Namanya Pak Wasido. Kami bertemu dengannya di sebuah jalan.
Pertemuan tak sengaja tapi direncanakan. Lelaki jangkung itu adalah mantan
buruh bangunan yang kini bekerja sebagai pemburu sekaligus penjual belalang
goreng. Tapi, saya tidak akan membicarakan tentang belalang goreng. Saya ingin
membicarakan tentang thiwul. Sumber karbohidrat dari olahan singkong yang
pernah jadi menu pokok andalan warga Gunungkidul. Sejak revolusi hijau,
perlahan tapi pasti, thiwul mulai jarang dikonsumsi.
Siang itu, usai mengobrol tentang profesi dan keseharian Pak
Wasido, kami diajak makan siang bersama dengan keluarga kecilnya. Setelah
beberapa kali berkunjung dan menginap di Gunungkidul, baru kali itu saya
menemukan thiwul tersaji bersama dengan menu lainnya yang sangat khas. Di atas
tikar di ruang tamunya, kami makan sambil meneruskan obrolan. Keluarga ini
adalah satu dari sekian keluarga di Gunungkidul yang masih mengolah thiwul
secara rutin untuk konsumsi sendiri. Menarik karena thiwul juga dikonsumsi oleh
anggota keluarga lainnya dari kelompok umur beragam. Bahkan, cucunya yang masih
kecil mengangguk ketika ditanya apakah ia suka thiwul.
Keadaannya berbeda dengan warga di sebuah desa dekat Pantai
Drini. Selama menginap empat hari di sana, saya tidak menemukan thiwul dalam
menu harian mereka. Menu makan harian saya di rumah dukuh itu selalu nasi
sebagai makanan pokok dan bersanding dengan sayur dan sumber protein seperti
telur. Mereka menyebutnya sebagai SKJ. Singkatan dari sego karo jangan (nasi
dan sayur). Menu ini kini jadi andalan sebagian besar warga Gunungkidul hingga
menjadi identitas yang saya rasa menjadi kebanggaan mereka. Thiwul mengalami
pergeseran dan berpindah, dari tikar di rumah warga ke etalase di toko
oleh-oleh khas Gunungkidul.
Di desa yang saya tinggali, warga yang masih memakan thiwul
bisa dikategorikan berdasarkan umur. Mereka rata-rata lahir sebelum tahun 1990.
Usia mereka masih kecil ketika revolusi hijau dimulai. Nasi merupakan makanan
baru yang masih beradaptasi dengan lidah dan alam warga yang cepat kering itu.
Berbeda dengan generasi setelahnya. Nasi sudah jadi menu harian di tikar dan
meja makan. Dikonsumsi minimal sehari dua kali. Thiwul menjadi asing bagi mereka,
tapi menjadi incaran pendatang.
Absennya thiwul dalam menu harian warga bukan lagi soal
citra yang dulu identik dengan kemiskinan, tapi sudah pada soal selera. Beberapa
anak yang saya temui tidak menyukai tekstur thiwul yang kasar. Lainnya mengaku
sakit perut jika memakannya. Karena belum pernah mencicipnya sedikitpun, saat
itu saya sulit membayangkan rasa thiwul sebagaimana disampaikan anak-anak.
Bayangan saya justru tertuju pada nasi jagung yang pernah saya cicip di
Lamongan. Meskipun berbutir, tekstur nasi jagung cenderung lembut.
Kunjungan saya ke rumah Pak Wasido menebus bayang-bayang
saya tentang thiwul yang tersaji secara tradisional. Di rumahnya, saya mencicip
thiwul yang saya sandingkan dengan sayur dan belalang goleng. Teksturnya memang
jauh lebih kasar dibanding nasi jagung, tapi saat bersanding dengan sayur dan
belalang goreng, sensasinya tidak jauh berbeda dengan makan nasi. Keluarga Pak
Wasido memasak thiwul yang dicampur dengan beras. Komposisinya masih lebih
dominan thiwul dibanding beras yang terlihat hanya sebutir dua butir di antara
gumpalan thiwul.
Pak Wasido mengklaim thiwul di rumahnya sebagai wujud thiwul
sebenarnya dengan menyebutnya “thiwul asli”. Artinya, thiwul dibuat tanpa bahan
tambahan lain seperti gula untuk meningkatkan cita rasa. Memang, thiwul yang
berada di pusat oleh-oleh sudah menjadi komoditas pariwisata sehingga disajikan
dalam bentuk beragam yang lebih ramah pengunjung. Tidak hanya rasa yang
dimodifikasi, tapi juga soal kemasan.
Pak Wasido sendiri memilih thiwul bukan karena alasan selera
saja, tetapi juga manfaat dari thiwul. ‘Lebih tahan lama, enggak cepat lapar
daripada nasi,’ seloroh Pak Wasido yang diamini sang isteri. Sebagai pekerja
yang memanfaatkan tenaga fisik, memakan thiwul membuat Pak Wasido bisa tahan
berjam-jam memburu belalang tanpa membawa bekal. Ia hanya makan begitu sampai
di rumah. Ketika saya melihat piringnya, ia melahap thiwul tidak lebih banyak
dari dua sendok centong nasi dan beberapa menit kemudian segera kembali
beraktifitas.
Selain di rumah Pak Wasido, saya menemukan keluarga lain
yang mengkonsumsi thiwul. Rumahnya berada di dusun yang tidak jauh dari dusun
Pak Wasido. Sama, anak kecil di rumah itu mengangguk ketika ditanya ‘suka
thiwul?’. Secara geografis, kedua dusun keluarga yang masih menyajikan thiwul
ini berada jauh dari pantai. Kondisi yang menarik. Ketika warga yang berada di
pesisir mengalihkan thiwul menjadi produk oleh-oleh yang dibarengi dengan
menurunnya selera konsumsi, warga di ‘pedalaman’ justru masih melestarikannya
sebagai bagian dari menu pokok yang bersanding dengan nasi. Sekalipun keduanya
terpapar revolusi hijau pada periode yang sama, ada kebiasaan berbeda yang
terbangun antara warga di pesisir dan mereka yang tinggal jauh dari kawasan
wisata. Ini tentu bukan kesimpulan final. Namun, menarik menemukan bahwa thiwul
telah terlepas dari citra miskin dan mulai dikonsumsi secara sadar karena
manfaatnya. Sebagaimana yang dilakukan Pak Wasido.
*Ide tulisan dari penelitian lapangan di Gunungkidul dan penelusuran pemburu belalang
Comments
Post a Comment