Captain Fantastic (2016)

Benarkah film ini dibuat Matt Ross untuk mengkritik konsep pendidikan rumah (homeschooling)? Iya, tapi itu sedikit saja dibanding keseluruhan pesan yang lebih menekankan aspek "arti sebenarnya menjadi orangtua".


Menonton film ini mengingatkan saya pada ucapan Najeela Shihab: “menjadi orangtua adalah pengalaman paling emosional”. Juga personal. Tidak hanya diliputi banyak kekhawatiran akan masa depan anak, ambisi dan harapan orangtua seringkali jadi landasan dalam mengambil keputusan cara mendidik anak. Salah satunya tergambar dalam Captain Fantastic.

Berkisah tentang Ben (Viggo Mortensen), seorang ayah idealis dan penuh disiplin yang mendidik keenam anaknya di belantara hutan. Konsep pendidikan rumah yang diterapkan Ben menekankan pada kemampuan bertahan hidup dan intelektual di atas rata-rata. Hasilnya memang mengagumkan. Keenam anak Ben sangat mandiri dan berpikir kritis dengan argumen kaya sumber. Dibanding sinterklas, mereka lebih mengidolakan Noam Chomsky. Untuk menobatkan status dewasa anak, Ben menguji kemampuan bertahan hidup dengan memburu binatang liar. Ini adalah cara tradisional yang dahulu kala diterapkan suku-suku pedalaman sepeti Indian. Bedanya, oleh Ben cara ini diterapkan juga pada anak gadisnya. 


Namun, seluruh kemampuan dan standar moral yang dibentuk Ben menjadi antiklimaks ketika mereka keluar hutan dan bertemu dengan masyarakat. Keenam anak Ben kesulitan berbaur dan membangun komunikasi dengan cara yang mudah diterima masyarakat termasuk keluarganya. Ketika anak bungsu Ben, Zaja (Shree Crook) begitu lihai menerangkan esensi dari UU HAM, kedua sepupu Zaja lihai bermain Xbox.

Gap antara keluarga Ben dengan dunia luar diperlihatkan Ross dengan amat vulgar sejak adegan awal. Misalnya ketika Bodevan (George MacKay) tak bisa menjawab pertanyaan sederhana dari tiga gadis yang berpapasan dengannya. Bodevan tidak punya topik lain untuk dibicarakan selain dari buku-buku yang telah dilahapnya. Selanjutnya, gap sosial terus ditampilkan Ross melalui dialog dan adegan-adegan berbumbu humor.


Gap inilah yang kemudian jadi pijakan Ross untuk 'membangunkan' kesadaran Ben dari kengototannya. Melalui sebuah adegan yang dramatis, ketika anak gadisnya hampir mati akibat terjatuh dari atap, Ben lantas bersedia mengevaluasi diri dan bertoleransi dengan perubahan. Membuka ruang baru yang selama ini tak disentuh keenam anaknya. Dunia luar. Di titik ini Ross membawa Ben (dan penontonnya) mempertanyakan kembali arti menjadi orangtua. Apakah keputusan-keputusan yang diambil orangtua adalah sebuah garis finish yang tidak bisa dinegosiasi? Apakah keputusan orangtua sudah cukup adil bagi anak atau justru mengubur kesempatan anak?

Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab Ben dengan mengevaluasi metode pendidikan yang diambilnya lalu mengambil jalan tengah. Agak mengecewakan karena jalan tengah dan jembatan gap yang diambil Ross di sini adalah institusi sekolah. Praktisi pendidikan rumah yang saya kenal selama ini memutus gap sosial dengan cara membangun komunitas dengan sesama pelaku pendidikan rumah dan melibatkan pihak luar jadi narasumber kegiatan mereka. Meskipun begitu, Ross tetap menghidupkan Ben dan keluarga kecilnya yang secara pangan mereka mandiri. Ben juga tetap menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anaknya.    

Selain mengkritik konsep pendidikan orangtua yang ekslusif, Ross juga mengkritik gaya hidup masyarakat modern. Salah satunya dalam adegan kocak di bank ketika keenam anak Ben keheranan menyaksikan hampir seluruh orang di bank berbadan gemuk. Indikator gaya hidup di Amerika beberapa tahun ke belakang yang menunjukan seseorang tidak sehat karena pola konsumsi dan aktifitas tak seimbang. Ben dan keenam anaknya pun tampak terang-terangan tidak suka pada kapitalisme. Secara keseluruhan, film ini menghadirkan tontonan yang kaya, mulai dari  naskah, pesan, hingga sinematografi yang mengabadikan alam liar nan indah di Amerika bagian barat.  










Comments

Post a Comment