kita sebagai orang Indonesia untuk bangga menggunakan produknya. Itulah yang membuat Cina bisa menjejalkan wortelnya sampai ke Indonesia. Karena masyarakatnya bangga dan dengan senang hati menggunakan produk hasil tangan warganya sendiri.

Sore menembus malam, menembus pegunungan menuju kembali ke Jogja. Inilah Indonesiaku, masih hijau meskipun terus menerus digerus moderniasasi. Masih ada harapan untuk tetap menjadikannya sebagai "surga dunia" yang sesungguhnya kalau boleh meminjam istilah yang Doktor Aidh Al Qarni gunakan saat melihat hijaunya khatulistiwa ini dalam sebuah kunjungan.
"terimakasih bu, terimakasih pak. Selamat malam" ucapku saat kendaraan kami sampai di tempat tinggalku. Terimakasih Ibu Im dan Pak Marto atas kesempatannya mengunjungi pedesaan sejuk di kaki Gunung Petarangan.

--andalusia-- Unires, 15 Juni 2012    
  

Comments

Post a Comment