Kabar Stroke dan Meneladani Murakami




Dua minggu lalu, di sebuah angkringan seorang kawan menceritakan kisah pilu seorang mahasiswa S2 yang tengah menempuh ujian tesis. Pria yang usianya belum memasuki angka kepala tiga tersebut konon mengalami gejala demam luar biasa di tengah-tengah ujian. Kepada jajaran dosen penguji lantas ia memohon izin untuk istirahat sebentar. Kejadian pilu itu terjadi saat dia pergi ke kamar mandi. Di situlah tiba-tiba setengah tubuhnya menjadi kaku dan mati rasa, mulutnya tertarik kencang ke samping. Sebuah serangan stroke yang tidak disangka-sangka. Pertama dan paling utama adalah karena usianya yang masih “terlalu” muda dibanding banyak kasus stroke yang rata-rata menimpa kelompok usia lanjut.

Seperti saya, laki-laki itu adalah generasi yang lahir setelah tahun 1982. Generasi yang mendapat gelar sebagai milenial. Lahir di tengah modernisasi dan perkembangan teknologi digital yang bergerak lebih cepat dari kereta di negara-negara maju sekalipun. Keadaan ini, konon telah menciptakan gaya hidup serba dalam jaringan atau online. Dari mulai bersosialisasi hingga transaksi jual beli. Hasilnya bisa ditebak, aktivitas generasi ini lebih banyak dihabiskan di depan layar dari komputer hingga gadget. Gaya hidup ini menghasilkan berbagai konsekuensi seperti jarang bergerak, minim beraktifitas di alam, dan dengan pola konsumsi makanan yang sebenarnya sama ngawurnya dengan sebagian besar generasi di luar milenial. Untuk urusan konsumsi makanan bisa karena beberapa alasan. Bisa karena minim informasi asupan gizi –yang sejatinya ekonomis- yang sehat atau karena memang sejak kecil doyan makanan gak layak konsumsi rutin. Contohnya saya yang keranjingan bakso. :D

Sebagai salah satu milenial, berita pilu dan fakta-fakta di atas berhasil menggentarkan saya. Ada semacam kekhawatiran bahwa dalam beberapa waktu ke depan saya akan bernasib sama dengan si pria. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, dua bulan ke belakang kaki kiri saya kerap mengalami mati rasa. Biasanya area mati rasa terjadi dari jari kelingking kaki merambat ke urat yang saya curigai satu saluran. Kaki yang sama juga kerap mengalami kesemutan setiap kali duduk cukup lama dan harus menahan bagian tubuh lain seperti kaki kanan. Gejala-gejala ini terjadi karena kebiasaan-kebiasaan yang sudah saya paparkan sebelumnya. Kebiasaan khas para milenial. Menghabiskan waktu di depan layar dan jarang bergerak.

Keadaan ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Haruki Murakami (bukan milenial) dalam memoarnya berjudul “What I Talk When I Talk About Running”. Ketika Murakami memutuskan untuk total menekuni karir menulisnya, Murakami sadar bahwa kesehariannya akan dihabiskan di tempat duduk untuk menulis sambil menghisap berbatang-batang rokok. Murakami menurut saya bijaksana karena dia tahu jika dia tidak segera mengimbangi kebiasaan itu dengan hobi lainnya maka karir kepenulisannya kemungkinan besar akan singkat. Untuk itu, Murakami mulai lebih giat menekuni hobi lari marathonnya. Bagi Murakami marathon bukan kompetisi tapi justru jalan untuk menjaga agar fisiknya bisa bertahan lebih lama dalam berkarya. Sebagai upaya mengimbangi hobi menulisnya. 

Saya tidak sedang menekuni apa yang ditekuni Murakami, tapi keputusan yang hampir mirip dengannya akhirnya saya ambil di tengah kekhawatiran akan penyakit stroke. Bedanya, Murakami benar-benar mencintai kegiatan marathon dan saya sama sekali tidak memiliki satu jenis olahraga favorit kecuali jalan kaki. Dan agaknya di tengah polusi hal itu tidak menjadi prioritas. Sayapun memilih olahraga gerak tubuh. Tidak bisa disebut senam karena saya lebih banyak mengisinya dengan gerakan joget yang ngawur.  Kadang dikombinasi dengan gerakan senam, kadang cukup loncat-loncat. Intinya saya bergerak setiap 30 menit sehari dengan pola senam peregangan, inti, dan pendingin.


Dan ini minggu kedua saya berhasil konsisten. Keberhasilan yang sebenarnya butuh kekuatan luar biasa untuk bangun dari kasur terepes yang tetap membuat nyenyak, membuka jendela, menyiapkan deretan lagu sesuai urutan gerakan, menyiapkan beberapa sarapan kecil sebelum olahraga (tips ini saya dapat dari pakar olahraga di sebuah televisi), lalu bergerak selama tiga puluh menit, gerakan yang jika orang lihat bisa ketakutkan karena menyerupai orang kesurupan. Tidak jelas antara pemanasan, inti, hingga pendingin. 

Bagaimanapun, dua minggu ini belum menghasilkan perubahan banyak tentang kaki kiri. Kesemutan masih menyerang tapi untungnya mati rasa berkurang. Dan satu-satunya yang saya khawatirkan sekarang justru adalah kebiasaan buruk saya bernama moody. Biasanya dia akan menghancurkan rutinitas yang sudah dibangun apalagi motivasi saya tidak bertemu dengan kegemaran seperti Murakami yang cinta lari marathon. Jika saja saya tidak ingat kejadian stroke itu mungkin hari ini saya akan skip olahraga. Tapi jika Murakami yang lahir sebelum milenial saja sadar pentingnya hidup seimbang, kita yang hidup di tengah era digital mungkin harus lebih banyak melek lagi. Kecuali jika kita siap berhenti berkarya. Seorang kawan pernah menasehati, jangan terlalu dipaksakan. Hal terpenting memulai kebiasaan sedikit demi sedikit dan perlahan. Mari kita lihat, apakah saya bisa mentranformasi motivasi dari takut stroke menjadi pola hidup sehat yang berkelanjutan.         

Comments