Pagi itu (27/09), saya baru tiba di Solo ketika mengetahui
berita kematian seorang petani di Lumajang. Membaca kronologi beritanya, ulu
hati saya seperti tertarik ke dalam membuat saya meringis. Jantung pun memompa
darah di luar batas normal, dag dig dug disertai emosi yang tiba-tiba meluap.
Salim Kancil dijemput paksa, diseret ke kantor desa. Di hadapan sekelompok
bocah, dia diperlakukan lebih kejam dari binatang oleh sekelompok orang.
Sekelompok!
Dua hari berturut-turut setelahnya, saya kesulitan
memancing kantuk. Ada kegelisahan yang membuat mata terjaga sampai tengah malam.
Mungkin karena rasa tidak percaya dengan cara Salim Kancil meregang nyawa.
Mungkin juga karena tidak habis pikir dengan perilaku manusia yang bisa sangat
keji. Yang jelas, saya butuh sesuatu untuk meredam kegelisahan saya.
Akhirnya, tadi pagi saya putuskan menelusuri area
persawahan di Daerah Balecatur (Gamping, Sleman). Saya bertemu dengan beberapa
petani yang duduk menghadap sawah. Semuanya pria dan rata-rata sepuh. Di
hadapan mereka, cangkul teronggok begitu saja. Sarono (78) adalah salah satu
petani yang bersedia ngobrol ngetan
ngulon dengan saya.
Sarono bukan buruh tani. Dia pemilik beberapa petak sawah di
kawasan pertanian yang dilindungi pemerintah, seperti tertera dalam plang
(papan nama) tidak jauh dari sawah Sarono. Sarono menggarap sawah miliknya
sendirian. Anak semata wayangnya sedang bekerja dan menempuh pendidikan di Jawa
Timur. Usianya yang sudah tak muda lagi hanya memungkinkan Sarono untuk
mengerjakan bagian ringan dari penggarapan sawah. Seperti meratakan tanah
sebelum ditanami bibit padi. Sisanya Sarono serahkan kepada buruh.
Biaya membayar buruh tidaklah murah. Sarono mencoba
melakukan hitung-hitungan kasar dalam membayar buruh. Satu kali penanaman,
Sarono membayar tenaga bajak dan tandur. Biaya membajak sawah seluas 2000
meter, Sarono membayar tenaga bajak sebesar Rp 200.000. Biaya yang sama harus
dikeluarkan Sarono untuk membayar jasa tandur.
Menurutnya itu belum dikalkulasikan dengan uang untuk penganan yang selalu dia sediakan untuk buruhnya. Tentu saja, tenaga pribadinya tidak masuk hitungan seperti meratakan tanah dan mengaliri air. Petani lain yang sedari tadi sibuk mencangkul menimpali dirinya sudah menghabiskan Rp 1000.000 untuk mengupah buruh.
Padahal, beberapa hari sebelumnya, ibu saya bercerita kalau beras di rumah masih menghuni pabrik. Harga pasaran di Jakarta yang terus anjlok membuat ibu segan menjualnya ke pemborong. Jadi, saya bisa membayangkan, berapa keuntungan yang bisa didapat para pemilik tanah dan rantai pertanian di sekitarnya.
"Jauh mbk kalo dibandingkan (penghasilan menjadi buruh) pas proyek," kata Sarono membandingkan keuntungan hasil panen dengan upah kerja bangunan yang pernah digelutinya.
Menurutnya itu belum dikalkulasikan dengan uang untuk penganan yang selalu dia sediakan untuk buruhnya. Tentu saja, tenaga pribadinya tidak masuk hitungan seperti meratakan tanah dan mengaliri air. Petani lain yang sedari tadi sibuk mencangkul menimpali dirinya sudah menghabiskan Rp 1000.000 untuk mengupah buruh.
Padahal, beberapa hari sebelumnya, ibu saya bercerita kalau beras di rumah masih menghuni pabrik. Harga pasaran di Jakarta yang terus anjlok membuat ibu segan menjualnya ke pemborong. Jadi, saya bisa membayangkan, berapa keuntungan yang bisa didapat para pemilik tanah dan rantai pertanian di sekitarnya.
"Jauh mbk kalo dibandingkan (penghasilan menjadi buruh) pas proyek," kata Sarono membandingkan keuntungan hasil panen dengan upah kerja bangunan yang pernah digelutinya.
Area persawahan di Balecatur, Gamping |
“Ntahlah, lihat nanti,” kata Sarono begitu saya tanya
rencana ke depan. Sarono tidak tahu siapa yang akan melanjutkan profesinya
sebagai petani.
“Anak muda sekarang tidak mau mengerjakan pekerjaan
orangtua. Ke sawah, masuk lumpur kakinya sudah gata-gatal. Kebanyakan maunya
pekerjaan yang mudah, ringan, dan uangnya banyak. Belajarnya juga dari Tivi,”
tambah Sarono.
Saya hanya bisa tersenyum kecut mendengar jawabannya.
Tersindir dan malu atas kebenaran ucapan pria sebatang kara itu. Bagaimanapun,
Sarono kekeuh akan mempertahankan tanahnya. Menjawab pertanyaan saya mengenai
kemungkinan tanahnya dijual ke pihak lain.
“Sawah ini tanahnya ya untuk sawah, ditanami. Bukan
untuk yang lain,” kata Sarono. Matanya tertuju pada seorang buruh yang tengah
membajak sawahnya.
Jawaban itu mengingatkan saya pada plang di sudut
jalan. Di plang itu tertera sebaris tulisan Kawasan Budidaya Pertanian, Pertahankan Demi Anak Cucuk Kita!!.
Disampingnya, wajah Sultan HB X tampak gagah dengan tangan yang sedang menunjuk.
Sejauh mana kesungguhan pemerintah setempat melindungi area
persawahan yang dikarunia air melimpah itu? saya tidak tahu. Apalagi, 15 menit perjalanan dari situ, pembangunan masif sedang terjadi sebagai dampak hadirnya lembaga pendidikan. Saya kembali mengingat Salim Kancil. Wahai Salim, sejauh ini bantuan yang bisa saya tawarkan tak lebih dari membubuhkan kisah kaummu. Seperti perjuangan Sarono.
Plang milik Dinas pengendalian Pertanahan Daerah Sleman |
Tiba-tiba sekelompok Kuntul terbang lalu hinggap di
tanah yang sedang dibajak. Bulu putihnya sangat kontras dengan lumpur hitam
sawah. Mesin bajak yang berputar dan berderu tidak membuat Kuntul-Kuntul jengah
atau takut. Mereka seperti sedang menyaksikan perjuangan petani yang tak lelah
menggarap tanah. Meskipun semakin renta tanpa ada regenerasi selain beberapa
sarjana pertanian.
“Nanti kalau sudah bisa Tandur, saya boleh main ke
sini lagi ya pak?,”ujar saya setelah terbuyar dari pemandangan Kuntul yang
menghipnotis itu.
“Oh boleh sekali mbk. Nanti sekitar empat hari lagi.
Ini setelah bajak masih harus diratakan. Baru setelah itu bisa tandur,” kata
Sarono.
Obrolan
itu usai ketika Sarono pamit hendak membelikan cemilan, makanan, dan minuman
untuk buruhnya. Saya lalu menekan gas, pulang menyusuri jalan yang sama ketika
saya datang. Meninggalkan kegelisahan saya menguap bersama udara pagi ini.
Terimakasih Pak Sarono.
Comments
Post a Comment