Gadis Kecil Berambut Ikal


Foto koleksi pribadi


Pagi itu saya menyambut fajar kedua di dusun Kuala, OKI. Dusun ini berada di muara Sungai Batang yang menghadap langsung ke laut Bangka. Saat matahari mulai menyemburatkan cahaya, kami bergegas menuju ujung dusun, menyusuri jalanan selebar dua meter yang diapit rumah-rumah kayu keabuan. Di situ, seorang teman mondar mandir sambil mengangkat selular, berusaha mencari titik terbaik untuk menangkap signal. Saya asyik memandang fajar keemasan yang menerpa wajah dan menghangatkan tubuh kami. Jika saya berdiri di sudut sebrang kampung ini, saya bisa melihat gundukan tanah kecil di sebrang lautan. Itulah Pulau Bangka. Dengan speedboat kecil, pulau itu bisa ditempuh dalam waktu 1.5 jam saja.

Saat saya menengok ke sebelah kanan, seorang gadis kecil memperhatikan kami mengambil gambar langit dan sekitar. Sambil tersenyum malu, kedua tangannya memeluk tiang dengan erat. Kelihatan sekali ia baru bangun tidur seperti kami. Dia hanya mengenakan popok dengan atasan pink pupus yang belepotan. Wajahnya kumal. Mata sayu dan rambut ikal awut-awutan. Mungkin dia langsung bergegas menyusul ketika melihat tiga orang asing melintasi rumahnya. Ketakutan dan rasa malunya cair ketika kami ajak berswafoto. Secara refleks dia mengimitasi setiap gaya kami yang muncul di layar depan kamera.

Puas berfoto, dia berlari-lari kecil. Sepertinya sedang berusaha memamerkan keahlian barunya dalam melompat. Meskipun kayu-kayu penyangga yang berfungsi sebagai halaman tampak rapuh dan bolong di beberapa titik, gadis itu tidak takut untuk melompat dan berlari. Setiap kali berhasil melompat, dia menoleh dan tersenyum bahagia. Gadis kecil itu seperti semua anak kecil yang ada di dusun ini. Hal pertama yang mereka injak di bumi ini adalah susunan kayu lalu air di sungai dan lautan. Tanah adalah hal ketiga yang mungkin akan jarang sekali mereka injak. Sekalipun tidak bisa berenang, anak-anak kecil ini sangat terlatih hidup bersama air dan susunan kayu. Mereka sangat lincah berjalan menyusuri landasan kayu yang menjadi struktur utama perkampungan ini.

Tempat favorit mereka di sore hari adalah jembatan penghubung perkampungan di kedua sisi sungai. Jembatan itu dibuat secara swadaya oleh masyarakat dari hasil menabung selama beberapa tahun. Hanya sebuah jembatan dengan lantai susunan kayu dan penyangga terbuat dari bambu. Tak ada pagar penyangga lain sebagai pegangan di kedua sisinya. Ketika berjalan di atasnya, jembatan itu akan bergoyang. Sore hari itu, kami menyaksikan anak-anak duduk berderet di jembatan. Di antara mereka, gerombolan remaja bernyanyi dan memainkan gitar. Tubuh mereka menghadap ke laut lepas. Mungkin di antara mereka ada yang membayangkan masa depan jauh menembus garis langit.

Hari-hari yang saya habiskan di dusun ini melambat dari biasanya. Jarum jam seperti berputar tanpa detik dan menit. Hanya suara tik-tok tik-tok jarum terpanjang penunjuk angka yang bergerak pelan tertahan. Terisolasi tidak hanya dari daratan, tapi juga dari dunia maya. Seluler saya hanya berfungsi sebagai kamera. Mengabadikan kenangan mulai dari menyusuri sungai berjam-jam lamanya sampai tiba di perkampungan yang mengapung di atas air coklat pekat. Kondisi ini memberi saya kesempatan untuk mengamati banyak hal tanpa memikirkannya sebagai pekerjaan.

Ketika saya perhatikan, aktifitas masyarakat di kampung ini sama melambatnya dengan saya. Pagi mereka bangun menyiapkan camilan tanpa diburu aktifitas lain. Mereka tidak mengenal kata sarapan. Pagi mereka biasa memakan gorengan manis dan asin dan disandingkan dengan saus layaknya saus untuk pempek yang mereka sebut cuko. Makanan berat mereka sajikan menjelang siang dan sore atau malam. Selain bertenak walet, mereka adalah masyarakat nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan laut untuk makan dan menghasilkan uang. Para perempuan sangat terampil mengolah hasil laut yang tak terjual.

Satu dekade ke belakang, mereka adalah penebang kayu. Namun, seiring kayu habis dan konsesi lahan semakin masif, mereka beralih menjadi peternak walet. Mereka adalah masyarakat yang terus menerus menjalani proses adaptasi dengan berbagai cara, tapi tetap mencoba berdampingan dengan alam dan perubahannya.   

Siangnya mereka akan duduk bersantai. Sebagian masih bekerja di laut dan walet, sebagian lain mengerjakan hal-hal lain. Sore, kegiatan hiburan mulai bisa dilihat. Perempuan bergerombol bermain kartu. Malam, ketika kota hiruk pikuk, remaja dan orangtua di dusun ini asyik bermain billiard ditemani suara alam. Lautan dan berbagai binatang malam di hutan sekitar. Malam terakhir di sini, saya dikagetkan suara gedebuk. Seperti sebuah benda yang dijatuhkan dan menimpa susunan kayu. ‘Celeng itu,’ ujar Pak Sekdes dengan santai. Kami berlarian keluar menyalakan senter dan untuk pertama kalinya melihat babi hutan yang hitam pekat sedang mengendus tanah di kolong rumah. Iya, air di dusun ini surut sepanjang malam sehingga babi kerap mendatangi kampung mencari makanan.

Hari berikutnya kami berpamitan. Menaiki speed kami kembail menyusuri sungai menuju kawasan hutan perusahaan. Dari sana kami kembali ke Palembang. Menyusuri Sungai Musi yang tak menyenangkan karena saya diserang diare. Namun, saya mengingat perjalanan ini sebagai salah satu mata pelajaran terbaik. Gurunya adalah para penduduk dan kelasnya adalah perkampungan memanjang tanpa sekat.  

(Catatan yang tertunda dari akhir tahun 2017)
            



Comments