Catatan Perjalanan : Sumpah Pemuda dan Kemenangan Petani Kendeng

Omah Sonokeling tidak lebih dari sebidang tanah di pinggir jalan Sukolilo yang menghubungkan antara Pati dan Purwodadi. Tapi pada Jum’at (28/10), bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, tanah yang ditumbuhi berbagai pohon menjulang ke langit itu jadi saksi sejarah perjuangan panjang para petani di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah telah menuai hasil.


Salah satu Kartini Kendeng menunjukan surat yang ditulisnya untuk Ganjar (Credit : Mida)

Omah Sonokeling dipilih warga untuk menghelat syukuran sederhana setelah berita keputusan Mahkamah Agung (MA) atas peninjauan kembali dimuat beberapa media. PK diajukan atas nama Joko Prianto yang mewakili petani pegunungan Kendeng dan Yayasan Walhi pada 2 Agustus 2016 dengan mengajukan novum (bukti baru). Pada 5 Oktober 2016 lalu, MA mengabulkan PK tersebut dan mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor registrasi 99 PK/TUN/2016, yakni membatalkan objek sengketa atau pabrik semen yang sedang dibangun. Petani Kendeng dinyatakan menang atas sengketa dengan PT Semen Indonesia.

Saat tiba jam 10.00 pagi, saya dikenalkan pada beberapa perempuan berkebaya dan sarung. Dua di antaranya adalah Gunarti dan Sukinah. Tanpa sengaja, selama ini keduanya hadir sebagai icon perjuangan para petani khususnya ibu-ibu di pegunungan Kendeng. Oleh media, para perempuan ini dijuluki sebagai Kartini Kendeng. Ketika dikenalkan, saya langsung terkesan dengan pembawaan keduanya yang cenderung tegas, cerdas tapi sederhana. Jiwa-jiwa kepempinan terlihat jelas dari gaya bicara dan sikap keduanya. Kesan itu semakin mendalam dalam aksi tanam pohon. Pohon Jambu Mete dipilih Gunarti bukan tanpa alasan. Saat menanam, ia menyampaikan fislosofis pohon itu dalam tradisi lokal yang dikaitkan sebagai simbol bagi orang-orang yang berbuat jahat. “Siapa saja yang ingin merusak alam Kendeng semoga kualat ya,” ucap Gunarti usai menanam pohon. Walau tersenyum mendengar kelakarnya, sebagai bentuk simpati saya diam-diam mengamini ucapan Gunarti. Selingan ini menggambarkan karakter para perempuan petani yang berjuang untuk kelestarian Kendeng.

Gunarti dan Sukinah (perkebaya) usai menanam pohon (Credit : Mida)

Perhelatan syukuran di Omah Sonokeling jauh dari kesan mewah. Hanya ada panggung dari perahu bekas, terpal untuk duduk lesehan, dan bendera merah putih sepanjang 20 meter yang membentang di antara dua pohon besar. Makanan yang disajikan adalah kudapan lokal seperti singkong dan kacang rebus dan merupakan urunan para petani dari berbagai daerah sepanjang pegunungan Kendeng. Kerja bakti dan keguyuban semacam ini membuat putusan MA menjadi sesuatu yang sangat layak diterima warga.

Jelang siang, Omah Sonokeling mulai dipadati orang dengan berbagai atribut dan usia. Mereka bukan hanya warga setempat, sebagian datang dari daerah lain seperti Yogyakarta Surabaya, dan Jakarta. Mereka adalah simpatisan dan beberapa orang yang terlibat mengawal kasus. Pemandangan menonjol di hadapan saya siang itu adalah para petani bercaping, petani berbaju kebaya dan jarik, pengikut Samin dengan pakaian serba hitam mulai dari balita sampai paruh baya, dan remaja punk dengan kaos hitam dan jeans robek-robek. Tapi di Omah Sonokeling, atribut-atribut seperti benda tak kasat mata. Mereka duduk bersama di atas terpal dan kompak berteriak “Lestari!” begitu pemandu acara berkata “Salam Kendeng!”. Seperti Omah Sonokeling itu sendiri, batas mereka di sana hanya tanah yang mereka duduki dan langit yang memayungi mereka. Atribut mereka hanya menunjukan dari mana mereka.

Spanduk JM-PKK (Credit : Mida)

Dalam perhelatan yang diberi tajuk “Kendengan Nancepke Sumpah Pemuda” ini, saya menemukan bentuk nyata dari peringatan Sumpah Pemuda. Ikrar tidak dilakukan dengan membaca ulang teks sumpah pemuda atau kegiatan seremonial lainnya. Di Omah Sonokeling, ikrar dilakukan dalam bentuk diskusi yang dipandu Kang Gun, salah satu tokoh penggerak petani setempat. Dari diskusi ini, lahir ikrar-ikrar nyata. Petani yang akan terus bercocok tanam dan melestarikan alam, aktifis yang akan membawa dan mengadopsi gaya perjuangan petani Kendeng ke daerah lain dengan kasus serupa, dan remaja punk yang siap terlibat.

Jika dulu para pemuda yang bersumpah disatukan dalam payung perhimpunan pelajar Indonesia, di Omah Sonokeling payung mereka adalah Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PKK). Organisasi gaya baru yang bergerak tanpa struktur, tanpa satu sosokpun yang secara implisit disebut sebagai ketua, dan siapapun dari manapun asalnya bisa terlibat selama memiliki tujuan yang sama.

Karya seniman tentang pesan perjuangan (Credit : Mida)

Karakter-karakter tersebut terwakili secara apik oleh mereka yang siang itu hadir. Mereka tidak pernah secara intensif bertemu muka untuk menentukan gerakan, tapi mereka memiliki kegelisahan yang sama. Mereka bergerak sesuai dengan porsi mereka. Seniman menyuarakan protes dengan lagu, para peneliti dengan kajian dan forum-forum akademiknya, para aktifis dengan kapanye-kampanye serupanya dan tentu saja para petani dengan berbagai bentuk perjuangannya yang sangat heroik. Terutama para perempuan yang menginap berbulan-bulan di tenda terpal dan mengecor kaki mereka dengan semen untuk menunjukkan betapa seriusnya masalah Kendeng. Untuk ntah berapa lama, warga Kendeng patut lega dan bahagia dengan putusan MA. Perjuangan serius mereka akhirnya membuahkan hasil. Seperti ujar Kang Gun, “Kalau yang kita bela itu adalah kebenaran, dan dilakukan dengan jujur, kita pasti akan mendapatkan hasilnya.”
  
Sore itu, 28 Oktober 2016 hujan yang mengguyur deras tidak menghentikan mereka untuk mempurnakan perhelatan. Mereka, para pahlawan abad ini khusyuk berdo'a bersama pepohonan di Omah Sonokeling, di atas tanah dinaungi langit. Di kaki Gunung Kendeng untuk kelestarian alam dan untuk anak cucu mereka. Selamat dan salam hormat untuk para tuan dan puan... 

  





Comments