Mr. Holmes : Ketika Si Jenius Melawan Demensia



Jenius dengan kemampuan analisis yang hampir selalu tepat, --kemampuan yang dikenal sebagai Science of deduction-- juga selalu menangani perkara secara cepat tapi penuh pertimbangan.

Karakter tersebut berkali-kali berusaha dihidupkan banyak sutradara. Tidak hanya dari Inggris, asal si tokoh tapi oleh sutradara dari berbagai negara. Setidaknya, beberapa tahun terakhir ada tiga sutradara yang berusaha menghidupkan karakter serupa dengan berbagai jenis kemasan. Sebut saja Guy Rithcie yang menghidupkan karakter serupa lewat sosok Robert Downet Jr. yang menurutku kurang greng. Steven Moffat dan Mark Gattis lewat sosok Benedict Cumberbacth yang dikemas modern. Lalu, Robert Doherty lewat sosok Jonny Lee Miller dalam seri tv berjudul Elementary di Amerika, juga dikemas modern.

Meskipun kemasan setiap karya berbeda, para sutradara kompak memilih karakter Sherlock dengan ingatan tajam dan usia mudanya. Tentu saja ini sesuai ekspektasi para penggemarnya. Jenius dan muda. Kombinasi sempurna dan sangat mewakili pekerjaannya yang penuh risiko. Detektif.

Kesempurnaan yang selama bertahun-tahun kita konsumsi tersebut berusaha dikikis oleh Bill Condon dalam film Sherlock terbaru berjudul Mr. Holmes. Diperankan oleh Ian Mckellen, Bill Condon seperti sedang mengajak kita melihat Sherlock sebagai sosok manusia yang pernah benar-benar hidup, bukan tokoh fiksi karangan seorang dokter yang keranjingan menulis. Tapi Sherlock yang mengalami siklus kelahiran, masa muda gemilang, lalu menua.

Seperti slogan yang tercetak di dalam cover film “The Man Beyond The Myth”, Ian Mckellen secara jenius memerankan sosok Sherlock di luar citra yang selama ini dibangun. Ian dengan “khusyuk” memainkan perannya sebagai Sherlokck renta dan berjuang melawan penyakit degeneratif bernama “pikun”. Bahkan perlawanan Sherlock disajikan dalam menit pertama film berputar.
  
Adegan berawal saat Sherlock berkendara pulang dari Jepang demi debu tajam yang dikenal mampu memperlambat demensia. Adegan berikutnya, kita menyaksikan kilas balik antara masa kini, perjalanan di Jepang dan Kasus Tuan Kemlot yang membuatnya memutuskan pensiun sebagai detektif.

Ketiganya saling berkelindan satu sama lain, di mana upaya memperlambat demensia dilakukan Sherlock untuk menuntaskan kasus Tuan Kemlot dan Tuan Umezaki yang selama ini menghantuinya. Secara menarik, Sherlock memilih menuntaskan kegelisahannya dengan menulis seperti Watson. Sebuah tindakan yang termotivasi oleh Roger, bocah pengurus rumah yang sangat mengaguminya.

Dengan sisa-sisa ingatan Sherlock mulai menggoreskan tinta, menuliskan kisah sebenarnya dari kasus Tuan Kemlot. Kasus yang terlanjur menempatkannya sebagai “Hero” akibat tulisan Watson. Menurut Sherlock, sahabatnya membumbui petualangan-petualangan dirinya dengan imajinasi fiksi. Maka, upaya menuliskan sendiri akhir sebenarnya dari kasus Tuan Kemlot merupakan penebusan rasa bersalah akibat gagal menyelamatkan nyawa Nyonya Kemlot.

Sampai di sini, kita diajak untuk menyadari kenyataan bahwa tokoh detektif paling famous ini bagaimanapun pernah gagal dan lama bersembunyi dari kebenaran. Sekali lagi, Sherlock yang manusiawi. Sosok yang belakangan memang sedang coba ditampilkan.

Meskipun citra tua renta dan demensia berhasil dihidupkan, sepertinya Bill Colon tidak kuasa menggerus kemampuan deduksi sang detektif. Sesuatu yang tentu saja membuat penasaran. Saya menangkap ini sebagai cara Bill Colon memberi kepuasan dan kesenangan (kalau tidak bisa disebut mempertahankan nilai jual) untuk Sherlockian. Kemampuan deduksi oleh Bill Colon disajikan dalam beberapa adegan. Salah satunya ketika Roger memaksa Sherlock “memamerkan” kemampuannya dengan menganalisis sang ibu.

Sebagai film yang menampilkan citra baru sosok Sherlock, Mr. Holmes sangat layak untuk ditonton. Apalagi, film yang diadaptasi dari karya Mitch Cullin berjudul A Slight Trick of Mind ini mendapuk Ian McKellen sebagai Sherlock. Aktor peran yang sangat ahli memerankan sosok renta tapi tetap berdaya. Seperti dalam Lord of The Ring, meskipun renta tapi dibutuhkan. Dan saya menyimpulkan, siapapun sutradarnya, sosok Sherlock selalu mendekati sempurna ketika dipernakan oleh aktor berdarah Anglo Saxon. (ini sih subyektif ya :D )  

Diakhir cerita, Sherlock akhirnya menulis surat untuk Tamiki Umezaki yang menginginkan kebenaran tentang nasib sang ayah. Dengan sisa ingatan, Sherlock akhirnya mengkombinasikan fakta dengan fiksi dalam kasus Umezaki. Persis seperti Watson. Menyajikan akhir yang bahagia kepada pembacanya J
  


Comments