Go Set a Watchman, Harper Lee

Menceritakan buku ini tidak akan mudah. Buku sebelumnya, To Kill a Mokingbird sudah terlanjur menjadi buku favorit tentang urusan mengikis sikap penuh prasangka antar ras dan Atticus kadung jadi pahlawan bersama dalam menegakkan kesetaraan dan keadilan berasas kemanusiaan.  Go Set a Watchman hadir sebagai antitesis. Sang pahlawan yang telah menjadi teladan itu kini telah berubah. Berdalih NAACP, Atticus cenderung rasis. Ia bahkan pernah bergabung dengan KKK, organisasi supremasi kulit putih Amerika.



Misteri di balik perubahan drastis karakter salah satu tokoh utamanya tidak akan pernah benar-benar kita ketahui. Harper Lee yang terkenal enggan berkomentar atas karya-karyanya meninggal tidak lama setelah buku ini terbit. Tapi, ada satu hal konsisten yang dipertahankan Lee di kedua bukunya. Karakter Jean Louise. Anak gadis Atticus yang menjadi tokoh utama sekaligus narrator kedua buku Lee. Di buku kedua, nilai-nilai moral Jean yang dia teladani dari ayahnya (di buku pertama) diuji langsung oleh perubahan sikap Atticus. Kali ini, sandaran Jean atas keamiguan yang ia temua pada sosok yang ia puja adalah pamannya, Jack. Ia menjadi penengah konflik yang terkesan sebagai upaya Lee menghadirkan tokoh netral untuk memberikan nasehat obyektif. ‘Memaksa’ Jean menerima fakta bahwa Atticus sudah  berubah, dan sepertinya perubahan itu memang harus diambil oleh Atticus dengan dalih tuntutan NAACP* yang seolah sebagai apologia atas sikap rasis Atticus. 

Meskipun disajikan seperti buku pertama, alur dalam buku ini tidak sehalus alur To Kill a Mockingbird. Lee mengambil gaya menulis flash back yang dipusatkan pada tokoh Jean Louise. Kisah dibuka dengan perjalanan pulang Jean dari New York menggunakan kereta untuk berlibur selama 14 hari di Maycomb. Kilas balik yang disajikan Lee terasa layaknya bagian terpisah dari kisah inti sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Lee. Konflik ayah dan anak yang puncaknya justru ada di beberapa halaman terakhir. Itulah yang membuat buku ini berbeda sekali dengan perdana di mana setiap kisah berkelindan dengan kisah lain yang dipayungi satu pesan kuat. Tapi, jika yang ditujukan Lee adalah menguji kekonsistenan sikap Jean Louise yang dibenturkan langsung dengan perubahan sikap orang-orang terdekatnya, buku ini sudah menyajikannya dengan baik. Sepanjang cerita, Jean dihadapakan dengan berbagai kejadian dan pengalaman yang menghadirkan pertanyaan-pertanyaan kritis reflektif bagi dirinya sendiri. Jadi, agak tidak fair jika membandingkannya habis-habisan dengan buku pertama.

Satu pesan kuat di akhir cerita : Apakah kita siap menerima secara terbuka, jika sosok yang jadi panutan kita selama ini berubah. Dan mengadopsi sikap yang selama ini ditolaknya. Jika kita menolak keras, mungkin kita seorang bigot**.




*NAACP : National Association for the Advancement of Colored People (Organisasi hak sipil warga kulit hitam Amerika yang didirikan tahun 1909)
**Bigot : Seseorang yang intoleran pada orang-orang yang memiliki pendapat berbeda dengannya

Comments