Mengunjungi tempat asing adalah sebuah
penjelajahan tidak hanya fisik, tapi batin. Ada banyak pelajaran yang bisa kita
kumpulkan seperti pecahan puzzle.
Kita akan tahu apa artinya ketika kita berhasil merangkainya. Tidak perlu
sempurna, karena ini adalah penjelajahan batin. Selama udara masih kita pompa,
kita tidak mungkin akan berhenti…
Lamongan adalah tempat pertama yang aku pilih
untuk penjelajahan ini. Berada di ujung utara pulau Jawa, menempuh perjalanan ke
Lamongan dari Yogyakarta bukanlah perkara mudah. Butuh dua kali transit dan
tiga jenis kendaraan untuk bisa menjangkau Lamongan. Malam itu, perjalanan
dimulai dengan menggunakan bus rute Yogyakarta-Jombang. Kami memilih salah satu
armada bus yang menurut kawan paling aman dibanding armada lain. Nyatanya,
sepanjang jalan mataku tidak berani terlelap akibat “kegagahan” sopir yang kerap
menyalip di beberapa tikungan dengan kecepatan aduhai. Kata kawan, “ini belum
seberapa dibandingkan yang lain”. Aku tidak berani membayangkan diriku
menumpang armada bus lain.
Perjalanan dengan bus berakhir di Jombang
sekitar jam satu malam. Sambil menanti bus kecil sejenis Elf (yang beroperasi
jam 5 pagi), kami transit di salah satu masjid. Di Jombang aku bernostalgia
dengan masa lalu. Setelah hampir delapan tahun absen, subuh itu aku kembali
melakukan Qunut[i].
Rasanya seperti berada di tanah kelahiranku yang pagi itu diam-diam aku
rindukan. Dari Jombang kami segera menumpang bus pertama menuju Tuban dan
diteruskan angkot menuju Lamongan. Perjalanan melelahkan itu jadi menyenangkan
ketika angkot menggelinding di atas jalan yang merupakan bibir pantai utara.
Sepanjang jalan, mata saya dihibur pemandangan laut yang seolah tiada ujung.
Laut yang tenang tak seperti di selatan. Angin membelai wajah kami dan
mengirimkan aroma garam yang menggelitik hidung.
15 Juli 2015, 10:00 akhirnya aku tiba di
tanah merah desa itu. Lembor adalah sebuah desa di Kecamatan Brondong Lamongan.
Perkampungan desa itu berada di kaki pegunungan kapur dan batu. Gersang dan
panas. Perkebunan jati dan tanaman palawija seperti jagung menjadi pemandangan
khas sepanjang jalan menuju desa itu. Siang permulaan kemarau itu, tanaman
palawija di Lembor mengering dan kerontang. Sangat pas bersanding dengan
tanahnya yang merah. Mungkin pemandangan yang lebih hijau akan aku dapatkan
seandainya aku berkunjung di tengah musim hujan.
#
Muhammadiyah & NU
Berbeda dengan tempat tinggalku dulu dan
sekarang, di Lembor masyarakatnya tergolong homogen. Dalam arti mereka adalah
penduduk asli yang hanya berafiliasi pada dua golongan. Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama. Kita bisa mengetahuinya sekali pandang. Pertama dari lembaga
pendidikan yang terdapat di kampung itu. Hanya ada sekolah milik Muhammadiyah
dan NU. Kedua dari tempat beribadah. Ada dua masjid besar yang jarak antara
keduanya tidak lebih dari 500 meter. Mesjid pertama dominan warna biru, mesjid
kedua dipoles dengan cat hijau.
Bangunan bekas SD Negeri Lembor |
Tentang afiliasi golongan ini, Mak Roh,
sapaan akrab ibu pemilik rumah tempat aku menumpang bercerita mengenai sekolah
negeri yang kini tinggal puing. “Sekolah SD (negeri) di sini gak laku nak! Dulu
ibu terakhir sekolah di sana keluarga dan tetangga banyak yang menegur. Untuk
apa sekolah di SD tidak ada pelajaran agamanya. Kalau agamanya gak ada untuk
apa pintar,” begitu ujar Mak Roh. Dan benar saja, bangunan bekas sekolah itu
sudah tampak renta dan ditumbuhi berbagai ilalang dan pohon yang tingginya
sudah melebihi bangunan itu sendiri. Sepertinya, pemerintah sudah tidak berniat
untuk membuka kelas dan menawarkan kurikulum yang lebih ramah dengan penduduk
setempat.
#Bertahan
Menjadi Petani di Tanah Gersang
Seperti kebanyakan desa di Indonesia, desa
ini juga dihuni oleh masyarakat perantauan. Dalam kunjungan kali itu aku tidak
merasakan suasana sepi seperti yang diceritakan kawan lantaran berkunjung di
musim mudik. Sebagian besar dari mereka merantau sebagai Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) di berbagai negara Asia terutama Malaysia dan akan pulang pada hari-hari
khusus. Terutama hari raya dan minimal satu tahun sekali. Pak Masropin, suami
Mak Roh adalah salah satunya. Tapi sudah sejak lama Pak Masropin memilih pulang
dan mengabdikan hari-harinya sebagai petani yang mencoba menghidupi keluarga
dari tanah gersang di kampungnya. “Bapak dulu kerja di perusahaan kontraktor,”
kata kawan.
Pilihan menjadi petani di negeri ini selalu tidak
mudah. Apalagi di tanah gersang dan kering desa desa itu. Di kampungku, tanahnya
yang selalu basah saja petani masih merugi. Aku tidak bisa membayangkan
perjuangan yang perlu dilewati petani di Lembor. Meskipun begitu, orang-orang
seperti Pak Masropin tetap memilih bertahan. Mungkin Pak Masropin sudah
menemukan arti “rumah” sebenarnya. Seberapapun tidak menjanjikannya, rumah
tetap menawarkan ketentraman dalam batin seseorang. Dengan usia yang semakin
merambat naik, ketentraman dan kehidupan sederhana adalah sumber kebahagiaan.
Pak Masropin saat menyiram tanaman palawijanya |
Setiap hari, Pak Masropin bergegas ke ladang
sebelum Matahari menampakkan semburatnya dan akan pulang menjelang Shalat
Dzuhur. Di hari ketiga, aku mencoba mengikuti aktifitas Pak Masropin. Pagi itu,
ditemani kawan kami berjalan kaki menuju ladang milik Pak Masropin yang cukup
menguras keringat. Tidak heran kenapa Pak Masropin memilih mengendarai motor
dibanding berjalan kaki. Sepanjang jalan, aku melihat ladang-ladang palawija
yang terbengkalai. Tanaman tomat dan jagung semakin layu dan akan segera mati
begitu kemarau memasuki masa pertengahan. Tapi di ladang milik Pak Masropin dan
sekitarnya, tanaman palawija justru mulai tumbuh. Rupanya ladang milik Pak
Masropin berada di bibir Lak. Waduk
satu-satunya yang berada di Desa Lembor. Dengan datangnya Elnino, sudah bisa
dipastikan waduk itu akan segera mengering. Matahari dan petani sekitar ladang
akan berebutan air untuk kebutuhan masing-masing.
Aku menduga hanya petani dengan uang berlebih
yang bisa bertahan di tengah kemarau dengan kondisi tanah seperti itu. Menurut
keterangan kawan, ladang yang sedang digarap Pak Masropin adalah milik saudara
yang disewanya sekitar 2 juta dalam setahun. Selain harus mengeluarkan biaya
sewa, Pak Masropin juga harus mengeluarkan uang untuk Bahan Bakar Minyak dan
mesian Genset yang berguna untuk mengangkat air dari waduk ke lahan garapannya.
Sementara petani lain yang beruntung memilik tanah di situ tapi tidak memiliki
mesin hanya mengandalkan ember untuk menyirami tanaman.
Lak (waduk) berada di area ladang dan sawah warga |
Jika bagi petani Lak itu adalah harapan terakhir mempertahankan aktifitas
bertaninya, maka bagi para remaja Lak
itu merupakan ruang rekreasi alam. Walau tidak ada penataan khusus seperti di Waduk
Sermo, Kulonprogo, remaja di desa tampak menikmati kehadiran oase di tengah
sulitnya air di desa itu. Seperti pagi itu. Selain kami, Lak ramai dikunjungi remaja tanggung yang bergerombol dan tentu
saja lengkap dengan kamera di telepon pintar yang setiap menit mereka arahkan
ke diri mereka. Mengabadikan kebersamaan yang sepertinya akan segera berakhir.
Mungkin mereka akan merantau. Bersekolah dan bekerja di tanah yang lebih
menjanjikan. “Lak ini terhitung baru.
Ini dibangun warga sendiri. Kayaknya tahun depan akan mulai diperluas lagi,”
kata kawan. Walau sekilas tampak amat luas, Lak
ini tentu saja belum cukup untuk mengairi berhektar-hektar ladang palawija
milik warga. Dan tentu saja, selain memperluas, warga mulai harus memikirkan
bagaimana mengangkat air menuju ladang yang lebih jauh dari Lak secara gotong royong. Tiba-tiba aku teringat
tokoh Dalimunte dalam Novel Bidadari Surga karya Tere Liye.
# Buruh Tani
Nyambi Sebagai Pemungut Daun Jati
Ibu Ina |
Dengan Lak
yang selalu penuh air, orang-orang seperti Ibu Ina mungkin tidak perlu mencari
sampingan lain. Seperti Pak Masropin, Ibu Ina juga sempat merantau di Negeri
Jiran. Dalam pertemuan pagi berikutnya, Ibu Ina bercerita kepulangannya ke
kampung sang suami bukan pilihan awal. Saat merantau sang suami sakit parah dan
akhirnya meninggal. Kini, Ina dengan anak tunggalnya menggantungkan kebutuhan
sehari-hari pada pekerjaannya sebagai buruh tani. Menurut Ibu Ina, sehari kerja
dia diupah Rp. 50.000 ribu. “Saya juga dapat jatah makan. Biasa khan kasihan
nak, jadi dikirim,” kata Ibu Ina dengan logat melayu yang kental. Aku tidak tahu
standarnya, tapi itu upah yang cukup besar jika Ibu Ina bisa terus memburuh
sepanjang tahun. Namun, Ibu Ina dan sang pemilik tanah tetap harus takluk pada
siklus alam. Dan tahun ini, Ibu Ina harus menanti hujan lebih lama. “Biasanya
Oktober sudah kembali ke ladang,” tambahnya.
Di musim kemarau, Ibu Ina yang menghuni
kantor bekas kepala sekolah SD itu memilih menjadi pemungut daun jati. Di
Lembor daun jati memang primadona dan cukup menjanjikan. Ibu Ina mengumpulkan
daun jati kering untuk dijual ke pengusaha ikan asap. Daun itu digunakan untuk
melapisi kuali kecil tempat ikan diasapkan. “Biar aromanya lebih sedap. Kalau
pakai daun yang lain tidak (seenak) seperti daun jati,” ujar kawan. Satu
gulungan besar dihargai sekitar Rp. 25.000.
“Saya mengumpulkan daun jati itu dari
kebun-kebun sini, sekitar rumah nak. Kebanyakan milik Perhutani. Ada juga milik
warga di sini. Tapi kita tak boleh ambil daun yang masih di rantingnya. Hanya boleh
memungut yang sudah jatuh. Itu nanti ada mandor keliling. Mandornya dari
mana-mana,” ungkap Ina sambil menunjuk gulungan daun yang siap dijual. Ibu Ina
masih berhasrat pergi ke Malaysia. Usianya yang memasuki kepala lima tidak
membuat semangatnya surut. Hanya anak semata wayangnya yang menghentikan niat
Ibu Ina. “Tak boleh sama anak saya. Nanti katanya kalau saya kenapa-kenapa di
sana. Sakit, meninggal tidak ada keluarga,” tandas Ibu Ina.
# Gunung
Sumber Mata Air
Hari itu, sorenya aku diajak mendaki gunung
yang berada di sebelah timur kampung. Gunung yang kami daki bernama Gunung
Tumpang. Gunung paling rendah dibandingkan lainnya. Sejak mendaki, aku tidak
berharap pemandangan pohon cemara. Sebagai gunung batu dan kapur, sepanjang
jalan hanya pohon jati dan ilalang yang menyapa kami sampai akhirnya tiba di
puncak. Gunung-gunung itu boleh kelihatan gersang dan tidak menyenangkan untuk
dikunjungi selain menikmati surya tenggelam. Tapi gunung-gunung itu menjadi
tumpuan warga untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Keran berfungsi untuk membuka saluran air ke rumah warga |
Sejak tiba di kampung itu, aku melihat selang
silang melintang ke sana ke mari. Seperti ular yang panjang dan sedang bergerak
pelan menuju rumah-rumah warga. Pangkal selang itu berada di sumur-sumur galian
di kaki gunung atau tepatnya bukit bebatuan. Dalam satu lubang, ada lebih dari
sepuluh selang menjuntai ke dasar sumur yang berisik oleh gemericik air. Air
itu langsung mengalir dari perut gunung yang tak sekering kelihatannya. Satu
selang dimiliki beberapa keluarga dan akan dialirkan secara bergiliran.
Sumur sekaligus mata air |
Mereka yang tidak bisa mengakses sumur
mengandalkan air dari Sendang, mata
air yang lagi-lagi hadir berkat gunung-gunung itu. “Dulu ada banyak Sendang,
Kita masih bisa renang-renang. Sekarang sudah tinggal beberapa yang airnya
masih bersih,” ujar kawan yang kemudian mengajak saya ke sumber mata air yang
sudah tercemar. Airnya mulai menghitam. Menurutnya dulu area Sendang merupakan kebun liar yang
langsung terhubung ke hutan. Sekarang, rumah mengelilingi area Sendang. Menyisakkan aroma kurang sedap
yang menyeruak dari sumber mata air itu. “Sekarang yang punya uang banyak sudah
mulai menggali sumur pake bor,” timpal kawan lainnya. Artinya, air di desa itu
mulai diperlakukan secara individual. Padahal, budaya komunal dalam memperlakukan
air tampak jelas dari adanya kamar mandi umum dan sumur yang dipenuhi selang di
sudut desa. Bersama saling berbagi, bergiliran, dan meminimalisir penggunaan
air sebisa mungkin.
Aku tidak bisa membayangkan jika suatu saat,
nasib gunung ini berakhir seperti Pegunungan Kendeng Utara yang menjadi wilayah
korporasi semen. Dalam kunjungan kala itu, aku tidak menemukan indikasi ke
sana. Tapi warga tentu perlu menyadari kemungkinan ke sana mengingat wilayah Lamongan
berada di wilayah utara yang sama dengan Pati, Blora, dan Rembang. Tiga
kabupaten yang kini tengah berjuang mempertahankan alam dari kerakusan korporasi.
#Pasar Ramah
Lingkungan
Penjelajahanku di Lembor berakhir di pasar
desa. Bagiku, pasar mencerminkan banyak hal. denyut perekonimian dan budaya
interaksi warga setempat. Pasar yang dimaksud warga di Lembor adalah bangunan
beratap yang luasnya kurang lebih 20 meter persegi. Selama bulan ramadahan,
pasar itu hanya pada siang hari jam 12: 30. Hari biasa pasar itu buka tepat
setelah subuh dan akan berakhir jam 7. Ada jejak-jejak PNPM dalam bangunan
pasar ini. Itu terlihat dari tugu di pojok utara pasar. Menurut kawan, dulu
pasar itu tidak lebih dari lapak-lapak milik pedagang dengan lantai yang masih
tanah dan tidak beratap. Setiap musim hujan, pasar itu akan sangat becek.
Sekarang, pasar itu cukup rapih dan bersih untuk dikunjungi warga termasuk
pengunjung sepertiku.
Kantong belanja |
Seperti di pasar tradisional lainnya, ekonomi
di pasar digerakkan oleh perempuan. Penjual dan pembeli 99 persennya perempuan.
Hanya satu dua pedagang lelaki yang memilih berjualan produk sandang dibanding
pangan. Menariknya di pasar Desa Lembor adalah penggunaan kantong plastik yang bisa
di hitung jari. Hampir semua warga datang ke pasar dengan menenteng kantong
belanja sendiri. Selain itu, produk yang dijual sebagian besar dibungkus
memakai daun jati. Seperti nasi jagung dan berbagai produk ikan mentah atau
matang. Di sini kantong plastik tidak begitu berguna. Untuk sayuran yang
variasinya terbatas, mereka langsung memasukannya ke kantong belanja tanpa
dibungkus plastik. Ini pelajaran menarik tentang berperilaku ramah lingkungan. Dan
semua bermula dari budaya sederhana seperti yang melekat erat pada warga di
desa terpencil ini. Bermula dari potensi desa dengan menggunakan daun jati yang
lebih mudah melebur dengan tanah dan kemudian bertransformasi menjadi humus.
Pupuk yang menumbuh calon pohon lainnya.
Pagi berikutnya, aku kembali melanjutkan
perjalanan. Ransel kembali di punggung, sementara tas lainnya saya jinjing. Sepanjang
perjalanan Tuban-Semarang-Bandung-Garut hari berikutnya, Pak Masropin dan Ibu
Roh tak berhenti sms menanyakan kabar. Terimakasih untuk perjelajahan batin
selama lima hari itu. Aku berhasil mengumpulkan puzzle berikutnya.
---------------------------------------------------------------------
[1] Ritual
berdoa sebelum ruku’ pada raka’at kedua Shalat Subuh. Biasa dilakukan oleh
masyarakat yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU)
Hahhaah bagus bagus
ReplyDeleteBaru arean timur dan barat kita blm masuk ke hutannya mid...
Yuk neng lembor meneh^-^