Lima Hari Penjelajahan di Kaki Gunung Tumpang


Mengunjungi tempat asing adalah sebuah penjelajahan tidak hanya fisik, tapi batin. Ada banyak pelajaran yang bisa kita kumpulkan seperti pecahan puzzle. Kita akan tahu apa artinya ketika kita berhasil merangkainya. Tidak perlu sempurna, karena ini adalah penjelajahan batin. Selama udara masih kita pompa, kita tidak mungkin akan berhenti…




Lamongan adalah tempat pertama yang aku pilih untuk penjelajahan ini. Berada di ujung utara pulau Jawa, menempuh perjalanan ke Lamongan dari Yogyakarta bukanlah perkara mudah. Butuh dua kali transit dan tiga jenis kendaraan untuk bisa menjangkau Lamongan. Malam itu, perjalanan dimulai dengan menggunakan bus rute Yogyakarta-Jombang. Kami memilih salah satu armada bus yang menurut kawan paling aman dibanding armada lain. Nyatanya, sepanjang jalan mataku tidak berani terlelap akibat “kegagahan” sopir yang kerap menyalip di beberapa tikungan dengan kecepatan aduhai. Kata kawan, “ini belum seberapa dibandingkan yang lain”. Aku tidak berani membayangkan diriku menumpang armada bus lain.

Perjalanan dengan bus berakhir di Jombang sekitar jam satu malam. Sambil menanti bus kecil sejenis Elf (yang beroperasi jam 5 pagi), kami transit di salah satu masjid. Di Jombang aku bernostalgia dengan masa lalu. Setelah hampir delapan tahun absen, subuh itu aku kembali melakukan Qunut[i]. Rasanya seperti berada di tanah kelahiranku yang pagi itu diam-diam aku rindukan. Dari Jombang kami segera menumpang bus pertama menuju Tuban dan diteruskan angkot menuju Lamongan. Perjalanan melelahkan itu jadi menyenangkan ketika angkot menggelinding di atas jalan yang merupakan bibir pantai utara. Sepanjang jalan, mata saya dihibur pemandangan laut yang seolah tiada ujung. Laut yang tenang tak seperti di selatan. Angin membelai wajah kami dan mengirimkan aroma garam yang menggelitik hidung.

15 Juli 2015, 10:00 akhirnya aku tiba di tanah merah desa itu. Lembor adalah sebuah desa di Kecamatan Brondong Lamongan. Perkampungan desa itu berada di kaki pegunungan kapur dan batu. Gersang dan panas. Perkebunan jati dan tanaman palawija seperti jagung menjadi pemandangan khas sepanjang jalan menuju desa itu. Siang permulaan kemarau itu, tanaman palawija di Lembor mengering dan kerontang. Sangat pas bersanding dengan tanahnya yang merah. Mungkin pemandangan yang lebih hijau akan aku dapatkan seandainya aku berkunjung di tengah musim hujan.

# Muhammadiyah & NU

Berbeda dengan tempat tinggalku dulu dan sekarang, di Lembor masyarakatnya tergolong homogen. Dalam arti mereka adalah penduduk asli yang hanya berafiliasi pada dua golongan. Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Kita bisa mengetahuinya sekali pandang. Pertama dari lembaga pendidikan yang terdapat di kampung itu. Hanya ada sekolah milik Muhammadiyah dan NU. Kedua dari tempat beribadah. Ada dua masjid besar yang jarak antara keduanya tidak lebih dari 500 meter. Mesjid pertama dominan warna biru, mesjid kedua dipoles dengan cat hijau.

Bangunan bekas SD Negeri Lembor
Tentang afiliasi golongan ini, Mak Roh, sapaan akrab ibu pemilik rumah tempat aku menumpang bercerita mengenai sekolah negeri yang kini tinggal puing. “Sekolah SD (negeri) di sini gak laku nak! Dulu ibu terakhir sekolah di sana keluarga dan tetangga banyak yang menegur. Untuk apa sekolah di SD tidak ada pelajaran agamanya. Kalau agamanya gak ada untuk apa pintar,” begitu ujar Mak Roh. Dan benar saja, bangunan bekas sekolah itu sudah tampak renta dan ditumbuhi berbagai ilalang dan pohon yang tingginya sudah melebihi bangunan itu sendiri. Sepertinya, pemerintah sudah tidak berniat untuk membuka kelas dan menawarkan kurikulum yang lebih ramah dengan penduduk setempat. 

#Bertahan Menjadi Petani di Tanah Gersang

Seperti kebanyakan desa di Indonesia, desa ini juga dihuni oleh masyarakat perantauan. Dalam kunjungan kali itu aku tidak merasakan suasana sepi seperti yang diceritakan kawan lantaran berkunjung di musim mudik. Sebagian besar dari mereka merantau sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara Asia terutama Malaysia dan akan pulang pada hari-hari khusus. Terutama hari raya dan minimal satu tahun sekali. Pak Masropin, suami Mak Roh adalah salah satunya. Tapi sudah sejak lama Pak Masropin memilih pulang dan mengabdikan hari-harinya sebagai petani yang mencoba menghidupi keluarga dari tanah gersang di kampungnya. “Bapak dulu kerja di perusahaan kontraktor,” kata kawan.

Pilihan menjadi petani di negeri ini selalu tidak mudah. Apalagi di tanah gersang dan kering desa desa itu. Di kampungku, tanahnya yang selalu basah saja petani masih merugi. Aku tidak bisa membayangkan perjuangan yang perlu dilewati petani di Lembor. Meskipun begitu, orang-orang seperti Pak Masropin tetap memilih bertahan. Mungkin Pak Masropin sudah menemukan arti “rumah” sebenarnya. Seberapapun tidak menjanjikannya, rumah tetap menawarkan ketentraman dalam batin seseorang. Dengan usia yang semakin merambat naik, ketentraman dan kehidupan sederhana adalah sumber kebahagiaan.


Pak Masropin saat menyiram tanaman palawijanya
Setiap hari, Pak Masropin bergegas ke ladang sebelum Matahari menampakkan semburatnya dan akan pulang menjelang Shalat Dzuhur. Di hari ketiga, aku mencoba mengikuti aktifitas Pak Masropin. Pagi itu, ditemani kawan kami berjalan kaki menuju ladang milik Pak Masropin yang cukup menguras keringat. Tidak heran kenapa Pak Masropin memilih mengendarai motor dibanding berjalan kaki. Sepanjang jalan, aku melihat ladang-ladang palawija yang terbengkalai. Tanaman tomat dan jagung semakin layu dan akan segera mati begitu kemarau memasuki masa pertengahan. Tapi di ladang milik Pak Masropin dan sekitarnya, tanaman palawija justru mulai tumbuh. Rupanya ladang milik Pak Masropin berada di bibir Lak. Waduk satu-satunya yang berada di Desa Lembor. Dengan datangnya Elnino, sudah bisa dipastikan waduk itu akan segera mengering. Matahari dan petani sekitar ladang akan berebutan air untuk kebutuhan masing-masing.

Aku menduga hanya petani dengan uang berlebih yang bisa bertahan di tengah kemarau dengan kondisi tanah seperti itu. Menurut keterangan kawan, ladang yang sedang digarap Pak Masropin adalah milik saudara yang disewanya sekitar 2 juta dalam setahun. Selain harus mengeluarkan biaya sewa, Pak Masropin juga harus mengeluarkan uang untuk Bahan Bakar Minyak dan mesian Genset yang berguna untuk mengangkat air dari waduk ke lahan garapannya. Sementara petani lain yang beruntung memilik tanah di situ tapi tidak memiliki mesin hanya mengandalkan ember untuk menyirami tanaman.

Lak (waduk) berada di area ladang dan sawah warga
Jika bagi petani Lak itu adalah harapan terakhir mempertahankan aktifitas bertaninya, maka bagi para remaja Lak itu merupakan ruang rekreasi alam. Walau tidak ada penataan khusus seperti di Waduk Sermo, Kulonprogo, remaja di desa tampak menikmati kehadiran oase di tengah sulitnya air di desa itu. Seperti pagi itu. Selain kami, Lak ramai dikunjungi remaja tanggung yang bergerombol dan tentu saja lengkap dengan kamera di telepon pintar yang setiap menit mereka arahkan ke diri mereka. Mengabadikan kebersamaan yang sepertinya akan segera berakhir. Mungkin mereka akan merantau. Bersekolah dan bekerja di tanah yang lebih menjanjikan. “Lak ini terhitung baru. Ini dibangun warga sendiri. Kayaknya tahun depan akan mulai diperluas lagi,” kata kawan. Walau sekilas tampak amat luas, Lak ini tentu saja belum cukup untuk mengairi berhektar-hektar ladang palawija milik warga. Dan tentu saja, selain memperluas, warga mulai harus memikirkan bagaimana mengangkat air menuju ladang yang lebih jauh dari Lak secara gotong royong. Tiba-tiba aku teringat tokoh Dalimunte dalam Novel Bidadari Surga karya Tere Liye.



# Buruh Tani Nyambi Sebagai Pemungut Daun Jati

Ibu Ina  
Dengan Lak yang selalu penuh air, orang-orang seperti Ibu Ina mungkin tidak perlu mencari sampingan lain. Seperti Pak Masropin, Ibu Ina juga sempat merantau di Negeri Jiran. Dalam pertemuan pagi berikutnya, Ibu Ina bercerita kepulangannya ke kampung sang suami bukan pilihan awal. Saat merantau sang suami sakit parah dan akhirnya meninggal. Kini, Ina dengan anak tunggalnya menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada pekerjaannya sebagai buruh tani. Menurut Ibu Ina, sehari kerja dia diupah Rp. 50.000 ribu. “Saya juga dapat jatah makan. Biasa khan kasihan nak, jadi dikirim,” kata Ibu Ina dengan logat melayu yang kental. Aku tidak tahu standarnya, tapi itu upah yang cukup besar jika Ibu Ina bisa terus memburuh sepanjang tahun. Namun, Ibu Ina dan sang pemilik tanah tetap harus takluk pada siklus alam. Dan tahun ini, Ibu Ina harus menanti hujan lebih lama. “Biasanya Oktober sudah kembali ke ladang,” tambahnya.

Di musim kemarau, Ibu Ina yang menghuni kantor bekas kepala sekolah SD itu memilih menjadi pemungut daun jati. Di Lembor daun jati memang primadona dan cukup menjanjikan. Ibu Ina mengumpulkan daun jati kering untuk dijual ke pengusaha ikan asap. Daun itu digunakan untuk melapisi kuali kecil tempat ikan diasapkan. “Biar aromanya lebih sedap. Kalau pakai daun yang lain tidak (seenak) seperti daun jati,” ujar kawan. Satu gulungan besar dihargai sekitar Rp. 25.000.

“Saya mengumpulkan daun jati itu dari kebun-kebun sini, sekitar rumah nak. Kebanyakan milik Perhutani. Ada juga milik warga di sini. Tapi kita tak boleh ambil daun yang masih di rantingnya. Hanya boleh memungut yang sudah jatuh. Itu nanti ada mandor keliling. Mandornya dari mana-mana,” ungkap Ina sambil menunjuk gulungan daun yang siap dijual. Ibu Ina masih berhasrat pergi ke Malaysia. Usianya yang memasuki kepala lima tidak membuat semangatnya surut. Hanya anak semata wayangnya yang menghentikan niat Ibu Ina. “Tak boleh sama anak saya. Nanti katanya kalau saya kenapa-kenapa di sana. Sakit, meninggal tidak ada keluarga,” tandas Ibu Ina.

# Gunung Sumber Mata Air

Hari itu, sorenya aku diajak mendaki gunung yang berada di sebelah timur kampung. Gunung yang kami daki bernama Gunung Tumpang. Gunung paling rendah dibandingkan lainnya. Sejak mendaki, aku tidak berharap pemandangan pohon cemara. Sebagai gunung batu dan kapur, sepanjang jalan hanya pohon jati dan ilalang yang menyapa kami sampai akhirnya tiba di puncak. Gunung-gunung itu boleh kelihatan gersang dan tidak menyenangkan untuk dikunjungi selain menikmati surya tenggelam. Tapi gunung-gunung itu menjadi tumpuan warga untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.

Keran berfungsi untuk membuka saluran air ke rumah warga
Sejak tiba di kampung itu, aku melihat selang silang melintang ke sana ke mari. Seperti ular yang panjang dan sedang bergerak pelan menuju rumah-rumah warga. Pangkal selang itu berada di sumur-sumur galian di kaki gunung atau tepatnya bukit bebatuan. Dalam satu lubang, ada lebih dari sepuluh selang menjuntai ke dasar sumur yang berisik oleh gemericik air. Air itu langsung mengalir dari perut gunung yang tak sekering kelihatannya. Satu selang dimiliki beberapa keluarga dan akan dialirkan secara bergiliran. 

Sumur sekaligus mata air
Mereka yang tidak bisa mengakses sumur mengandalkan air dari Sendang, mata air yang lagi-lagi hadir berkat gunung-gunung itu. “Dulu ada banyak Sendang, Kita masih bisa renang-renang. Sekarang sudah tinggal beberapa yang airnya masih bersih,” ujar kawan yang kemudian mengajak saya ke sumber mata air yang sudah tercemar. Airnya mulai menghitam. Menurutnya dulu area Sendang merupakan kebun liar yang langsung terhubung ke hutan. Sekarang, rumah mengelilingi area Sendang. Menyisakkan aroma kurang sedap yang menyeruak dari sumber mata air itu. “Sekarang yang punya uang banyak sudah mulai menggali sumur pake bor,” timpal kawan lainnya. Artinya, air di desa itu mulai diperlakukan secara individual. Padahal, budaya komunal dalam memperlakukan air tampak jelas dari adanya kamar mandi umum dan sumur yang dipenuhi selang di sudut desa. Bersama saling berbagi, bergiliran, dan meminimalisir penggunaan air sebisa mungkin.

Aku tidak bisa membayangkan jika suatu saat, nasib gunung ini berakhir seperti Pegunungan Kendeng Utara yang menjadi wilayah korporasi semen. Dalam kunjungan kala itu, aku tidak menemukan indikasi ke sana. Tapi warga tentu perlu menyadari kemungkinan ke sana mengingat wilayah Lamongan berada di wilayah utara yang sama dengan Pati, Blora, dan Rembang. Tiga kabupaten yang kini tengah berjuang mempertahankan alam dari kerakusan korporasi.

#Pasar Ramah Lingkungan

Penjelajahanku di Lembor berakhir di pasar desa. Bagiku, pasar mencerminkan banyak hal. denyut perekonimian dan budaya interaksi warga setempat. Pasar yang dimaksud warga di Lembor adalah bangunan beratap yang luasnya kurang lebih 20 meter persegi. Selama bulan ramadahan, pasar itu hanya pada siang hari jam 12: 30. Hari biasa pasar itu buka tepat setelah subuh dan akan berakhir jam 7. Ada jejak-jejak PNPM dalam bangunan pasar ini. Itu terlihat dari tugu di pojok utara pasar. Menurut kawan, dulu pasar itu tidak lebih dari lapak-lapak milik pedagang dengan lantai yang masih tanah dan tidak beratap. Setiap musim hujan, pasar itu akan sangat becek. Sekarang, pasar itu cukup rapih dan bersih untuk dikunjungi warga termasuk pengunjung sepertiku.

Kantong belanja
Seperti di pasar tradisional lainnya, ekonomi di pasar digerakkan oleh perempuan. Penjual dan pembeli 99 persennya perempuan. Hanya satu dua pedagang lelaki yang memilih berjualan produk sandang dibanding pangan. Menariknya di pasar Desa Lembor adalah penggunaan kantong plastik yang bisa di hitung jari. Hampir semua warga datang ke pasar dengan menenteng kantong belanja sendiri. Selain itu, produk yang dijual sebagian besar dibungkus memakai daun jati. Seperti nasi jagung dan berbagai produk ikan mentah atau matang. Di sini kantong plastik tidak begitu berguna. Untuk sayuran yang variasinya terbatas, mereka langsung memasukannya ke kantong belanja tanpa dibungkus plastik. Ini pelajaran menarik tentang berperilaku ramah lingkungan. Dan semua bermula dari budaya sederhana seperti yang melekat erat pada warga di desa terpencil ini. Bermula dari potensi desa dengan menggunakan daun jati yang lebih mudah melebur dengan tanah dan kemudian bertransformasi menjadi humus. Pupuk yang menumbuh calon pohon lainnya.

Pagi berikutnya, aku kembali melanjutkan perjalanan. Ransel kembali di punggung, sementara tas lainnya saya jinjing. Sepanjang perjalanan Tuban-Semarang-Bandung-Garut hari berikutnya, Pak Masropin dan Ibu Roh tak berhenti sms menanyakan kabar. Terimakasih untuk perjelajahan batin selama lima hari itu. Aku berhasil mengumpulkan puzzle berikutnya.           

--------------------------------------------------------------------- 
[1]  Ritual berdoa sebelum ruku’ pada raka’at kedua Shalat Subuh. Biasa dilakukan oleh masyarakat yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU)

Comments

  1. Hahhaah bagus bagus
    Baru arean timur dan barat kita blm masuk ke hutannya mid...
    Yuk neng lembor meneh^-^

    ReplyDelete

Post a Comment