Diterjemahkan dari cerpen judul : Death and the Woman karya Gertrude Atherton
Kepedihan yang kini
dirasakannya tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Suaminya berada diambang
kematian dan perempuan itu hanya berdua dengannya di lantai tiga sebuah
apartemen, di kota New York. Musim panas sedang berlangsung. Penghuni lain
memilih pergi ke pedesaan. Seluruh pelayan diliburkan kecuali juru masak yang
selalu tidur nyenyak di lantai lima setiap kali selesai bekerja. Seperti
penghuni lainnya, pemilik apartemen berada di luar kota untuk libur panjang.
Siang itu, tiupan angin mengembus
melalui jendela yang sengaja dibuka. Tidak terdengar suara apapun dari deretan halaman
sempit apartemen atau dari perumahan sekitar. Jalanan semakin senyap. Suara
keras menyerupai geraman dan jeritan terdengar di kejauhan secara
berselang-seling lalu redam oleh debur ombak.
Duduk tak jauh dari
sang suami, perempuan itu tersiksa duka tak terperikan yang mungkin dirasakan
seorang manusia. Dengan muram, dia tatap tarikan nafas pelan sosok lelaki yang
pernah jadi teman, sahabat, sekaligus kekasihnya selama lima tahun masa muda
penuh petualangannya. Dia berharap sebuah keajaiban tiba-tiba datang. Kini, tubuh sang
suami telah hancur digerogoti penyakit. Wajahnya mengerut. Baju tidur yang
dipakainya menjadi terlalu besar untuk tubuh yang tadinya selalu berbobot,
berotot, dan selalu sehat berkat olahraga. Bagaimabapun, perempuan itu bahagia dengan perubahan yang terjadi pada tubuh sang suami serta keindahan lainnya
yang juga hilang, dibanding harus dibawa masuk dalam peti mati. Tangan suaminya yang dulu hangat dan kuat
kini terkulai lemah, warnanya berubah kekuningan di atas selimut berbulu. Dia
tahu seluruh tubuh itu sudah dingin dan cairan sudah mulai membasahi
selimut. Selama beberapa detik, perempuan itu merasakan getaran dalam
dirinya. Kini, getaran yang sama ikut hilang dari suaminya. “Hilang untuk
selamanya”, ucapnya lirih
Tiba-tiba saja dia
bersandar pada tubuh suaminya. Merasa yakin suaminya masih berada di sekitarnya.
Di suatu tempat. Selama dia belum berhenti bernafas, maka diri dan jiwanya akan
tetap bersama jasadnya. Tapi kenapa sang suami tidak menampakan diri
padanya? Apakah dia berada di ruangan itu dengan sadar dan tidak bisa kembali
melebur dengan satu-satunya media karya Sang Pencipta? Apakah dia sedang
menderita melihatnya berduka, berbagi kesedihan dan berharap bisa kembali untuk
mengakhiri siksaan yang dialami sang istri? Perempuan itu memanggil nama sang suami. Dia
bahkan mengguncang-guncang tubuhnya dengan marah, tergila-gila ingin
mengoyak tubuh itu agar bisa menemukan sosoknya. Dalam kekalutan itu dia
tersadar, perbuatannya akan mempercepat kepergian sang suami.
Namun suaminya yang
sekarat tetap bergeming. Perempuan itu lantas menyingkap pakaian sang suami dan
menempelkan pipi ke dadanya, sekali lagi memanggilnya. Bagaimana mungkin
keterikatan mereka masih begitu kuat jika sang suami sudah pergi. Perempuan itu
yakin suaminya masih ada. Separuh jiwanya tidak akan pergi sebelum benar-benar
meregang nyawa. Tapi kenapa suaminya tidak bereaksi seakan-akan kematian telah
menghampirinya. Dari bawah bibirnya ia bisa merasakan denyut jantung suaminya
tidak mengalami kemajuan. Dengan tergesa dia rentangkan kedua tangannya ke
atas, ke bawah, dan ke segala sisi, seakan-akan menghentikan sesuatu agar tidak lari
darinya. Dia kemudian melompat ke atas lantai dan berjalan menuju jendela.
Khawatir dirinya mulai kehilangan akal sehat. Dia telah meminta orang-orang
untuk meninggalkannya sendirian dengan sang suami dan dia tidak berharap
tingkahnya mengundang orang-orang menertawakannya.
Dari jendela dia mengamati sesuatu menyerupai tirai mulai menutupi deretan tanaman di
halaman. Membuatnya tersadar hari sudah beranjak malam.
Dia segera kembali ke
sisi suaminya, tidak bisa memastikan apakah dia sudah berdiri di samping
jendela selama berjam-jam atau hanya beberapa detik, apakah suaminya telah
meninggal. Dilihatnya wajah sang suami yang masih memperlihatkan tanda-tanda
kehidupan. Dengan wajahnya, dia usap wajah sang suami. Tubuhnya menjadi
bergetar dengan gigi saling beradu seakan-akan udara dingin baru saja bertiup.
Dia lalu beranjak merebahkan diri di
kursi, dia letakkan kedua tangannya di dada, lalu menatap lebar pahatan wajah
pucat sang suami. Dalam suasana temaram, garis wajah sang suami semakin tidak
telihat. Seharusnya dia menyalakan gas untuk mengusir nyamuk, tapi dia tidak
ingin mengurangi udara segar yang pasti saat ini sangat dibutuhkan sang suami.
Dia juga tidak ingin melihat suaminya meninggal dengan mata membelalak akibat
kekurangan udara.
Pandangannya semakin
terbatas. Sejauh mata memandang, tak ada apapun yang bisa dilihatnya. Dia
pejamkan mata dan menanti udara dingin masuk, menyejukan kamar. Ketika dia
membuka mata, malam telah tiba. Wajah sang suami menghilang dalam kegelapan
kamar. Cahaya bintang di langit terhalang udara lembab di atap rumah.
Dengan penuh rasa
takut, dia segera menempelkan telinganya di atas bibir sang suami. Dia lega
ketika masih bisa merasakan nafas berembus pelan dari bibir suaminya. Bergerak
pelan, diciumnya bibir itu lalu dengan segera dia kembali tenggelam dalam
kesedihan. Bibir itu bukan bibir yang dikenalnya selama ini.
Tarikan nafas sang
suami pun kian lemah. Bahkan dalam posisi setengah berbaring, perempuan itu
tidak bisa mendengar nafasnya dan dia bisa saja tidak menyadari saat-saat
ketika suaminya meregang nyawa. Dia lantas meletakkan tangannya di dada sang
suami. Baginya, berada di samping sang suami di saat-saat terakhirnya bukan
sekedar untuk menyaksikan kepergiannya. Kehadirannya adalah bukti dan
penghargaan atas cinta di antara mereka.
Dalam udara panas
malam hari, dia tetap duduk dan sekali lagi meraba jantung yang sedang menanti kematian datang. Saat itu, pikiran
aneh tiba-tiba menghampirinya. Di mana sang kematian berada? Kenapa dia datang
secara perlahan? Siapa yang telah menghalaunya? Kapan pastinya dia akan datang?
Perempuan itu merasa sang kematian sedang menikmati waktu senggang yang
dimilikinya, melangkah pelan dan terukur layaknya iring-iringan manusia menuju
pemakaman. Untuk mengenyahkan pikiran anehnya, dia memikirkan alunan musik di
teater yang selalu dimainkan sesaat sebelum sang pahlawan keluar.
Pikiran-pikiran liar
yang menghampirinya membuatnya keheranan dan marah. Dia lalu kembali meraba
dada yang terus berdenyut pelan itu. Untuk beberapa saat keringat membasahi
wajahnya tapi segera lega ketika mengetahui suaminya masih hidup.
Tanpa disadarinya,
pikiran liar kembali menghampirinya. Kematian – di mana sekarang dia berada?
Ini sungguh pengalaman aneh : Di rumah besarnya, perempuan itu duduk sendirian
menanti kematian datang dan merenggut sang suami darinya. Tidak. Kematian tidak
merenggut, dia akan mencuri sang suami melalui do’a lirih layaknya dosa ketika
mendekati orang suci. Menyelinap, tak terlihat, dan tidak berlaku adil, Musuh yang tidak
bisa dilawan oleh kekuatan manusia. Seandainya saja sang kematian mau datang memanfaatkan segala kesempatan layaknya seorang
perkasa, dia tahu kematian bisa takluk padanya. Para perempuan telah lama
dikenal mampu mengalahkan kekuatan raksasa hanya dengan mata belati. .
Sesuatu tiba-tiba
merayap di kusen jendela, membuat perempuan itu menjerit histeris. Dia mencoba
berdiri dan menoleh ke belakang, matanya secara otomatis mencari-cari sesuatu.
Dari atas kusen, dia melihat sepasang mata berwana hijau menatapnya tajam.
Tiba-tiba seekor kucing, sang pemilik mata melompat turun dan menghilang begitu
saja.
Dia kini sadar dirinya
tengah diliputi ketakutan luar biasa. Dia bertanya-tanya, “mungkinkah aku takut
dengan kematian? Mungkinkah aku takut pada kematian yang sedari tadi belum juga
tiba? Aku adalah perempuan pemberani. Suamiku selalu menyebutku seorang heroik.
Selama ini, ketika aku bersamanya, tidak ada hal yang perlu ditakutkan.
Tapi sekarang, aku justru ketakutan setelah memohon kepada orang-orang untuk
membiarkanku berdua saja dengan suamiku. Alangkah memalukan!
Ketika akhirnya dia
duduk kembali, tubuhnya masih gemetar ketakutan. Sekali lagi dia raba dada sang
suami dan berharap dirinya meminta Mary berjaga di depan kamar. Kamar ini tidak
dilengkapi bel untuk memanggil seseorang. Beranjak dari kamar memanggil
seseorang akan lebih buruk daripada menghina sebuah rumah ibadah. Sedetikpun
dia tidak ingin meninggalkan suaminya dan kemudian mendapatinya mati sendirian
ketika dia kembali ke kamar.
Kini dia merasakan
sakit di kedua lututnya. Dia mulai diliputi kengerian tak beralasan. Bola
matanya berputar-putar khawatir. Apakah dia harus menunggu sang kematian
datang. Akan berapa lama lagi? Sepertinya tidak akan lama lagi, denyut
jantungnya sudah semakin lemah. Dia pernah mendengar bagaimana seorang
pemberani sekalipun akan kalut oleh kekuatan kematian. Perempuan itu sama
sekali tidak mengalami ketakutan tidak wajar pada kematian, tapi menanti dan
terus menanti kematian datang selama berjam-jam membuatnya merasakan sesuatu
sedang diambil darinya secara pelan-pelan.
Disertai rasa marah,
dia membungkukan badannya pada sosok yang pernah menjadi pelindungnya. Kemana
semangat menggebu yang selama ini selalu ada untuknya? Berani-beraninya dia
pergi dan lari darinya? Dia lalu menjatuhkan diri di atas bantal, mengerang
penuh duka sembari mengingat sosok sang suami di masa lalu. Ketakutan
kembali menghampirinya, membuatnya duduk tegak, kaku, dan kelelahan dan dengan
awas terus menanti sang kematian datang.
Tiba-tiba dia
mendengar sebuah suara, jauh di dasar apartemen, di lantai satu, Seseorang seolah-olah
sedang merangkak di tangga dengan penuh hati-hati, khawatir gerakannya didengar
orang lain. Suara itu terdengar pelan, setiap langkahnya penuh perhitungan.
Perempuan itu
tergagap. Wajah dan sekujur tubuhnya basah kuyup, seakan-akan arus kematian
telah menghempas dirinya. Dia merasakan sesuatu yang kaku mulai menjalar di
akar rambutnya. Menduga itu hanya pewarna rambut yang mulai membeku. Dia tidak
bisa mengangkat tangan untuk memastikannya. Otot dan urat saraf dalam tubuhnya
kini semakin tak berdaya.
Dia tahu kematianlah
yang kini sedang menghampirinya di rumah yang senyap itu. Tahu bahwa bukan
telinga di tubuhnya yang mendengar kematian itu datang. Pendengaran dalam
pikirannya yang justru mendengarkan kehadiran sang kematian.
Dia bisa mendengar
sang kematian tertatih kepayahan di tangga seperti seorang renta yang lelah
dengan pekerjaannya. Dia tidak percaya, bagaimana mungkin kematian bisa
mengalami kelelahan dengan pekerjaanya? Setiap detik sang kematian harus
menjentikan jarinya yang dingin dan keras pada jiwa yang sedang berjuang keluar
dari tubuh yang membusuk. Mungkin kesungguhan misi sang kematian hanya ditujukan
bagi mereka yang layak atas kedatangannya.
Suara itu akhirnya
tiba di tangga pertama apartemennya. Merangkak pelan seperti seekor kucing,
nyata seperti langkah kaki yang tak tergoyahkan, dan tak bisa dihentikan.
Tangannya segera
menyentak, meraba sekitar jantung yang berdenyut semakin lemah. Denyut jantung
itu akan berhenti tepat saat jejak langkah kematian berhenti di samping tempat
tidur.
Dia tahu kini dirinya
bukan lagi sesosok manusia, dia hanya kombinasi antara pikiran dan pendengaran.
Di rumah besar yang senyap itu, langkah sang kematian terdengar semakin keras
dan menggelegar seperti guntur.
Dia pun menghitung
langkah sang kematian satu—dua—tiga, dan merasa tersiksa oleh setiap jeda
panjang yang diambil sang kematian dalam langkahnya. Begitu sang kematian
menjejak tangga berikutnya secara pelan-pelan, dia kembali menghitung. Berapa
banyak anak tangga yang harus dilewati? Dia berharap dia tahu. Ah, itu tidak
perlu! Jejak langkah nyata memberitahunya jarak sang kematian yang semakin
dekat. Sang kematian akhirnya tiba di apartemenya, bergerak pelan dan berhenti
tepat di depan pintu kamar. Sesaat kemudian gagang pintu berguncang. Ketukan
keras pada pintu menimbulkan getaran di dinding kamar. Saat gagang pintu
berputar cepat, sang perempuan segera menghempaskan diri dalam lengan sang
suami.
Pintu terbuka, Mary
masuk dan mendapati mayat sang perempuan sudah terbaring di samping mayat sang lelaki.
Sumber : Death and the Woman
Comments
Post a Comment