Benarkah film ini dibuat Matt Ross untuk mengkritik konsep
pendidikan rumah (homeschooling)? Iya, tapi itu sedikit saja dibanding
keseluruhan pesan yang lebih menekankan aspek "arti sebenarnya menjadi
orangtua".
Menonton
film ini mengingatkan saya pada ucapan Najeela Shihab: “menjadi orangtua adalah
pengalaman paling emosional”. Juga personal. Tidak hanya diliputi banyak
kekhawatiran akan masa depan anak, ambisi dan harapan orangtua seringkali jadi
landasan dalam mengambil keputusan cara mendidik anak. Salah satunya tergambar
dalam Captain Fantastic.
Berkisah tentang Ben (Viggo Mortensen), seorang ayah idealis dan
penuh disiplin yang mendidik keenam anaknya di belantara hutan. Konsep
pendidikan rumah yang diterapkan Ben menekankan pada kemampuan bertahan hidup
dan intelektual di atas rata-rata. Hasilnya memang mengagumkan. Keenam anak Ben sangat mandiri dan berpikir
kritis dengan argumen kaya sumber. Dibanding sinterklas, mereka lebih
mengidolakan Noam Chomsky. Untuk menobatkan status dewasa anak, Ben menguji
kemampuan bertahan hidup dengan memburu binatang liar. Ini adalah cara tradisional
yang dahulu kala diterapkan suku-suku pedalaman sepeti Indian. Bedanya, oleh
Ben cara ini diterapkan juga pada anak gadisnya.
Namun, seluruh kemampuan dan standar moral yang dibentuk Ben menjadi
antiklimaks ketika mereka keluar hutan dan bertemu dengan masyarakat. Keenam
anak Ben kesulitan berbaur dan membangun komunikasi dengan cara yang mudah
diterima masyarakat termasuk keluarganya. Ketika anak bungsu Ben, Zaja (Shree
Crook) begitu lihai menerangkan esensi dari UU HAM, kedua sepupu Zaja lihai
bermain Xbox.
Gap antara keluarga Ben dengan dunia luar diperlihatkan Ross
dengan amat vulgar sejak adegan awal. Misalnya ketika Bodevan (George MacKay) tak bisa menjawab pertanyaan sederhana dari tiga gadis yang berpapasan dengannya.
Bodevan tidak punya topik lain untuk dibicarakan selain dari buku-buku yang
telah dilahapnya. Selanjutnya, gap sosial terus ditampilkan Ross melalui dialog
dan adegan-adegan berbumbu humor.
Gap inilah yang kemudian jadi pijakan Ross untuk 'membangunkan'
kesadaran Ben dari kengototannya. Melalui sebuah adegan yang dramatis, ketika
anak gadisnya hampir mati akibat terjatuh dari atap, Ben lantas bersedia
mengevaluasi diri dan bertoleransi dengan perubahan. Membuka ruang baru yang
selama ini tak disentuh keenam anaknya. Dunia luar. Di titik ini Ross membawa
Ben (dan penontonnya) mempertanyakan kembali arti menjadi orangtua. Apakah
keputusan-keputusan yang diambil orangtua adalah sebuah garis finish yang tidak
bisa dinegosiasi? Apakah keputusan orangtua sudah cukup adil bagi anak atau
justru mengubur kesempatan anak?
Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab Ben dengan mengevaluasi metode pendidikan
yang diambilnya lalu mengambil jalan tengah. Agak mengecewakan karena jalan
tengah dan jembatan gap yang diambil Ross di sini adalah institusi sekolah.
Praktisi pendidikan rumah yang saya kenal selama ini memutus gap sosial dengan
cara membangun komunitas dengan sesama pelaku pendidikan rumah dan melibatkan
pihak luar jadi narasumber kegiatan mereka. Meskipun begitu, Ross tetap
menghidupkan Ben dan keluarga kecilnya yang secara pangan mereka mandiri. Ben juga tetap
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anaknya.
Selain mengkritik konsep pendidikan orangtua yang ekslusif, Ross
juga mengkritik gaya hidup masyarakat modern. Salah satunya dalam adegan kocak
di bank ketika keenam anak Ben keheranan menyaksikan hampir seluruh orang di
bank berbadan gemuk. Indikator gaya hidup di Amerika beberapa tahun ke belakang yang menunjukan seseorang tidak sehat karena pola konsumsi dan aktifitas tak seimbang. Ben
dan keenam anaknya pun tampak terang-terangan tidak suka pada kapitalisme. Secara keseluruhan, film ini menghadirkan tontonan yang kaya, mulai dari naskah, pesan, hingga sinematografi yang mengabadikan alam liar nan indah di Amerika bagian barat.
Kereeen
ReplyDelete