Melihat Pancasila Sebagai Etika





Oleh : Franz Magnis Suseno
(Disampaikan dalam Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin 24 Mei 2016)

Mengenai fenomena ekstrimis. Di Jerman ada lebih banyak orang yang menjadi anggota ISIS dibanding Indonesia. Ada sekitar 1000 orang dari 4 juta Muslim. Muslim di Jerman sebagian besar berasal dari Turki tetapi mereka yang menjadi ISIS bukan Muslim Turki tapi penduduk Jerman. Di Indonesia, dengan jumlah muslim sekitar dua ratus juta warga yang menjadi anggota ISIS tidak mecapai 1000 orang. Sebagian besar orang yang menjadi anggota ISIS tertarik pada uang dan ini sebenarnya hukuman bagi ISIS. Dari hasil analisa, di Jerman agama bukan faktor yang mendorong masuk ISIS. Sebagian besar mereka justru tidak berdo’a. Faktor psikologis menjadi alasan utama. Misalnya merasa teralienasi, tersingkir, secara budaya tidak cocok dengan budaya Jerman, tidak merasa dianggap dan sebagainya. Karena alasan-alasan tersebut mereka kemudian menemukan sesuatu yang mengesankan di ISIS. Hal yang membuat menarik bagi mereka adalah ISIS membuat pihak lain takut. Hal ini saya ceritakan agar orang muda Indonesia melihat apa yang diperjuangkan Muhammadiyah. Islam Berkemajuan menjadi suatu tantangan agar melahirkan rasa bangga kaum muda. Dengan perasaan tersebut maka mereka tidak akan tertarik pada ISIS. Muhammadiyah harus menyalakan kegembiraan dan suka hati di kalangan muda.

Dalam harian Kompas dituliskan bahwa kaum muda Indonesia sebagian mendukung Pancasila sementara ada juga yang mendukung kekerasan. Ini mengkhawatirkan. Fundamentalisme di Indonesia tidak berkembang subur di UIN atau universitas Islam lainnya tapi justru muncul di universitas negeri besar. Ini menjadi tantangan bersama karena ada kelompok-kelompok yang tidak mengakui Indonesia.

Pancasila sebagai konsensus untuk saling menerima menjadi dasar kenapa suatu bangsa semajemuk ini, dengan begitu banyak bahasa, budaya, etnik, agama, dan aliran agama bisa kompak bersatu. Sebetulnya, bersatu artinya mau untuk saling menerima dalam perbedaan. Hal ini sulit terjadi di Jerman karena tidak memiliki pengalaman dalam pluralitas budaya. Tapi di sini, setiap orang tahu bahwa tidak jauh dari tempatnya, ada orang yang sebetulnya masih termasuk komunitas dengan adat dan bahasa berbeda tapi tetap bisa ditangani. Ini sebuah modal budaya luar biasa dan pancasila menetapkan itu.

Pancasila harus dilihat sebagai etika suatu bangsa abad ke-21 dan tidak hanya berakar dalam nilai-nilai budaya dulu. Sila pertama menuntut pengakuan terhadap hak orang untuk mengikuti keyakinan hati. Ini juga menjadi tantangan di Indonesia dengan enam agama yang diakui bagaimana menangani secara tepat mereka yang tidak termasuk ke dalamnya. Termasuk bagaimana menangani ajaran sesat. Kasus Gafatar sebetulnya tidak perlu terjadi. Meskipun memang Gafatar perlu diawasi karena tertutup. Tapi faktanya, Gafatar suatu hari mendadak diserang oleh sekitar 5 ribu orang yang ternyata terkena hasut. Mereka berhasil diamankan oleh polisi tanpa ada korban, tetapi rumah mereka dibakar, kendaraan dibakar, semuanya dibakar. Ini gawat. Harus ada cara untuk mengakhiri masalah tapi melalui pendekatan. Hasut sendiri sebetulnya menciptakan mental terorisme dan para penyebar kebencian bisa melakukannya dengan bebas. 

Pelajaran mengesankan dari Islam adalah agama harus menjadi rahmatan lil alamin. Artinya orang-orang yang bukan dari agama Islam harus mengalami Islam sebagai suatu rahmat, bersyukur atas keberadaannya. Untuk umat Katholik saya berharap bisa membawa diri di Indonesia sehingga orang lain merasa bersyukur atas kehadirannya. Jadi agama harus hadir sebagai sesuatu yang membawa hal baik dalam diri manusia juga kekuatan yang menghadirkan optimisme. Artinya rahmat. Dan rahmat ada kaitan dengan belas kasih tuhan. Dengan adanya agama orang merasa bahwa ada tuhan yang berbelas kasih. Dalam Islam, sifat pertama Allah adalah belas kasih. Saya berharap semua agama bekerjasama agar di Indonesia tidak perlu ada orang yang merasa takut karena keyakinan yang dianut. Kita harus keluar dari budaya kekerasan yang tidak hanya terkait agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menyelesaikan konflik tanpa pukul memukul apalagi menggunakan pisau. Menyelesaikan konflik bisa dilakukan dengan musyawarah. Jika musyawarah tidak berhasil maka konflik diselesaikan dengan jalan hukum. Selesai. Agama-agama harus menjadi pokok melawan kekerasan maka, komunikasi antar agama juga penting. Dari komunikasi kita saling berbagi pengalaman.


Comments