Merayakan Kejutan dalam Festival Film Jogja-Asia


Pembukaan JAFF di TBY


Garin tidak berbohong ketika dia bilang film Asia akan memberikan kejutan dengan berseru “Suspense and Surprise!” dalam pembukaan Jogja-Asia Film Festival 2015 Selasa malam (02/12), di Gedung Societat Taman Budaya Yogyakarta. Menurutnya, Asia adalah kawasan paling tidak pernah stabil di dunia ini. Dalam ketidakstabilan itu, para film maker tetap berkarya secara gerilya melahirkan film-film. “Dan itulah yang membuat JAFF menjadi penuh kejutan!,” ujar Garin.

Salah satunya adalah film berjudul Memories on Stones karya sutradara kelahiran Kurdi, Irak Shawkat Amin Korki. Film ini menjadi pilihan cerdas untuk membuka festival dam sangat mewakili statement Garin. Mengejutkan!.

Film bercerita tentang Hussain dan karibnya Alan yang berniat membuat film tentang operasi militer Anfal yang dilakukan Rezim Saddam Husain pada tahun 1988. Ayah Hussain adalah salah satu dari 182.000 warga Kurdi yang menjadi korban operasi tersebut.

Hal yang mengejutkan dari film ini adalah pengemasan yang realistis sejak awal adegan dimulai. Hussain dan Alan menghadapi banyak kendala dalam pembuatan film. Seperti kesulitan mencari tokoh utama perempuan yang akan berperan sebagai Lorin. Adegan ini bahkan menyita hampir 30 menit pertama film.  

Dalam adegan, kita disajikan dengan realitas budaya yang dianut masyarakat setempat. Meskipun dari keluarga Kurdi yang menjadi korban operasi, Sinur (calon utama tokoh Lorin) tetap harus menempuh jalan pelik untuk ikut berperan. Akhirnya, dia rela menerima lamaran sepupu yang tidak dicintai agar dia diberi izin akting.

Meskipun didera banyak konflik, sutradara tidak melupakan sisi humor dalam film. Dan menurut saya, inilah yang membuat Shawkat menjadi salah satu sutradara jenius yang menjadi idola baru saya :). Dalam banyak adegan, humor disajikan melalui hal sederhana yang justru sering kita anggap tabu untuk ditertawakan atau bahkan memuakkan. Katakanlah adegan ketika shooting harus dihentikan ketika adzan berkumandang atau adegan ketika Hiwa (suami Sinur) menuntut Hussain menghilangkan adegan “pegang tangan” lantaran tabu.

Humor lainnya didmoniasi oleh sosok Roj Azzad, si artis nasional yang menjadi pemeran utama. Sikap jumawanya sebagai artis terkenal di industri musik “luar negeri” justru menyajikan kegelian bagi penikmat. Keterkenalannya membuat dia enggan menerima kritik dari sutradara, bahkan dia memilih bersikap semena-mena yang membuat Hussain geram. “I want to get rid of him,” kata Husaain saking geramnya.

Adegan ini berakhir saat film selesai diproduksi setelah berbagai kendala, termasuk finansial. Dan sesumbar Alan, bahwa film akan berhasil lagi-lagi dihadapkan realita dunia film Irak yang lesu darah. Pemutaran perdana, penonton bubar saat film baru tayang akibat pemutar film yang mati dan disusul hujan. Film pun berakhir.

Inilah yang mengejutkan. Sutradara, kembali menyajikan realitas di akhir adegan. Dia tidak menjanjikan keberhasilan gemerlap ala Hollywood. Kita sudah terlalu banyak disajikan dengan film-film happy ending. Ketika usaha berdarah-darah selalu diganjar dengan keberhasilan yang indah.  Di film ini, kita dibawa kembali menginjak bumi. Kembali pada realitas di belahan bumi lain. Seperti di Irak. Sutradara adalah para gerilya yang berhadapan dengan berbagai realita. Konflik negara, budaya masyarakat, dan industri perfilman sendiri yang sepertinya tidak dianggap lebih penting dari keadaan yang mereka hadapi.


Saya menantikan “Suspense and Surprise” berikutnya dari para sutradara yang bergerilya di seluruh Asia. Dan saya tidak sabar menunggu film dari Kamboja dan Banglades :)

Comments