Gifted (2017)
Bagaimana kita memperlakukan kejeniusan? Reaksi yang umum adalah kekaguman. Lalu muncul pemakluman ketika mereka diperlakukan secara khusus. Bahwa para pemilik otak jenius layak berada di lingkungan ekslusif agar kejeniusannnya tidak sia-sia, apalagi (istilah dalam film) tercemar orang-orang dengan kemampuan ‘rata-rata’.
Kondisi tersebut terjadi pada Marry (Mckenna Grace) ketika dia berhasil menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan Bonnie, wali kelasnya di adegan pertama dalam film Gifted. Pihak sekolah dengan segera menganjurkan Marry pindah ke sekolah ekslusif khusus anak-anak jenius. Marry baru saja berusia 7 tahun, ia baru saja mencicipi bangku sekolah bersama anak seusianya yang awalnya membosankan. Frank (Chris Evans) yang merupakan paman sekaligus wali dari Marry berkeras menolak gagasan tersebut.
Penolakan Frank jadi kritik kuat film ini terhadap fenomena umum memperlakukan kejeniusan. Disadari atau tidak, belakangan ini kita sudah terbiasa pada fakta banyaknya sekolah ekslusif. Hanya menerima orang-orang dengan kamampuan otak di atas rata-rata. Di Indonesia mungkin tidak ada perbedaan signifikan karena ekslusifitas masih dikelompokan sesuai usia. Namun, fenomena di Amerika jelas berbeda. Sistem pendidikan yang lebih fleksibel memungkinkan anak jenius berada satu ruang dengan orang dewasa. Fenomena ini setidaknya tampak jelas dalam layar kaca. Misalnya, dalam serial drama This is Us. Tokoh Randall harus terpisah dari dua saudaranya dan pindah ke sekolah khusus. Marry sendiri harus berhadapan dengan ambisi sang nenek yang berkeras memasukkannya ke sekolah khusus dan harus saling berebut hak asuh Marry dengan Frank, anak kandungnya sendiri.
Apa yang menjadi kritik dari film Gifted dan salah satu episode serial This is Us tentu bukan kejeniusan itu sendiri. Kritik tertuju pada fenomena kejeniusan yang dimiliki anak kecil dan bagaimana lingkungan bereaksi. Berangkat dari film ini, kejeniusan bagi anak kecil tidak selalu berarti anugrah. Kejeniusan justru menjadi sumber ketercerabutan mereka dari dunia seusianya dan dari ornag-orang terdekatnya. Dunia yang mengajarkan mereka tentang hal-hal sederhana (namun penuh makna) yang mereka temui dalam keseharian. Hal yang dianggap tidak begitu penting dibanding memecahkan rumus yang menjelimet. Untuk itu Frank berusaha menutupi kejeniusan keponakanannya meskipun pada akhirnya terbongkar akibat sikap polos khas anak kecil.
Apa yang dilakukan Frank jelas tidak mewakili fenomena yang umum ketika bersinggungan dengan anak jenius. Sikap umum adalah apa yang berusaha disarankan pihak sekolah. Sikap umum adalah apa yang disarankan oleh para hakim yang menyepakati agar Marry diadopsi keluarga lain. Sikap umum adalah apa yang dilakukan sang nenek, Evelyn yang dengan sigap mengenalkannya pada profesor di MIT. Frank justru berbalik arah, memilih berhenti jadi dosen dan menjadi tukang reparasi mesin kapal. Frank ingin memberikan Marry kehidupan manusia kebanyakan yang berbeda dari saudarinya, Diane yang mati bunuh diri. Frank ingin membiarkan Marry mengalami berbagai hal sesuai usianya. Mengalami kenakalan, mengalami jatuh cinta ketika beranjak remaja. Dalam satu adegan Frank berkata, “Bahkan Einstein tetap bersepeda”. Ini menegaskan pesan yang ingin disampaikan bahwa seorang jenius sekelas Einsteinpun layak hidup seperti biasa. Layak menikmati keremeh temehan yang seolah tak penting. Meskipun begitu, pada akhirnya Frank harus mengambil sikap paling fair agar Marry tetap bisa menekuni hobi matematikanya tanpa tercerabut dari lingkungannya.
Sebagai film yang berangkat dari isu serius, film ini secara mengejutkan berhasil menyelipkan humor-humor ringan. Salah satunya berkat kehadiran Octavia Spencer sebagai co-star yang dikenal piawai memerankan peran jenaka. Kejutan lain adalah Chirs Evans sendiri yang berhasil melepaskan citra Captain America dan bertransformasi jadi sosok paman. Tidak ada bayang-bayang Captain America selama Evans memerankan sosok Frank yang amat emosional ketika berhadapan dengan keponakannya. Evans seperti tidak pernah hadir sebagai hero yang selalu jadi tumpuan banyak orang. Ia justru hadir sebagai sosok tak yakin, merasa serba tidak sempurna untuk keponakan jeniusnya. Sepertinya, Marc Webb sudah terbiasa beralih genre dari action ke drama, sehingga ia mahir mengarahkan para pemerannya, dari jenis karakter satu ke jenis karakter lain yang berkebalikan.
Tentu saja, ada citra yang tidak usang mengenai kejeniusan dalam hampir seluruh film dengan isu serupa seperti Beatiful Mind. Bahwa citra jenius melekat erat pada orang-orang yang piawai mengurai rumus paling jelimet. Saya tidak tahu apakah para musisi yang piawai menghasilkan musik maha indah bisa menerima citra jenius seperti para fisikawan dan matematikawan? Apakah Bach digelari sebagai si jenius berkat karya abadinya?
Comments
Post a Comment