Oleh :
Franz Magnis Suseno
(Disampaikan dalam Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin 24 Mei 2016)
Muhammadiyah harus memberikan satu
sumbangan penting bagi Bangsa Indonesia yang saat ini diharapkan berkontribusi besar di tingkat global.
Muhammadiyah lahir dari semangat pembaharuan dan
modernisasi. Muhammadiyah juga terus membangun dan fokus pada bidang pendidikan
yang menjadi kunci dalam memajukan suatu bangsa. Sekalipun tidak pernah menjadi
partai politik, Muhammadiyah banyak menyumbangkan tokoh politik dan secara
langsung ikut menangani dakwah kultural Bangsa Indonesia.
Saat ini, ada satu bahaya yang
sedang dihadapi umat Islam. Gambar Islam di dunia telah dibajak oleh kelompok
ekstrimis. Jika setiap hari di media ada kejadian mengerikan yang selalu
dikaitkan dengan Islam, maka muncul gambaran Islam yang tidak benar. Bagi
mereka yang tidak mengerti, gambaran tersebut akan bepengaruh. Muhammadiyah
bagi saya menunjukan gambaran Islam yang sebenarnya. Bahwa Islam sebenarnya itu
adalah Islam moderat
bukan Islam A, Islam B, Islam C. Moderat artinya suatu realitas kekuatan sosial
yang menstabilkan, mengamankan, dan memajukan.
Sebagai contoh kita bisa lihat
Timur Tengah yang setiap hari ada di media. Sangat mengerikan. Saya tahu di
Timur Tengah ada umat Kristen, terutama Kristen Ortodoks di seluruh Timur
Tengah dari Mesir, Palestina, Syiria, hingga Irak.
Mereka saat ini dalam bahaya besar. Di Irak, umat Krsiten tinggal 2/5 penduduk dengan koper yang disiapkan untuk lari. Padahal, selama
ribuan tahun, minoritas-minoritas Kristiani yang jumlanya antara 7% sampai 9%
hidup di Irak dengan aman dan terlindungi. Situasi tersebut baru terjadi saat
ini menyusul kekacauan. Saya tahu, umat Kristen di Syiria saat ini keberatan
dengan kehendak Amerika Serikat untuk membuat rezim. Kondisi yang sama terjadi
di Irak. Sekalipun sosok Saddam Hussein “tidak sedap”, umat Kristen hidup
dengan aman di bawah kepemimpinannya.
Stabilitas kemantapan seperti yang
kita punya di Indonesia saat ini selalu terancam. Pada tahun 1969 saya pulang
dari Jerman dan singgah ke Lahore, Pakistan. Selama empat hari, saya menjadi
turis Lahore berjalan-jalan ke berbagai tempat tanpa ada peringatan dari orang
untuk menghindari tempat tertentu atau larangan pergi di atas jam 6 sore.
Lahore kala itu aman, enak, dan merupakan kota yang sangat Islami. Pakistan
kala itu bisa dikatakan normal. Saat ini tidak Pakistan tidak normal dan
andaikata sekarang saya di Lahore, saya kira saya tidak akan berani bepergian.
Artinya, kita harus waspada agar kejadian serupa jangan sampai terjadi di
Indonesia. Indonesia saat ini menjadi negara normal. Banyak hal yang tidak
normal tapi hal-hal itu terjadi dalam skala kecil jika dilihat dalam perspektif
besar.
Indonesia adalah negara di mana
masyarakat dari Sabang hingga Merauke bisa berpergian dengan aman dan tidak
perlu takut. Setelah terjadi bom Bali, teman saya di Jerman bertanya “Itu masih
aman saya ke Indonesia?”. Saya selalu menjawab, “paling berbahaya di Indonesia
itu adalah perjalanan dari bandara menuju hotel.” Lalu lintas di Jakarta sangat
berbahaya dan itu yang saya sampaikan. Bukan mengenai ancaman terorisme.
Terorisme di Indonesia memang akan selalu ada. Tidak mungkin negara sebesar Indonesia
100% hidup tanpa ancaman. Jadi itu bukan cara untuk menilai keamanan, tapi
menjadi tantangan.
Comments
Post a Comment