Cerpen : Guru yang Murung

Ilustrasi (Foto : Mida Mardhiyyah)

[Penerjemahan dari judul asli "The Teacher" telah  mendapatkan izin dari penulis]

Oleh :  Charles Deemmer

Jika aku adalah seorang juru tulis kasar dan kepadakulah si murung Dostoevsky atau Melville menyampaikan suatu gagasan penting, maka dengan mudah aku akan mendapat simpati darimu.  Kita hidup pada masa di mana kesadaran kita terpusat pada hal absurd. Lalu, adakah hal yang lebih absurd dari menata buku kas berdasarkan angka, memilah surat-surat yang tidak sampai ke alamat penerima, menyisihkan daftar pesanan belanja tahun lalu, atau menarik sebuah tuas di pabrik? Jika kehidupanku berlangsung secara membosankan, kamu akan menerima kemurunganku sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Mengganggap hal itu berarti dan sesekali menjadikannya sebagai metafora untuk perasaan-perasaan khawatir yang menghinggapimu.

Apapun pekerjaanmu, kamu akan memberiku sebuah pemakluman, rasa empati, simpati, atau paling tidak sesuatu yang penuh arti dari yang bisa kamu berikan saat ini, seperti sebuah sanjungan yang sebenarnya tidak perlu disampaikan. Ketika hidupku penuh dengan bahaya fisik, atau jika aku hidup sebagai pemburu, pendaki gunung atau seorang petinju, maka aku akan dinilai sebagai seorang pahlawan nyata berdasarkan perangaiku yang bisa ditebak.

Faktanya aku adalah seorang guru SMA yang mengajar ilmu fisika. Dan sekalipun pujian dan kekaguman kadang-kadang menghampiriku, mereka memberikannya tanpa simpati atau rasa hormat selain kebutuhan untuk interaksi. Tapi bisa dipastikan orang-orang akan mengagumi istri seorang pecandu alkohol : apa yang dihadapinya adalah sesuatu yang heroik!

Alasan kuat di balik pilihanku menjadi guru adalah karena sudah terlambat bagiku untuk memulai karir lain. Di antara kalian pasti ada yang tidak sepakat dengan alasanku, karena aku baru berusia 40 tahun. Aku tidak berniat membantah hal tersebut. Saat ada banyak orang menganggap bahwa hidup dimulai saat berusia 40, berdasarkan fakta sejarah yang aku miliki, hidupku bermula ketika aku berusia 23 tahun, pada tahun 1945, ketika aku baru saja kembali dari perang untuk menerima posisi sebagai pengajar di Pasadena High School (PHS). Sejak itulah aku mengajar.

Tapi hal yang akan aku sampaikan ini saudaraku – agar kamu tahu—bukanlah sebuah keluhan. PHS adalah fasilitas pendidikan yang luar biasa bagus. Guru ilmu fisika, lebih dari guru ilmu sosial, harus dilengkapi perlengkapan laboratorium yang baik untuk menunjang belajar siswa. Para pembayar pajak Pasadena yang memiliki kesadaran bahwa kita hidup di era ilmu pengetahuan, tidak pernah ragu untuk membicarakan isu fasilitas untuk menjaga agar laboratorium tetap modern. Aku menduga tidak akan lama lagi sekolah-sekolah dengan predikat terbaik (PHS di antaranya), akan dilengkapi reaktor nuklir sederhana dalam daftar alat bantu mengajar yang dibutuhkan. Wilayah tempatku bekerja memberikan perhatian khusus pada kebutuhan profesionalku. Aku tidak akan mengeluhkan keadaan ini.

Lalu apa alasan di balik kemurunganku? Sahabatku, Paul Finley memiliki teori tentang ini. Sebenarnya ada beberapa teori, tapi tidak ada yang meyakinkanku. Walau demikian, aku tetap merekam beberapa di antaranya, karena sebagai ilmuwan, aku tahu persepsiku penuh prasangka, atau setidaknya tidak memuat seluruh sudut pandang dari penyebab, kemungkinan, bahkan solusi yang bisa ditemukan dari kemurunganku. Hal terburuk dari teori Finley adalah teorinya menjadi hiburan berguna untuk dipertimbangkan. Kemungkinan terbaiknya adalah teori Finley bisa saja memuat penjelasan inti dari masalahku, meskipun aku sendiri gagal menemukannya.

Finley yang merupakan pengajar psikologi sesekali hadir sebagai kolega atau sebagai saingan. Jenis persahabatan ini dijalin atas berbagai kesempatan khusus yang terjadi selama libur natal dan pekan ujian akhir. Pendek kata, tiga atau empat kali selama tahun akademik, aku dan Finley pergi dan minum bersama. Kebiasaan yang kini telah berlangsung hingga sepuluh tahun itu telah membuatku dan Finley menjadi karib. Faktanya, di kampus kami berdua menjadi pasangan tak terpisahkan. Baik di kafe atau di ruang khusus merokok. Ray Bowles dan Paul Finley. Duo Manifesto. Aku sangat menghargai hubungan persahabatan kami dengan sungguh-sungguh. Ini menjelaskan mengapa aku memberikan perlawanan pasif atas teori-teori yang diungkapkan Finley. Aku tidak akan pernah memutuskan ikatan persahabatan kami.

“Sialan kamu Ray! Cobalah cari seorang perempun!” biasanya Finley akan berseru seperti itu setiap kali aku memberi tahu perempuan yang baru aku pacari. Dia akan menambahkan dengan tidak sabar, “Seorang isteri! Kamu tahu maksudku.”

Balasanku tergantung suasana hati. Aku akan cukup mengangkat bahu atau yang lebih jarang adalah melawan kekhawatirannya dengan jawabanku yang agresif. Seperti hal-hal biasa tentang keuntungan melajang, kebebasanku, hingga tentang keadaan pria yang sudah lama menikah seperti Finley. Pembelaanku bisa sangat dahsyat. Bagiku, pembelaan-pembelaan itu tidak lebih dari sandiwara dan kepura-puraan. Aku biasanya lebih banyak mengangkat bahu, karena bagaimanapun tidak ada keuntungan khusus dari hidup sendiri. Dalam banyak kesempatan, hidup sendiri bisa menjadi sebuah kemalangan. Keputusanku menghindar dari altar diikuti beberapa alasan rasional lainnya bahwa pernikahan akan menghasilkan anak. Memiliki anak! Artinya menjadi ayah dan menjadi terbuka, keduanya merupakan sebuah tanggung jawab yang belum siap aku pikul. Beberapa tahun ke depan, saat fakta kemerosotan fungsi biologis membuatku uzur, aku akan mudah memberi alasan pada Finley dan kolega lainnya dengan menjawab, “bayangkan aku menjalani itu.”

Aku harus segera mengklarifikasi bahwa aku bukan seorang misogamist[1], meskipun sikapku mendekati perilaku itu (tapi yang aku hindari adalah menjadi ayah). Aku kencan secara rutin, paling tidak tiga atau empat kali dalam sebulan. Aku juga punya beberapa kenalan perempuan. Jika aku mau bersikap kurang ajar, beberapa perempuan yang tertarik padaku tidak akan memiliki hubungan lebih dari tempat tidur. Jadi rasa frustasiku tidak ada kaitannya dengan kebutuhan fisik. Aku lebih suka berpikir bahwa aspek erotis hidup sudah pada tahap berlebihan. Berdasarkan pengalamanku, kepuasan erotis akan membuat gila ketika seseorang berakhir tanpa kepuasaan maksimal. Dan resolusi dari kasus ini adalah apa yang aku praktekan. Hingga saat ini aku bisa memuaskan diri dengan cara orang dewasa semampuku, tanpa perlu menyakiti hati seseorang dan berakhir di altar atau ruang bersalin.

Pada kesempatan lain, Finley akan berusaha membicarakan kehidupan cintaku dengan sangat serius. Membuatku bingung apakah dia sedang mencari sumber kemurunganku atau hanya untuk pancingan pribadi. Aku mengangkat bahu tak berkomentar sampai akhirnya dia menyerah. Kemudian, seolah ingin memperjelas motif obrolannya, Finley akan menawarkan teori lain yang lebih membosankan dan beralasan. Meyakinkan bahwa aku tidak salah paham terhadapnya. “Ray, kamu harus berhenti mengajar fisika. Kemana mereka akhirnya mengarah kalau tidak memproduksi lebih banyak lagi bom? Atau menerbangkan manusia ke bulan? Untuk apa? Hal itu bisa jadi potensi lain yang menyebabkan perang. Dengan mengambil kelas malam selama dua tahun, kamu bisa memilih mata pelajaran di bidang kemanusiaan. Sialan Ray, ini alasan kenapa saat ini kita membutuhkan orang-orang baik!”

Aku sudah lama sadar bahwa saat ini tidak mungkin membicarakan sains dengan seseorang yang melihat setiap ilmuwan sebagai manusia tak berperasaan dan insinyur sebagai produsen bom. Sungguh membuat frustasi ketika cara pandang seperti itu sangat populer di kalangan guru sosial. Bahsa sains sesungguhnya kaya akan kreatifitas, memuat emosi, penuh peninjauan, dan tentu saja dalam berbagai hal yang terkait manusia, Finley tetap bersikap sinis . Pemikirannya sudah jelas : Akar segala kejahatan di dunia ini adalah sains. Jadi ketika Finley menjelaskan kemurunganku dengan padangan seperti itu, apa yang bisa aku lakukan selain sekali lagi mengangkat bahu sampai topik itu berlalu begitu saja?       

“Kamu tidak akan mau mengakuinya,” Finley melanjutkan semakin bersemangat. “Kemurunganmu dan rasa bersalahmu tergambar jelas di wajahmu. Percaya padaku, aku melihatnya dengan jelas. Ekspresi wajahmu seperti Oppenheimer[2]. Tentu saja dia lebih punya banyak alasan untuk merasa bersalah seperti yang kamu rasakan Ray, tapi yang perlu kau sadari adalah kalian semua terlibat di dalamnya. Seluruh ilmuwan berbagi rasa bersalah akibat bom. Sialan, bahkan para pengajar sains berbagi perasaan itu. Semua pengajar!”

“Kenapa hanya pengajar sains?” balasku. “Kenapa tidak setiap guru? Lihat anak-anak yang kamu hadapi setiap hari. Apakah kamu pernah berpikir apa yang kamu lakukan terhadap mereka? Demi tuhan Finley, mereka mematuhimu seolah-olah kamu adalah tuhan.”

Aku tidak membela diriku sendiri. Tidak ada manfaatnya melawan Finley. Sesungguhnya aku bersimpati pada sumber dari perasaannya. Ilmu sosial telah dilupakan dalam dunia pengobatan kanker dan perbintangan. Mereka tetap kekurangan dana, kekurangan tenaga, dan tidak memiliki kebanggan. Akhirnya (Departemen Inggris untuk beberapa alasan khusus) menerima terlalu banyak perempuan yang memilih profesi tersebut karena disaat kuliah mereka gagal menikah yang merupakan sebuah pencapaian tertinggi. Karena alasan-alasan ini, Finley berhak bersikap getir. Pada saat yang sama, tidak satu orang pun berhak disalahkan. Sekalipun aku membiarkan Finley berbicara semaunya, aku dengan tegas menyampaikan ketidaksetujuanku dengan pendapatnya. Jika dia bersikeras, dia akan melakukan analisis lain atas kemurunganku, dan analisis terakhirnya ini lebih ilmiah dibanding lainnya. “Pola makanmu tidak sehat Ray!” Sebagai balasannya, aku akan mengangkat kedua tanganku seperti gerakan membaca, “Perhatikan aku, apa aku terlihat kekurangan makan?” Pada akhirnya kami berdua tertawa lepas dan jika masih ada waktu, kami akan terus minum. Sepanjang piknik akhir smester berikutnya, aku kembali dihinggapi kemurungan. Kemurungan yang lebih buruk.

Apa yang tidak Finley pahami, -- tidak juga kamu jika kamu mengira untuk menderita seseorang harus menjadi juru tulis kasar – adalah mengajar profesi bisa jadi merupakan pekerjaan paling muram di dunia. Siapapun yang tidak memahami kenyataan ini, atau tidak merasakannya mungkin dia telah berhasil mengabaikan fakta atau dia lebih tahu dariku. Tuntutan tugas ilmiahku membuatku berpeluang melakukan kesalahan sendiri, tapi tidak terjadi tanpa terlebih dahulu aku sampaikan kasusku.   

Biarkan aku coba paparkan tentang kondisi murungku melalui jadwal aktifitasku secara acak. Kita mulai dari hari kerja di sore hari. Sebut saja Hari Rabu di mana pada hari itu aku harus memberi nilai untuk tugas paper. Kelas terakhirku pada hari itu adalah fisika umum, berlangsung jam dua lebih tiga puluh. Aku akan pulang pada jam empat. Setelah menyesap beberapa bir, aku akan menyiapkan makan malam. Sesuatu yang menyenangkan untuk memenuhi selera nafsu makanku. Makan malam yang sederhana, biasanya terdiri dari beberapa jenis rebusan. Setelah itu piring kotor aku letakan di bak cucidan dan aku beranjak ke ruang belajar untuk memeriksa tugas paper.

Aku menggambarkan apartemen yang aku sewa seperti California bagian selatan yang menyeramkan. Secara rasional aku sadar bahwa di manapun, kota sebesar ini akan memiliki sudut seperti itu. Dengan usil, aku selalu membayangkan bahwa bangunan modern berbentuk ganjil yang aku tinggali saat ini adalah evolusi yang tidak tepat dari air limbah dan segala jenis gas beracun yang dipelihara. Apartemenku yang dari jauh tampak seperti kotak gandum yang diparut adalah satu di antara 6 unit. Tepatnya nomor 31 yang mana berdasarkan aritmatika yang teliti, menempatkanku di pojok lantai atas. Tema dekorasi apartemenku adalah tropis. 

“Sea Breeze Manor,” nama tema dekorasinya terpampang di pintu masuk bangunan, mungkin untuk memberi kesan sesuai yang diharapankan. Angin laut sepoi-sepoinya tidak nyata ada, mengingat lokasi apartemen berada sekita 60 mil dari laut.  Tapi apartemen ini memiliki kolam renang yang sangat luas. Halamannya ditumbuhi pepohonan kaktus, dilengkapi musik ala hawai, pepohonan palem yang dihiasi warna warni lampu khas natal berkelip pada malam hari, dan juga pelayan berpakaian kimono yang menyediakan layanan kamar. Kamarku terdiri dari dua kamar. Salah satunya aku fungsikan sebagai ruang kerja. (Ini memberi kesan berlebihan dibanding kenyataannya di mana aku tidak menata ruangan ini selain memindahkan meja dan lemari buku. Kasur di kamar ini aku balik menghadap dinding). Ada banyak ruang melebihi kebutuhanku termasuk ruang tamu yang luas, kamar mandi berukuran besar dan dapur yang terhubung dengan ruang makan. Dekat pintu masuk ruang tamu merupakan bar bergaya minimalis.

Aku tidak benar-benar jatuh hati dengan apartemenku, tapi pada satu titik aku tidak sadar apartemenku telah memberiku pengaruh. Sebagai umpama, aku tidak mengaitkan lingkungan rumah dengan kemurunganku yang kerap datang. Itu karena aku jarang berada di rumah. Sekalipun di rumah, aku menghabiskan waktu untuk mengoreksi tugas paper atau menyiapkan materi. Meskipun begitu, aku sudah menghuni “Sea Breeze Manor” selama lima tahun dan belum sekalipun aku menggunakan kolam renangnya. Aku juga menolak setiap undangan pertemuan di gedung. Dengan kata lain, aku membayar tagihan, menerima tempat tinggal, ruang kerja, dan layanan petugas. Itu saja yang aku butuhkan. Ada saat-saat di mana aku berkeinginan untuk pindah dari apartemen tropis ini tapi untuk satu dan alasan lainnya, aku memilih bertahan dan tidak ada lagi hasrat untuk pindah.

Pada Rabu sore aku pergi ke ruang kerja untuk mengoreksi paper. Jika aku berniat, aku bisa mendengar petikan gitar ala hawai. Jika udaranya bagus, akan ada suara tawa dan teriakan meminta bir. Aku biasanya mendengar sekilas lalu kembali bekerja.

Sebagian besar guru tidak menyukai tugas paper, karena itu sebuah lembaga para pembaca disewa guru untuk mengerjakannya. Aku tidak pernah menyewa pembaca dan tidak pernah berniat melakukannya. Karena dalam tugas paper aku mengalami saat-saat muram dari profesiku. Faktanya, satu-satunya masa ketika aku merasakan kehangatan tulus pada siswaku, adalah saat aku memeriksa tugas paper yang dikerjakan mereka dengan baik. Bagaimanapun, perasaan hangat itu menguap saat malam berakhir. Ketika aku mengembalikan paper kepada mereka, aku memberikan nilai A dan F secara tak acuh. Walaupun setiap paper menunjukan kemampuan yang berbeda, saat lonceng pertama berbunyi, mereka semua adalah jenis yang sama.

Sebagai guru aku memiliki kebaikan tersendiri, di mana aku selalu memeriksa dan mengembalikan paper sehari setelah aku mengumpulkannya. Pada Rabu malam aku biasa memeriksa tugas paper hingga larut malam. Aku akan kelelahan dan tidak sempat mencuci piring. Aku langsung tertidur dengan televisi yang masih menyala. Televisi itu selalu menyala ketika aku tidur dan mati saat aku bangun di pagi hari. Aku menduga secara tidak sengaja aku mematikannya di sela-sela tidurku.

Paparan yang aku sampaikan di atas bisa menjadi indikator kemurungan yang aku sebutkan. 
Dari sudut pandangku, aku harus mengatakan bahwa aku hanya memaparkan rutinitas hidupku. Atau inti informasi di mana penjelasanku bisa dikontruksi. Sebuah alternatif dari teori milik Finley. Kemurunganku tidak terjadi secara berkala. Itu adalah respon dari beberapa stimulus. Kemurunganku justru terjadi terus menerus dan tidak tetap. Sulit dijelaskan layaknya partikel fisika tapi jelas terasa. Dalam bentuk lain, kemurunganku ibarat jaring laba-laba. Aku mendapatkannya setelah aku berjalan ke arahnya, yang mana sudah terlambat bagiku untuk menghindar dari penderitaan yang diakibatkannya. Aku katakan aku murung, dan siapa di antara kalian yang meragukan fakta ini? Sebagai guru aku memiliki hak untuk bermuram durja dibanding juru tulis kasar dengan kehidupan mereka yang tak masuk akal.

Karena harus bekerja larut malam untuk mengoreksi tugas paper, aku memulai kelasku di Hari Kamis pada jam sembilan pagi. Aku segera mengembalikan tugas paper mereka, karena aku tahu siswaku menunggu hasilnya. Jika aku tidak segera mengembalikannya, mereka akan khawatir dan tidak mendengarkan pemaparanku. Ketika aku serahkan tugas papernya, mereka akan memeriksa hasilnya sekitar lima menit di mana mereka mengerang atau kegirangan. Lalu aku akan memulai sesuatu apa yang kalian sebut sebagai “hari pelajaran.”

Di luar rasa letihku, waktu belajar berlalu begitu cepat. Ini salah satu fakta bahwa aku tidak menyadari keadaan di sekitarku. Seperti dalam kasus apartemenku. Tepat pada jam sepuluh lebih sepuluh, bel berbunyi sebelum aku menyadarinya dan siswaku berhambuaran menuju lorong. Berhubung aku tidak ada kelas sampai jam sebelas, dengan sisa tenaga aku pergi ke ruang fakultas untuk membuat segelas kopi. Dan aku selalu kaget saat menyadari bahwa seorang siswa sedang berjalan di sampingku. Mungkin dia sudah berada di situ sejak beberapa saat lalu.

“Ada yang tidak aku mengerti dari Ockham razor[3],” tanya siswa itu, atau jika siswa yang bertanya adalah seorang gadis, pertanyaannya akan lebih membingungkan, “Tuan Bowles? Ockham razor?”

Selalu saja, apapun pertanyaan yang dilontarkan, aku menjawab seperti ini : Bahwa konsep ilmiah membutuhkan banyak waktu untuk bisa dicerna. Jika kamu mempelajari kembali materinya secara serius dan sering, maka kamu akan segera mengerti. Jika tetap tidak mengeti, temui aku pada jam kantor.

Meskipun aku memberi jawaban seperti itu, para siswa tetap berada di sampingku dan pada waktu tertentu, dia bahkan menemaniku sampai aku tiba di fakultas. Aku kira mereka memilih menemaniku, karena jawabanku tentang sulitnya memahami konsep ilmiah membuat mereka tersanjung atau pemaparanku telah memberinya harapan. Para siswa pada akhirnya akan patuh pada kata-kata gurunya dan jika Tuan Bowles berkata pemahaman akan tiba pada waktunya, maka tuhan akan memberikannya jika saatnya tiba! Karena terburu-buru untuk minum kopi, aku tidak mencoba menganalisa fakta ini lebih jauh. Aku akan memikirkan hal ini nanti karena aku justru mengantisipasi percakapan pagi hari dengan Finley yang kini sedang menantiku.

“Ray, kamu terlihat berantakan!” ujar Finley sambil tertawa. “Apa kamu semalam kurang tidur?” dia menyikutku, “apa aku kenal perempuan itu?” tambahnya sambil berkedip. “Hey, katanya kamu kenal gadis bernama Sweeny, gadis cantik berambut pirang? Bagaimana kabar dia di kelas? Aku benci harus menurunkan nilai pelajarannya dari rata-rata.”

Alice Sweeny yang kami bicarakan berada di kelasku berikutnya. Dia duduk di barisan depan seperti Peggy Nelson, siswi tingkat akhir bersama dengan Audrey yang satu tingkat lebih muda. Ketiganya adalah ratu sekolah, anggota organisasi sekolah, dan gadis idola fakultas. Ned Cox juga berada di barisan depan tapi untuk alasan yang berbeda dari Alice. Ned sangat pintar, siswa paling cerdas yang pernah aku ajar selama bertahun-tahun. Faktanya dia terlalu cemerlang untuk berada di kelasku atau di SMA manapun. Dia seharusnya berada di Cal. Tech[4]. Aku akan kecewa jika dia tidak berakhir di sana.

Alicia Sweeny yang pertama kali menyapaku ketika aku masuk, “selamat pagi Tuan Bowles!” Dia mengenakan sweater merah, cukup sopan tapi terlalu ketat untuk ukuran tubuhnya. Roknya tersingkap sampai ke atas lutut. Alice tersenyum kepada teman-temannya. Dia melontarkan beberapa pertanyaan agar aku tahu bahwa dia memperhatikan pemaparanku. Dia juga kerap mendatangiku selama jam kantor dibanding siswa lainnya. Finley melaporkan hal sama yang dialaminya. Alice adalah gadis yang sibuk.

Sekali lagi aku memulai kelas dengan menyerahkan tugas paper. Bisa jadi, pada malam sebelumnya aku merasa akrab dengan Ned Cox; dia bisa memecahkan masalah lintasan yang rumit secara rapi. Tapi pagi ini aku menyerahkan paper miliknya tanpa melirik sedikitpun.

Setelah selesai aku kemudian berdiri di depan, menanti para siswa. Tangan-tangan secara bergantian membagikan kertas paper pada pemiliknya. Mereka lantas mengerang dan menahan nafas. Meskipun begitu, beberapa saat kemudian mereka kembali duduk tertib. Ned Cox tetap tenang seperti biasa. Aku bertanya-tanya apakah dia memiliki teman untuk diajak berkomentar tentang nilai papernya. Segera para siswa duduk menantiku. Mata mereka memandang dengan sorot penuh harap yang selalu membuatku terkejut dan tentu saja membuatku gentar. Mereka terus memandangku, kelasku sedang menunggu perkataan keluar dari mulut guru mereka, perkataanku yang akan mereka cerna menjadi coretan secepat yang mereka bisa dengan pena terselip di tangan belia mereka. Siswa-siswaku, kelasku, sedang menantiku berbicara dan bukan untuk sesuatu seperti kata-kata bijak. Bukan. Mereka menantiku, seperti aku yang menanti mereka kembali tertib beberapa saat setelah paper diserahkan. tertib.

Lima puluh menit berlalu, jamnya lebih panjang dari kelas sebelumnya. Aku melirik jam tanganku (di kelas tidak ada jam) yang menunjukkan waktu tersisa sekitar dua puluh menit. Setelah ini aku masih harus mengajar. Aku hanya memiliki waktu sekitar sepuluh menit untuk menggunakan kamar mandi siswa. Aku tidak terbiasa menggunakan kamar mandi siswa tapi pada jam seperti ini, aku tidak ada waktu untuk menggunakan fasilitas fakultas yang jauh. Setelah kelas berakhir, aku bergegas ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam.

Aku merasa ngeri saat mendengar diriku jadi topik pembicaraan dua orang siswa. Aku pernah memergoki hal yang sama sekitar setahun yang lalu.
“Apa nilai yang kamu dapat dari Bowles?”
“A-B Plus.”
“Aku juga.”
“Tidak perlu mengeluh.”
“Hey, aku baru tahu kalau dia masih lajang.”
“Oh ya?”
“Aku bertaruh dia pasti seorang perkasa.”
“Mungkin saja.”
“Sebenarnya dia orang yang baik.”
“Tahun depan aku ingin dia yang mengajar kelas kimiaku.”
“Semoga berhasil. Ada banyak yang mendagtar.”

Aku tentu saja menunggu sampai kedua siswa itu pergi sebelum keluar dari kamar mandi dan bergegas ke kelas berikutnya. Aku merasa malu mengetahui diriku sungguh populer, meskipun pada dasarnya aku tahu fakta ini dengan pasti. Namun, mendengarnya langsung bahwa para siswa mengantri untuk kelasku tetap saja membuatku terguncang. Hal apa yang membuatku populer? Tunjukan padaku siswa di kelasku sepuluh tahun yang lalu dan saat ini yang bisa menentukan kecepatan benda bergerak saat terjatuh di atas tanah. Benda yang dijatuhkan dari ketinggian lima kaki. Atau tunjukan padaku seorang siswa yang baru satu atau dua tahun lulus yang bisa mengkonversi derajat dari Fahrenheit ke Centigrade. Dan menjadi Kelvin. Apa yang sudah aku lakukan sehingga menjadi populer?

Aku akan menemukan tanda lain yang menunjukan kepopuleranku  di hari yang panjang ini, hari Kamis. Di lorong aku bertemu dengan Alice Sweeney yang melirik padaku. Dia tersenyum polos. Akan ada lebih banyak senyuman lagi dan anggukan penuh arti. Atau aku akan mendengar seorang gadis berkata pada temannya, “Tuan Bowles lucu,” atau seorang lelaki berujar, “Tuan Bowles keren!” atau Jerry Wilder salah satu penasehat sekolah yang tiba-tiba berhenti dan bertanya, “apa yang kamu lakukan di kelas, membuat lelucon? Ada banyak sekali siswa yang ingin mengikuti kelasmu.” Dengan malu aku berkata “tidak”. Ketika seseorang sadar tentang keadaan ini, aku dinyatakan sebagai guru yang populer. Tuan Bowles telah bersama kita selama dua puluh tahun dan dia masih tetap menjadi guru yang populer.

Akhirnya jam kelas terakhir hari ini pun dimulai. Jam dua tiga puluh. Seorang gadis di barisan depan menyapa, “selamat sore Tuan Bowles!” Aku melirik lututnya : seorang suami sedang menantikan lutut itu. “Apa anda sudah mengembalikan papernya Tuan Bowles?” seseorang bertanya. Pertanyaan seperti itu kembali menyadarkanku dari lamunan. Segera aku serahkan paper kepada para siswa, Peterson, Brown, Zink. Aku berdiri di hadapan papan tulis, mengambil kapur, dan menunggu sampai suara dengungan berhenti. Satu persatu sorot mata kembali tertuju padaku, suara dengungan pelan-pelan menghilang, dalam beberapa menit kelas ini sepenuhnya jadi miliku.

Apakah kemurungan merupakan konsekuensi dari kekuasaan, kekuasaan yang aku miliki pada waktu penting ketika aku mendapatkan perhatian kolektif dari siswa? Wajah mereka lebih waspada daripada wajahku untuk jam pelajaran yang melelahkan. Mereka menantiku berbicara. Dan, demi tuhan, apa yang sebenarnya ingin mereka dengar dariku?

Ada sebuah ironi dalam pertanyaan ini – satu dari cara kamu menghargai absurditas—yang membuatku tersenyum. Serta merta para siswa bernafas lega. Aku melirik ke luar jendela, ke sebrang halaman yang ditutupi bayang-bayang memanjang. Berapa kecepatan bayang-bayang itu saat merayap di halaman? Aku memutuskan masalah itu bisa diselesaikan nanti. Saat ini tidak perlu serius.  Suasana seperti sore ini, kuis yang ditiadakan, dan nafas lega para siswa adalah hal yang kelewat santai untuk diisi dengan fenomena fisika. Aku harus meminta mereka mengerjakannya nanti. Lantas aku melontarkan pertanyaan, “Siapa yang akan memenangkan kuis minggu ini?” dengan kompak mereka menjawab “Kami!” Setelah itu aku bergabung dalam obrolan mereka. Membiarkan mereka berbicara denganku dan begitu jam hampir berakhir, obrolan sampai pada topik tentang takdir mereka hingga berakhir di PHS. 

Aku melemparkan sebuah lelucon yang dibalas tawa terbahak-bahak. Kegembiraan mereka membuatku tenang. Akan ada waktu lain untuk membicarakan fisika. Saat ini sudah cukup. Toh nanti kita akan membahasnya kembali. Aku akan berjalan kembali ke dalam jaring laba-laba, jaring kemurungan, dan ketika aku berada di dalamnya aku akan bertanya pada diriku sendiri apa yang sedang aku lakukan di sini, berdiri di hadapan pikiran-pikiran yang masih segar dan tubuh-tubuh yang masih belia. Apa sebenarnya yang aku harapkan?

Jawabannya akan singkat. Aku cukup mengangkat baru lalu melangkah menuju papan tulis, menggambar sebuah lintasan, memulai persamaan, dan aku akan mendengar suara pena yang beradu dengan kertas. Dan pelajaranpun dimulai!



[1] Orang yang membenci perkawinan
[2] Julius Robert Oppenheimer adalah ilmuwan dan fisikawan asal Amerika dan mengajar di Universitas California, Berkeley
[3] Prinsip pemecahan masalah yang kerap digunakan para ilmuwan. Prinsip ini digagas oleh William of Ockham
[4] California Institute of Technology

Comments