Pelajaran Toleransi di Lebaran Keempat

Emak bersama cucu pertamanya, yang mana bukan anak saya [sekedar info] 

Saya tidak tahu pasti kapan saya menerima pelajaran toleransi dari orangtua saya. Mungkin karena saat kecil saya diasuh oleh nenek dan kakek yang mengisi kehidupan masa kecil saya dengan dongeng perjuangan melawan penjajah. Terutama pengalaman hidup di awal kemerdekaan seperti kisah buyut yang saya ingat betul. Mungkin juga karena saya hidup di sebuah kampung yang amat homogen. Seluruhnya pemeluk Islam dan 90% di antaranya berhaluan Nahdatul Ulama (NU). Keberadaan kelompok lain biasanya tidak kentara sehingga tidak pernah ada gesekan berarti karena perbedaan mazhab.

Pelajaran toleransi yang saya ingat justru hadir di masa dewasa saya. Ketika pada tahun 2008 saya ditakdirkan merantau ke Yogyakarta. Ada tradisi wejangan rutin yang dilakukan ayah untuk setiap anak yang pergi merantau. Dan saya mendapatkannya beberapa hari sebelum berangkat ke Yogyakarta. Setelah nasehat umum seorang ayah pada anak perempuannya, dia mengamanahi saya untuk langsung mengaji di Krapyak begitu saya tinggal di Yogyakarta. Ayah khawatir darah NU saya akan sirna karena saya akan berkuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah. Saat itu saya tidak menjanjikan apa-apa selain “insyaallah”. Jawaban klise tapi efektif mengingat saya sama sekali belum tahu seperti apa suasana di Yogyakarta dan saya tidak benar-benar tahu apa perbedaan antara NU dan Muhammadiyah selain tahlil dan tidak tahlil yang membuat saya harus khawatir. Belakangan saya temui perbedaan tata cara ibadah antara keduanya tidak sebanyak yang saya duga.

Berbeda dengan ayah yang saya nilai memiliki pandangangan saklek, ibu justru berpikiran terbuka tentang saya yang NU harus berkuliah di Muhammadiyah. Dia tidak khawatir saya akan menyebrang. Bahkan dia dan saudara-saudaranya sering menjadikan saya sebagai objek kelakar mereka tentang perbedaan NU dan Muhammadiyah. Salah satunya ketika suatu siang saya shalat dzuhur tepat waktu. Alasan utamanya bukan karena saya pemeluk agama yang taat, tapi saya perlu pergi ke suatu tempat yang akan efektif jika saya mendahulukan shalat. Bibi dan paman saya tiba-tiba berkomentar penuh kelakar, “beda kalau orang Muhammadiyah ya. Shalatnya tepat waktu”. Ekpresi saya saat itu pasti tampak bodoh karena mereka semua tertawa saat melihat saya tak bisa membalas komentar mereka.

Selain menjadi objek kelakar,  tentu saja ada hal lainnya yang berubah sejak nama saya tercatat sebagai mahasiswa di sekolah Muhammadiyah. Salah satunya pertanyaan rutin ibu setiap bulan puasa datang. “Kamu puasa kapan?” begitu biasanya dia bertanya via telpon. Sejujurnya saya merasa pertanyaan itu sebagai ujian bagi saya, apa saya akan memilih mengikuti pemerintah yang biasanya sama dengan NU atau Muhammadiyah. Tapi saya tidak terlalu memikirkannya karena jujur saya lebih suka berkompromi pada perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu esensial daripada berkeras yang menurut saya akan menimbulkan konflik. Hal yang amat tidak saya sukai. Jawaban seperti itu pula yang biasanya saya berikan. “Puasa ikut Muhamamdiyah, biar ibadahnya maksimal”. Jawaban yang mengesankan pribadi saleh agar ibu saya tidak khawatir dengan alasan saya yang sejatinya menunjukkan begitu mudahnya saya berpindah haluan.

Sejak itu hampir setiap bulan puasa datang, ibu merasa perlu menanyakan hal yang sama meskipun tahu jawaban yang akan didapatkan juga sama. Untuk urusan perbedaan tanggal puasa ini sebenarnya saya menemukan dilema tersendiri. Terutama karena saat lebaran saya otomatis pulang kampung. Jika tanggal puasa Muhammadiyah lebih dulu, maka saya akan lebaran lebih dulu. Jika sebaliknya, maka keluarga saya yang akan shalat ied lebih dulu ketika saya justru masih harus menggenapkan puasa. Apapun keadaanya selalu berarti saya akan sendirian. Walau kadang menimbulkan kekhawatiran, saya mencoba konsisten menjalankannya. Beruntung keluarga saya, terutama ibu tidak mempermasalahkannya. Saya bahkan pernah memutuskan jika lebaran duluan, saya akan berbuka duluan tetapi akan ikut shalat ied dengan keluarga. Sebuah kompromi lainnya karena euforia jika dirayakan sendirian akan antiklimaks.

Pada puasa keempat saya di Yogyakarta, saya ingat Muhammadiyah puasa lebih awal dibanding pemerintah dan NU. Artinya kemungkinan besar saya akan merayakan lebaran lebih dulu dan tentu saja sendirian. Beberapa hari sebelum lebaran, ibu yang saat itu sibuk menyiapkan hidangan berbuka tiba-tiba berkata, “kamu khan puasa duluan. Jadi mau lebaran kapan? Duluan aja gak apa-apa. Masa mau nambah puasa”. Saat itu saya merasa terharu dan sadar bahwa selama ini ibu saya telah amat bertoleransi pada pilihan-pilihan saya. Secara tidak sadar dia telah menanamkan nilai-nilai itu pada saya sendiri agar saya bertoleransi pada pilihan-pilihan ibu saya, keluarga saya dan pada golongan lain.

Saya yang sejak SMA telah –diajarkan sekolah berdasarkan dalil-dalil tertentu- shalat tarawih 11 rakaat tetap menghargai keluarga saya yang tarawih 21 rakaat dan dalam beberapa kesempatan, jika tidak sedang kekenyangan atau lelah saya ikut shalat tarawih 21 rakaat. Dan alasan saya tidak qunut bukan karena saya menyebrang sepenuhnya sebagai penganut mazhab lain tetapi lebih karena saya sudah lupa do’anya. Namun, saya tetap qunut mengikuti imam saat suatu subuh saya menumpang istirahat di sebuah masjid di pinggiran Jombang. Khan saya tinggal mengaminkan do’a imam. Terakhir urusan tahlil. Saya sampai pada kesimpulan bahwa do’a untuk orang-orang meninggal bisa dilakukan di mana saja tanpa perlu acara khusus atau berziarah ke kuburan. Ini jelas amat Muhammadiyah. Tapi untuk kasus kakek dan keluarga-keluarga terdekat saya, tentu saya akan menjalankan dua tradisi itu. Seperti aliran tasawuf yang menjadikan tarian sufi sebagai cara dia mencapai kekhusyukan, bagi saya berkunjung ke makam keluarga seperti almarhum kakek adalah cara saya agar lebih khusyuk berbincang dengan tuhan. Dengan mencoba menghadirkan pihak yang dido’akan (meskipun itu sebatas psikologis) membantu saya menuntaskan rindu dan meleburnya menjadi harapan-harapan. Memohon pada Gusti agar arwah yang jasadnya berada di dekat saya diberi berbagai kebaikan di keabadian.

Pilihan-pilihan tersebut tanpa sadar telah saya adopsi dari cara keluarga saya melontarkan komentar-komentar penuh kelakar tapi membuat saya berpikir. Ibu saya adalah aktor utamanya karena tentu bersama dia saya seringkali mengobrol ke sana ke mari. Sikap-sikap toleransi ibu saya baru saya sadari belakangan. Seperti ketika saya memilih tidak ikut berziarah. Dia tidak akan mengeluh apalagi marah. Dia tahu jika saya memutuskan tidak artinya benar-benar tidak. Tentu saja ini lebih pada ibu yang mengenal betul karakter anaknya. Tapi dia akan sangat senang jika saya bersemangat mengajaknya berkunjung ke makan kakek atau saudara lainnya. Sementara dia khusyuk mengaji, saya akan berjalan atau duduk menikmati udara segar sekitar makam. Menanti dia selesai mengaji dan memulai pelajaran sejarah silsilah keluarga. Tentang bapak saya, selama dia melihat saya shalat 5 waktu dalam sehari dan terlihat menyentuh mushaf dia tidak akan khawatir. Mungkin bapak mengira Muhammadiyah semacam aliran yang berbeda dari Islam. Tentu saya tidak tahu karena saya tidak mengkonfirmasinya.

Dan malam itu, 18 Agustus tahun 2012 setelah takbiran tiba-tiba dihentikan, sidang isbat memutuskan pemerintah berlebaran di tanggal yang sama dengan Muhamamdiyah. Saya tersenyum dan ibu berkelakar, “masak-masaknya bisa diterusin”. Lantas dia beranjak ke dapur melanjutkan tradisi masak menu lebaran yang dihentikan seiring dengan berhentinya takbiran. Seolah perut besok hari bisa bertoleransi sesuai dengan pukulan beduk. Dan kini kita bersiap menyambut lebarannya para haji sembari menghayati pelajaran toleransi lainnya.  






  








       
         

         

Comments