DROWNING I : Perjalanan Peter ke Bulan

PRAKATA

"Drowning" karya Gerhard Durlacher adalah salah satu buku yang saya beli saat Perpustakaan Karta Pustaka memutuskan untuk berhenti operasi akhir tahun 2014 lalu. Buku ini diterjemahkan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Inggris oleh Susan Masotty. Dan karena desain buku yang rada tipis dengan cetakan font berukuran besar, saya putuskan (dengan sukacita) buku ini menjadi buku perdana untuk melatih kemampuan interpretasi saya dari bahasa asing ke Bahasa Indonesia. 

"Perjalanan Peter ke Bulan" adalah sub judul pertama dari buku "Drowning". Buku ini mengambil latar kekuasaan Nazi di Jerman dan kisah perjalanan Bocah Yahudi bernama Alec dalam rejim itu. Saya maklum jika siapapun yang berkunjung dan membaca interpretasi ini akan mengalami perasaan aneh. Seperti menemukan butir kerikil saat mengunyah nasi, atau seperti berkendara di jalanan berlubang. Rasanya pasti ingin segera menyelesaikan kedua aktifitas itu. Tapi saya sangat mengapresiasi setiap masukan (sebenernya berharap habis). Jadi, seperti kata Mbk Syahrini, feel free :)   




Model relawan yang bersedia pegang "Drowning" (Dian A. Pangestu)  

Kamar pas di toko pakaian rajut Kindler beraroma baju karet tua dan bau apak yang akrab seperti kamar nenek. Peniti yang tergeletak di atas lantai kayu menusuk tumitku saat aku tertatih-tatih, berdiri satu kaki dan mencoba memasukkan kaki lainnya ke dalam setelan kostum pelaut berwarna biru.

Pemilik toko memperhatikan gerakan canggungku dengan mata tajamnya yang menyipit, mulutnya ditekan membentuk garis tipis. Ibuku yang terlihat cantik dan elegan dalam mantel kulit kudanya berdiri di belakang pemilik toko , sedikit rikuh dan dengan sorot mata setuju. Di rumah, aku dengar keluargaku mengatakan pemilik toko itu seorang musuh, tapi dia mau menjual barang dagangannya pada warga Yahudi. Celana panjang yang aku kenakan rasanya tidak nyaman dan menimbulkan gatal pada lututku, ini mengingatkanku pada kostum nettle[1] yang dikenakan Eliza Wove saat menjadi Putri Angsa dalam Dongeng Andersen. Rasanya pasti seperti ini.

Cermin di hadapanku memantulkan tatapan geramku karena topi pelaut yang akan menimbulkan banyak masalah karena berbagai hal itu tidak ditakdirkan jadi milikku. Sebagai gantinya, aku mendapatkan topi kain berbahan wol yang bisa digunakan sebagai tutup kepala pada hari-hari suci. Aku akan memilih melakukan apapun yang diminta agar aku bisa memiliki baju Lederhosen[2] berkancing tulang yang indah seperti pakaian anak-anak lelaki di sekitar rumahku. Tapi bahkan, pemikiran seperti itu tidak bisa aku utarakan.

Aku merasa pasrah dan kesal saat lipatan celana baruku menggosok bagian dalam pahaku yang membeku. Tapi ketidaknyamanan itu segera terlupakan oleh gagasan beberapa hari ke depan aku akan pergi dengan orangtuaku, menyaksikan pertunjukan natal tentang “Perjalanan Peter ke Bulan” di teater besar.                        
    
Di antara kepingan salju tipis yang menimbulkan kabut, dengan lampu jalanan bersinar seperti bulan purnama, kami bertiga berjalan melewati jendela pertokoan dan rumah-rumah. Cahaya dari pohon natal dan rangkaian bunga musim Advent yang tidak kita miliki di rumah terlihat indah dari gorden yang setengah terbuka. Ibuku berusaha menaruh simpati untukku sementara ayahku menolak dengan keras saat aku meminta pohon cemara. Bagaimanapun, kami memiliki perayaan Hanukkah[3].

Ayah berjalan beberapa langkah di depan kami, badannya menjulang tinggi dalam balutan mantel tebal dan topi hitam kaku yang melingkar, sebuah topi Eden. Dia berjalan menggunakan sebatang tongkat dengan payung tersembunyi di bagiannya. Tongkat itu tidak pernah dia gunakan untuk menopang tubuhnya saat berjalan; justru, tongkat itu dia pakai layaknya telunjuk tambahan untuk menunjuk seseorang atau sesuatu, dan melambaikannya ke udara saat menyapa seseorang yang berpapasan dengannya.

Di sudut Leopold Square, Paman Rudi yang tersenyum bergabung dengan kami, dia teman masa kecil ayah. Paman Rudi gemar sekali tertawa dan beberapa kali mampu membuat bibir ayah yang kaku menjadi lembut. Dari tempat kami berdiri, aku bisa melihat jandela toko Paman Rudi yang bercahaya dengan ragam mainan, peralatan dapur, dan barang pecah belah yang terpajang. Aku menghargai pistol mainan pemberian Paman Rudi baru-baru ini, sayangnya aku kehilangan kotak mainanku yang tidak mungkin diganti lagi.

Kami lalu berjalan mengarah ke sebuah Spa yang aku ketahui pada suatu minggu pagi berkabut ketika  kami berjalan menuju ruang pompa, tempat orang-orang dewasa menghirup air berbau menyengat. Lalu kami melewati deretan mural mengerikan dengan gambar ksatria berlapis baja, naga, kuda-kuda yang mendengus, dan ekspressi ketakutan para gadis yang membuatku merinding.

Di samping kiri Spa, lampu jalanan depan teater bersinar menembus pepohonan gundul di Taman Lichtentaler Alle, terlihat seperti kumpulan balon berwarna putih susu. Selama aku melakukan perjalanan di musim panas dan musim gugur bersama ibuku dan Senta, pengasuh kulit hitam Jermanku, aku tidak pernah menduga bangunan teater pink itu bisa berubah menjadi istana buku dongeng di malam hari.

Paman Rudi tiba-tiba mempercepat langkahnya, berlari mendahului kami, celananya berkelepak saat bergegas menuju dua manusia salju berukuran besar yang mengkilat oleh pantulah cahaya dari teater. Seorang lelaki kurus, perempuan gemuk dan di antara keduanya seekor Anjing Borzoi yang tinggi tapi ramping dengan mata seperti batu bara.

Anjing itu memudahkanku mengenali kedua sosok manusia salju: bibiku dan tunangannya, seorang aktor yang gemar menggunakan Monocle[4], kerah berbulu, dan sepatu lancip. Pengemudi kereta yang setiap malam membawa mereka ke teater membantu mengabadikan tubuh mereka dalam salju. Mungkin mereka suka melakukannya, atau seperti dugaan ayahku, mereka melakukannya karena uang tip yang banyak mereka terima.

Warna merah muda dan putih susu bagian depan teater, taburan lampu di balkon, pahatan sosok-sosok di bawah talang : segalanya terasa besar, lebih indah, lebih mengesankan dibanding hari-hari biasa.  Cahaya dari deretan jendela yang melengkung tampak gemerlapan. Tiga pintu masuk di bagian tengah bangunan terbuka lebar, dan karpet merah menyambut kami di kaki tangga batu.

Segalanya di sekelilingku bak negeri dongeng. Deretan kursi merah tua tak berujung, lantai miring yang halus, langit-langit biru pucat yang dihiasi kerubin kemerahan, beragam jenis tempat lilin bercabang menggantung di dinding, topeng teater dan terompet berbentuk bulat, berlapir-lapis balkon yang ditata berbentuk cincin peri, warna merah yang mengkilat, tirai yang bergelombang : segalanya terlihat seperti istana raja di mana aku, si kecil Mook sedang terbang menggunakan sepatu ajaib.

Tidak jauh dari tirai, aku mulai berjalan terseret di antara orangtuaku menuju bagian tengah deretan kursi dan tenggelam dalam kemewahan merah kursinya. Di belakangku. dua gadis pirang berkepang tertawa mengikik. Aku sama sekali tidak berani menoleh kepada mereka.

Saat lampu meredup, keriuhan langsung berhenti mengikuti aba-aba “shhh” dari para orangtua. Suasana penuh harap cemas melayang-layang di ruangan teater sampai tirai di ujung kanan mulai terbuka, memperlihatkan kereta salju berlonceng dan rusa salju imitasi terbang melayang di panggung. Seorang lelaki bungkuk kecil dengan janggut panjang, mengenakan topi bulu dan jubah coklat melangkah keluar dari kereta salju. Di punggungnya menggantung tas kain guni yang menonjol yang diletakannya di tengah panggung seraya menggeram. Bisikan penuh harap mulai terdengar dari setiap deretan kursi : “Santa Claus, lihat, itu Santa Claus”. Bukannya sosok dalam dongeng yang aku harapkan, seperti yang selalu orangtuaku bacakan menjelang tidur dengan melodi yang aku tahu sebagai pengantar tidurku, aku justru melihat Santa Claus dengan bata birch[5] di satu tangannya dan sebuah karung untuk mengangkut anak nakal di tangan lainnya, dan dia memiliki sorot mata yang membuatku takut.

Dia berbicara kepada kami dari tempatnya yang tinggi dengan cahaya terpusat pada dirinya, tapi kata-katanya sama sekali tidak aku dengar. Kemudian, dia memanggil nama atau memberi isyarat pada anak-anak untuk menghampirinya. Anak-anak naik ke panggung, sebagian dari mereka menangis sementara sebagian lainnya datang dengan berani. Dengan suaranya yang dalam, dia bertanya pada setiap anak apakah tahun ini mereka berbuat buruk. Dia meletakan batang kayu birch dan setelah anak lelaki atau perempuan menyanyikan lagu untuknya atau membacakan puisi, dia akan memasukan tangannya ke dalam tas lalu mengeluarkan roti jahe dan Marzipan[6].

Jantungku nyaris berhenti berdetak ketika mendengar namaku dipanggil. Dengan ekspresi berpijar dan berurai air mata, aku berusaha secara sia-sia menahan diri agar tidak menjerit. Godaan roti jahe dan kata-kata meyakinkan dari ibuku tidak berhasil mengusir rasa mual dari perutku. Sejurus kemudian, aku mendengar suara cekikikan di belakangku dan kata-kata “Si celana penakut” yang membuatku secara tiba—tiba mendorong tubuhku berdiri melangkah menuju lorong.

Tangga di panggung lebih tinggi daripada yang aku kira, ketakutanku pada Santa Claus hilang seketika ketika aku melihat jurang tempat pertunjukan orkestra. Dilihat dari dekat, Santa Claus bahkan jauh lebih tinggi. Dia memberi isyarat dengan ramah. Dengan enggan aku berjalan di atas lantai kayu dan berdiri di sampingnya. Aku tidak berani melihat wajahnya. Aku menjawab pertanyaannya mengenai perilakuku dan perbuatan burukku dengan bisikan parau.

Sungguh, aku tidak bisa mengatakan padanya khan tentang kejahilanku di Kedai Schweinfurt di mana, kebosanan dan kemarahanku karena percakapan panjang antara bibiku dengan pemilik kedai memotivasiku mengambil potongan coklat dan ceri kue Black Forest raksasa lalu memasukannya pada mulutku?

Apakah aku akan menyanyikan lagu untuknya? Atau aku membacakan puisi? Tenggorokanku rasanya terkunci rapat, kepalaku terasa seperti komedi putar, dia lalu menggumamkan bait pertama lagu Little Bird yang terkenal. Aku mencoba bernyanyi tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Suara-suara berisik kemudian muncul dari penonton. Dia mencondongkan badannya dan menawarkanku telinganya agar aku berbisik.

Aku mengenal telinga itu dan rambut yang berada di sekitarnya, dan ketika aku memandang matanya lebih dekat, aku tahu dugaanku benar. Rasa takutku segera mencair; aku bisa memeluknya. Mulutku tiba-tiba terbuka lalu aku berteriak gembira: “Kamu bukan Santa Claus, kamu Paman Herbert.”

Aku melihatnya mulai tertawa dengan kedua bibir terkatup rapat saat berdesis dan suara tawa pecahpun terdengar dari bagian penonton. Kenapa tetangga di atas kami, seorang aktor yang rutin mampir untuk segelas kopi, secara tiba-tiba berpura-pura menjadi Santa Claus adalah sesuatu yang tidak bisa aku pahami. Akhirnya, aku menyanyikan sebuah lagu dengan berbisik di telinganya. Dia menghadiahiku sebuah roti jahe besar berbentuk hati. Aku merasa puas dan bahagia, aku lalu  kembali berjalan di bawah sorot cahaya menuju anak tangga di samping ruang pertunjukan orkestra yang menakjubkan.

Ketika aku kembali ke deretan tempat orangtuaku duduk, orang-orang menatapku dengan pandangan konyol atau bahkan marah yang memancar dari wajah mereka.

Aku harus menyeret kakiku melewati beberapa tumit sampai akhirnya tiba di kursiku. Perhatianku masih terpusat pada pengalaman yang baru saja aku alami, membuatku tidak mendengar komentar dari penonton. Gadis-gadis pirang  di deretan belakang memalingkan wajah mereka. Ayah mereka, mencondongkan badannya menggeram penuh dengki padaku “Alec bocah kecil Yahudi yang pintar, aku akan….”

Sisa peringatan dalam kalimatnya tenggelam oleh bait pertama musik pembuka pertunjukan. Dengan jantung berdetak kencang, aku menanti tirai terbuka.    




[1] Kostum yang dikenakan tokoh Elisa Wove dalam dongeng The Wild Swans karya Hans C. Andersen. Terbuat dari tumbuhan Jelatang yang menimbulkan gatal jika bersentuhan dengan kulit.
[2] Pakaian tradisional kaum pria Buyern (Bavarian) berupa celana pendek dengan dua tali. Kini digunakan dalam festival Oktoberfest.
[3] Hari besar warga Yahudi yang juga dikenal sebagai festival lilin. Dirayakan berdasarkan kalender Yahudi yang jatuh antara Bulan November dan Bulan Desember setiap tahunnya.
[4] Kacamata untuk satu mata
[5] Bundel ranting semacam sapu lidi
[6] Sejenis kue, terdiri dari gula, madu, dan Kacang Almond  

Comments