Oleh :
Franz Magnis Suseno
(Disampaikan dalam Konvensi Nasional Indonesia
Berkemajuan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin 24 Mei 2016)
Di Indonesia, Islam beberapa
kali memainkan peran penting. Ada satu hal yang cukup menarik. Islam seperti NU
dan Muhammadiyah bagi saya adalah Islam yang sangat Indonesia. Muhammadiyah
juga tidak ada masalah dengan Indonesia. Hal tersebut sangat penting karena
kalau kebangsaan tidak dihayati maka ada sesuatu yang tidak beres dengan
struktur psikologis masyarakat. Jika kita tidak menghayati kebangsaan, kita
tidak menghayati kebudayaan. Jika kita tidak menghayati kebudayaan, kita tidak
menghayati kemanusiaan. Awas! Ini berbahaya. Tapi di Indonesia, kebangkitan
Islam menjadi bagian dari kebangkitan nasional sejak awal seperti Syarekat
Islam, Muhammadiyah, kemudian NU.
Pada tahun 1945, terjadi
sesuatu yang mengejutkan dan mengagumkan. Islam bersedia menerima bahwa dalam
tatanan Indonesia, undang-undang dan sistem hukum Indonesia tidak memberi
posisi khusus kepada Islam. Padahal, sekitar 87% masyarakat Indonesia adalah
Islam. Inilah yang kita namakan Pancasila. Jika kita membaca Undang-undang
Dasar 1945, kita tidak akan tahu apa agama masyoritas. Undang-undang dirumuskan
dalam suatu bahasa di mana tidak terlihat siapa mayoritas. Fakta ini merupakan
sumbangan bagi persatuan bangsa yang sangat luar biasa. Pancasila beberapa kali
dipermasalahkan. Tapi Pancasila menjadi konsensus bahwa Indonesia adalah milik
semua, sampai saat ini tidak dipersoalkan. Hingga saat ini, saya tidak
menemukan wacana bahwa sebetulnya kelompok yang harus berkuasa adalah Islam,
sementara yang lain menjadi pengikut.
Poin menarik kedua dilihat
dari sisi historis. Topik historis ini selalu saya sampaikan dalam forum
internasional. Mari kita bandingkan Indonesia pada tahun 1998 dengan Mesir pada
tahun 2010 saat “The Democratic Spring”. Keduanya sama-sama mengalami
kediktatoran. Satu oleh Soeharto, satu lagi oleh Mubarok yang akhirnya
diberontaki oleh semangat demokratik yang luar biasa. Keduanya harus mundur.
Tetapi apa yang terjadi di Mesir? Di Mesir kemudian terjadi polarisasi. Dalam
pemilihan umum yang bebas, Ikhwanul Muslimim mendapat suara sekitar 47% dan
Mursi menjadi presiden. Mursi bukan orang jelek, tapi mungkin Mursi tidak
mempunyai sikap yang cukup besar sehingga tidak berhasil membuat undang-undang
dasar yang bisa diterima semua. Akibatnya Mursi dikudeta oleh Jenderal Sisi.
Demokrasi habis di sini. Saat ini Mesir terpecah dan setiap kubu bersikap
keras. Jenderal Sisi dengan pendukung seperti Islam Nasional dan kaum salafi
atas dukungan Arab Saudi yang takut tehadap Ikhwanul Muslimin. Sementara 45%
pendukung Mursi ditahan dan diancam terus dengan senapan mesin. Keadaan ini
bisa menjadi malapetaka karena bangsa menjadi pecah. Kemungkinan kekerasan
masih banyak terjadi.
Sementara di Indonesia
berbeda. Indonesia mengalami satu revolusi demokratis. Fakta menarik yang
menurut saya menjadi tantangan adalah, tokoh-tokoh yang berhasil menyalurkan
reformasi revolusi demokratis mahasiswa dalam sistem demokrasi adalah
tokoh-tokoh Islam. Pertama Habibie. Saat itu merupakan anak emas Soeharto dan
menjabat sebagai ketua ICMI. Salah satu organisasi yang saat itu dicurigai.
Saat Habibie menjadi presiden, banyak anggota ICMI yang menjabat menteri tetapi
perpolitikan di Indonesia tidak menjadi sektarian.
Comments
Post a Comment